Transisi Energi Global, Hilirisasi Sumber Daya, dan Keadilan: Analisis Kondisi Sosial dalam Ambisi Besar Energi Terbarukan Indonesia

FPCI Airlangga
7 min readFeb 28, 2024

Krisis iklim saat ini dianggap sebagai masalah global yang paling penting untuk segera diselesaikan karena menjadi ancaman serius bagi ekosistem dan stabilitas sosial, politik, serta ekonomi yang telah mapan. Sebagai elemen kunci penyebab krisis iklim, pengendalian gas rumah kaca penting untuk dilakukan dalam mengatasi masalah krisis iklim. Salah satu bentuk mitigasi paling populer dan banyak diterapkan di dunia saat ini adalah dengan melakukan transisi energi rendah karbon di sektor transportasi dengan mengganti kendaraan berbasis pembakaran fosil (Internal Combustion Engine/ICE) ke kendaraan berbasis listrik (electric vehicles/EVs). Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara-negara di dunia seperti China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat untuk mendorong terjadinya transisi dan elektrifikasi di sektor transportasi melalui mekanisme insentif seperti subsidi EV, pengaturan denda bagi untuk kendaraan berbasis fosil, dan pembebasan pajak impor maupun pajak tahunan untuk EV.

Popularitas untuk melakukan transisi energi di sektor transportasi di latar belakangi oleh beberapa alasan yang salah satunya dikarenakan EV menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih sedikit dibandingkan ICE sehingga dianggap memegang peranan krusial untuk mengurangi 15% emisi karbon di sektor transportasi — tentu saja di samping dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum, bersepeda dan berjalan kaki.

Kesadaran negara-negara di dunia untuk beralih ke model transportasi yang dinilai lebih ramah lingkungan melalui EV baik secara langsung maupun tidak mendorong naiknya investasi, permintaan, dan penggunaan EV. Studi yang dilakukan oleh International Energy Agency (IEA) misalnya menunjukkan penjualan kendaraan listrik global pada 2022 yang mencapai 10% nya berasal dari mobil listrik diperkirakan akan terus meningkat angkanya hingga 10 kali lipat dari lima tahun sebelumnya. studi lain juga menunjukkan adanya peningkatan investasi global di sektor ini dengan total $273 miliar. hal ini merepresentasikan bagaimana kendaraaan listrik menjadi masa depan industri otomotif dunia.

Komitmen dan Ambisi Pemerintah Indonesia

Tren global untuk transisi menuju electric vehicle dalam kurun beberapa tahun belakangan ini mendorong pemerintah indonesia untuk ikut terlibat. Hal ini tercermin dari komitmen pemerintah indonesia yang tertuang dalam Enhanced National Determined Contribution Republic of Indonesia (E-NDC) 2022 sebagai bentuk ratifikasi dari perjanjian paris hasil inisiasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). E-NDC merupakan update dari Nationally Determined Contribution (NDC) yang dikeluarkan setahun sebelumnya pada 22 juli 2021. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menaikkan target penurunan emisinya dari yang awalnya 29% pada 2030, menjadi 31,89% tanpa syarat, dan dari 41% menjadi 43,20% dengan syarat mendapat dukungan internasional pada 2030. Sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia juga menargetkan untuk mengadopsi setidaknya 15 juta kendaraan listrik pada 2030.

Selain target yang tertuang dalam E-NDC, Pemerintah juga mengeluarkan serangkaian kebiasaan untuk mendukung percepatan industri EV melalui peraturan presiden no. 55 tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan, serta peraturan kementrian perindustrian no. 6 tahun 2022 tentang spesifikasi, peta jalan pengembangan dan ketentuan penghitungan nilai tingkat komponen dalam negeri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.

Pemerintah Indonesia juga terlihat berambisi memanfaatkan momentum untuk terlibat lebih jauh dalam proses transisi dengan menjadi produsen nikel terbesar di dunia mengingat Indonesia diperkirakan memiliki 25% cadangan nikel global yang menjadi salah satu komponen untuk pembuatan baterai EV. ambisi ini kemudian didukung ketika pemerintah mengeluarkan aturan larangan ekspor nikel khusus bijih nikel kadar rendah pada 2020 untuk mendorong hilirisasi nikel di dalam negeri.

Selain dari sisi kebijakan, lonjakan EV di Indonesia juga membuka peluang bisnis dan masuknya investasi asing yang ditandai dengan penandatangan kontrak kesepakatan kerja sama dan investasi antara Pemerintah Indonesia dengan beberapa perusahaan otomotif asal Korea Selatan, Jepang, dan China seperti Honda, KIA, Hyundai, CATL LG Energy Solution untuk pengembangan transportasi EV di Indonesia.

Komitmen pengembangan EV ini kemudian berimplikasi pada masifnya penerbitan izin usaha pertambangan nikel di Indonesia yang pada 2021, berjumlah 292 izin usaha pertambangan dan 4 Kontrak Karya yang memuat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral pertambangan nikel. Masalah kemudian muncul ketika aktivitas pertambangan nikel selama ini tidak diawasi serta diprtimbangkan dampak lingkungannya oleh otoritas Indonesia.

Potret Dampak Aktivitas Penambangan Nikel di Sulawesi

Dampak dari buruknya pengawasan terhadap dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas penambangan nikel salah satunya dapat dilihat di Sulawesi. Menurut data dari kementrian ESDM, Sulawesi menjadi sumber dari 90% cadangan nikel Indonesia. saat ini, terdapat setidaknya 293 izin tambang yang dikeluarkan untuk mengeruk nikel di pulau ini. Sayangnya, pertambangan nikel telah memberikan konsekuensi ekologis yang berdampak signifikan bagi keanekaragaman hayati, komunitas adat, dan lokal yang hidup area pertambangan akibat deforestasi implikasi pembukaan lahan tambang nikel yang masif di Sulawesi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), izin tambang nikel di Sulawesi menguasai setidaknya 639.403,26 hektar lahan atau setara dengan 66,9% dari total luas hutan hasil klasifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Deforestasi kemudian semakin gencar dilakukan akibat praktik pemberian izin pinjam hutan lindung maupun produksi yang berdasarkan studi spasial dari WALHI Sulawesi mencapai 74 ijin dan mencakup luas area 48.621,98 hektar. Komunitas adat dan lokal kemudian menjadi pihak paling dirugikan karena hutan selama ini menjadi sumber hidup mereka. Rusaknya hutan di Sulawesi menyebabkan mereka kehilangan mata pencaharian dan sumber pangan yang selama ini menjadi penopang utama bagi kehidupan mereka.

Tidak hanya merusak hutan, tambang nikel juga mengakibatkan rusaknya ekosistem laut akibat model pembuangan limbah Deep-Sea Tailings Disposal (DSTD) atau pembuangan lumpur (Tailing) yang tersisa saat mineral tambang di ekstrak dari biji tambang. Lumpur ini mengandung batu, bahan kimia, dan elemen lain yang secara natural menjadi beracun saat terekspos air atau udara. Model pembuangan tailing DSTD pada dasarnya mengandalkan jaringan pipa yang melepaskan tailing pada kedalaman 150–250 meter di bawah permukaan laut. Limbah kemudian dianggap akan tenggelam ke dasar laut hingga kedalaman satu kilometer. Sayangnya dalam praktiknya limbah tailing yang dibuang ke laut menyebabkan banyak masalah lingkungan. Beberapa studi menunjukkan bahwa pembuangan limbah tailing ke laut dapat menyebabkan sedimentasi (pendangkalan laut) terutama di kawasan pesisir, penurunan kesuburan ekosistem perairan, dan hilangnya keanekaragaman hayati laut. Tercemar dan rusaknya ekosistem laut akibat pembuangan limbah nikel kemudian berimplikasi pada kehidupan nelayan yang hidup di kawasan pertambangan atau pembuangan limbah. Contoh konkritnya dapat dilihat dari kehidupan nelayan di Morowali Sulawesi Tengah, yang terpaksa harus mencari ikan di kawasan perairan yang lebih jauh untuk menyambung hidupnya.

Selain laut, ekosistem sungai yang berada di daerah pertambangan juga kemudian ikut tercemar yang ditandai dengan perubahan warna dan bau. Di Sulawesi, masalah ini terjadi di Sungai Laoili dan Maloili yang berada di area pertambangan nikel. Akibatnya, Masyarakat Lampia melakukan protes pada 2019 akibat pencemaran yang terjadi Sungai Laoili dengan meminta perusahaan tambang untuk menghentikan aktivitas pertambangan karena pencemaran air sungai menyebabkan air tidak dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Mereka juga kehilangan mata pencaharian akibat lumpur yang menumpuk di sungai yang menyebabkan mereka tidak lagi bisa berburu ikan dan menjualnya.

Implikasi langsung akibat pertambangan dan hilirisasi nikel yang tidak berkelanjutan juga ditunjukkan dari data Badan Pusat Statistik pada maret 2023 yang menyatakan naiknya nya angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara sebesar 11,43 persen akibat pembangunan yang tidak inklusif, dan penurunan pada sektor pertanian dan kelautan.

Kerusakan lingkungan akibat pertambangan nikel masif yang didorong oleh ambisi Pemerintah Indonesia tentunya tidak boleh terus berlanjut, mengingat banyaknya komunitas sosial yang menggantungkan hidupnya pada alam terutama yang bekerja di sektor pertanian dan kelautan. Pada akhirnya, transisi ambisi dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan, inklusivitas, dan keadilan sudah dipastikan akan menimbulkan masalah baru seperti eksklusi sosial dan ketimpangan sosial akibat kerusakan ekologi. Alih-alih menguntungkan dan dapat berkontribusi untuk menyelesaikan krisis iklim, model transisi seperti ini hanya menukar masalah lama dengan masalah baru.

Transisi yang berkeadilan

Konsep transisi berkeadilan pada dasarnya mengakomodasi bahwa model transisi harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

Meskipun memang benar, saat ini pemerintah telah memiliki visi keadilan dalam aksi iklimnya, studi menunjukkan bahwa hubungan kekuasaan yang ada kemudian membentuk interpretasi visi keadilan dalam kebijakan dan program yang kemudian mereproduksi keadilan. Selain itu, upaya dan kebijakan yang didorong seringkali hanya memperhatikan keadilan distributif seperti memberikan subsidi terhadap electric vehicles agar dapat dijangkau oleh kalangan menengah kebawah, atau memastikan tidak ada kemiskinan energi dengan mengandalkan PLTU untuk menghasilkan listrik yang ‘dinilai’ lebih murah.

Padahal, prinsip keadilan sudah seharusnya mengadopsi prinsip yang bersifat khusus atau kontekstual. Sehingga aksi iklim dapat mensejahterakan pekerja maupun komunitas dalam perekonomian hijau yang inklusif.

Untuk mengatasi ini, pemerintah Indonesia dapat merujuk pada guiding principles on business and human rights PBB dengan mewajibkan seluruh perusahaan tambang nikel untuk menilai dan bertanggung jawab atas seluruh konsekuensi sosial dan ekologis yang mereka hasilkan. Pemerintah juga dapat menyusun undang-undang pertambangan mineral baru untuk memastikan perkembangan industri ini dan menjamin keberadaannya untuk kesejahteraan dan mewujudkan keadilan bagi masyarakat.

Selain dari segi regulasi, fungsi pengawasan terutama dari Kementerian, aparat penegak hukum, hingga pemerintah daerah terhadap perusahaan tambang nikel perlu diperkuat lagi. Karena seringkali aksi iklim perusahaan dikaitkan kembali dengan tujuan bisnis untuk maksimalisasi keuntungan.

Referensi:

H. Martins, C.O. Henriques, J.R. Figueira, C.S. Silva, A.S. Costa, Assessing policy interventions to stimulate the transition of electric vehicle technology in the European Union Socio-Economic Planning Sciences, Volume 87, Part B, 2023

Syarifuddin, N. (2022). Pengaruh Industri Pertambangan Nikel Terhadap Kondisi Lingkungan Maritim di Kabupaten Morowali. Jurnal Riset & Teknologi Terapan Kemaritiman, 1(2), 19–23

Zein, F. Y., & Susanto, S. R. (2023). Faktor Pemilihan Korea Selatan sebagai Mitra Strategis Indonesia dalam Pengembangan Electric Vehicle. Jurnal Hubungan Luar Negeri, 8(1), 115–139.

Syarifuddin, N. (2022). Pengaruh Industri Pertambangan Nikel Terhadap Kondisi Lingkungan Maritim di Kabupaten Morowali. Jurnal Riset & Teknologi Terapan Kemaritiman, 1(2), 19–23.

Mursalin, M., & Susanto, A. (2022). Ambivalensi Energi Terbarukan: Kendaraan Listrik Untuk Penurunan Emisi Karbon dan Dampaknya Terhadap Kerusakan Lingkungan di Indonesia. Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, 7(2), 306–321.

Bainton, N., & Kemp, D. (2021, 4 November). More clean energy means more mines — we shouldn’t sacrifice communities in the name of climate action.

Mahandara, A. (2024, 9 Januari). Kendaraan Listrik di Indonesia: Dari Komitmen Lingkungan hingga Peluang Bisnis Global. Alta.

Jaeger, J. (2023, 14 September). These Countries Are Adopting Electric Vehicles the Fastest.

Yunus, S. R. (2023, 5 Desember). Tertekan Pertambangan, Sektor Pertanian Didorong Jadi Penopang Masa Depan Sultra.

--

--

FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a Non-Profit and Political Free Organization Focusing Youth Movement on Foreign Policy and International Relation Matters.