Timur Tengah Kembali Membara: Eskalasi Rivalitas Iran-Israel
Muhammad Farhan Pratomo
Api perang kembali membara di Timur Tengah. Serangan Israel terhadap sejumlah instalasi militer di beberapa kota penting Iran pada Sabtu, 26 Oktober menandai penantian panjang dan drama politik dalam beberapa minggu terakhir semenjak serangan Iran terhadap Israel pada awal Oktober lalu. Operasi yang diberi kode sandi Days of Repentance ini sekaligus menandai babak baru dalam konflik Iran-Israel. Selama ini, kedua negara memilih opsi untuk melakukan perang dibalik layar — perang informasi, pembunuhan terhadap ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran, hingga serangan terhadap aset-aset Iran di Suriah. Mengingat tensi wilayah ini selalu dipenuhi dengan kabut ketidakpastian dan konflik, tulisan ini akan memperdalam sekaligus mengurai konflik proksi antara Iran-Israel dan menemukan secercah kepastian mengenai masa depan perseteruan kedua negara serta wilayah yang lekat dengan konflik ini.
Proyeksi Kekuatan Melalui Bayang-bayang
Semenjak serangan Hamas pada 7 Oktober, kampanye berdarah militer Israel di Gaza telah menjadi perhatian berbagai aktor di Timur Tengah, tidak terkecuali Iran. Kelompok perlawanan Hamas secara tidak langsung menerima dukungan Iran baik dari segi militer maupun diplomatik (Wlison Center 2023). Dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok milisi di Timur Tengah yang kerap kali disebut Iran sebagai Axis of Resistance seperti Houthi di Yaman, Popular Mobilization Forces di Irak, hingga Hizbullah di Lebanon. Keseluruhan dukungan kelompok milisi ini didorong oleh kepentingan strategis Iran dalam memproyeksikan pengaruhnya di kawasan tanpa adanya keterlibatan militer secara langsung.
Hal ini bukan tanpa alasan. Pasca-Revolusi Iran pada tahun 1979, para pendahulu Korps Garda Revolusi Iran seperti Mohammad Montazeri dan Mustafa Chamran yang sebelumnya mendapatkan pelatihan militer dari kelompok Fatah di Palestina dan kemudian terinspirasi oleh gagasan internasionalisme revolusioner ala-ala Kuba, mulai merumuskan “internasionale versi Islam.” Ide pembentukan suatu gerakan revolusioner Islam internasional ini juga turut dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ali Shariati dan Ayatollah Khomeini yang menekankan pada solidaritas bagi orang-orang tertindas (Alfoneh 2013). Gayung pun bersambut, usulan ini kemudian diterima dengan baik oleh pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei.
Gagasan awal yang mulanya menyebarkan revolusi Islam ke luar Iran berubah menjadi sebuah kepentingan geopolitik dan geostrategis. Puluhan tahun pasca-Revolusi Iran, kini Tehran mempunyai jaringan yang terdiri dari kelompok-kelompok milisi hampir di seluruh wilayah Timur Tengah. Dukungan operasi rahasia pun tetap berjalan melalui tangan-tangan Korps Garda Revolusi Iran atau Sepah. Berbeda dengan cabang angkatan bersenjata Iran lainnya, Sepah secara khusus bertanggungjawab atas operasi-operasi gray area Iran di Timur Tengah seperti pada keterlibatan Iran dalam Perang Sipil Suriah dan dukungan terhadap kelompok Houthi di Yaman (Cline 2024).
Upaya proyeksi kekuatan melalui elemen kekuatan abu-abu ini jelas dilihat sebagai sebuah ancaman oleh Israel dan utamanya Amerika Serikat. Pasca-serangan 7 Oktober, kelompok Hizbullah kerap kali meluncurkan serangan roket terhadap Israel untuk menunjukkan dukungannya terhadap kelompok Hamas (CSIS 2024). Puncaknya, rentetan ledakan pager dan pembunuhan terhadap Sekretaris Jenderal Hezbollah, Hassan Nasrallah pada bulan Oktober 2024 yang mengawali operasi darat Israel menjadi awal dari babak baru dalam pertarungan catur.
Perubahan Strategic Patience dan Strategic Deterrence Iran
Masuknya Israel ke Lebanon menjadi sebuah garis merah bagi Iran. Selama bertahun-tahun, Iran telah menerapkan apa yang disebut sebagai strategic patience — serangkaian kebijakan luar negeri dan postur Iran untuk mempertahankan pengaruhnya melalui kelompok-kelompok milisi di Timur Tengah. Penggunaan perang proksi sebagai sebuah alat politik melalui pembalasan selektif atas eskalasi kekerasan menjadi bentuk upaya Iran dalam mencapai tujuan jangka panjang. Tehran ingin membangun proyeksi kekuatan secara berkala di Timur Tengah (The Cradle 2024).
Tentunya, Iran juga memperhitungkan tingkatan respons beserta konsekuensinya, yakni ancaman perang terbuka di Timur Tengah. Terutama, hal ini terkait kondisi ekonomi Iran yang terus dibayangi oleh sanksi ekonomi dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Terlebih, kapabilitas dan efektivitas militer Iran dapat dipertanyakan bila negara itu berhadapan dalam suatu perang regional berskala besar (Pollack 2019). Kedua hal ini mendasari alasan Iran untuk menekankan strategi perang asimetris melalui proksi-proksi yang bertindak sebagai tangan-tangan Tehran di kawasan.
Strategi Iran menunjukkan perubahan signifikan semenjak Israel mulai menargetkan milisi-milisi yang didukung Iran di Timur Tengah. Dalam perang panjang tanpa tujuan politik yang didefinisikan–Israel berisiko untuk tertarik ke dalam suatu perang besar di kawasan. Tepatnya ketika Israel menargetkan kepentingan Iran secara langsung–baik itu milisi pro-Iran atau bahkan aset-aset Iran. Serangan udara Israel terhadap kompleks Kedutaan Besar Iran di Damaskus pada bulan Mei lalu dan pembunuhan Hassan Nasrallah selaku Sekretaris Jenderal Hizbullah menjadi semacam garis merah yang mengundang respons Iran.
Namun, respons Iran juga dapat dikatakan menarik untuk dibahas. Alih-alih perang total atau kehancuran sebagaimana yang ada pada retorika-retorika Iran selama ini, serangan Iran tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah bagian dari strategic deterrence, di mana Iran melakukan pembalasan yang terbatas dan selektif. Iran lebih berfokus pada memberikan deterrent effect terhadap Israel sebagai upaya mengirim pesan: jangan bermasalah dengan proksi-proksi Iran (Millar 2024). Namun, satu hal penting adalah keterlibatan Iran secara langsung dalam merespons Israel, seperti pada Mei dan Oktober lalu. Iran kembali memainkan peran aktif dalam memberikan daya gentar terhadap Israel, terlebih Iran juga memperhitungkan kembali dukungan mereka terhadap Hizbullah setelah milisi itu kehilangan satu per satu figur penting akibat serangan udara Israel.
Mengelola Konflik Melalui Pembalasan Tit-for-Tat
Baik Israel dan Iran, sama-sama menekankan pada strategi konfrontasi. Sebagai bagian dari limited war, tujuan konfrontasi terletak pada bagaimana suatu aktor–dalam hal ini Iran atau Israel mengirimkan pesan ke pihak lainnya–baik secara langsung maupun tidak langsung (Tisdall 2024). Pesan yang dikirim, akan dibalas oleh pihak lain dengan tingkatan yang sama atau lebih. Bila Israel menyerang Iran atau proksi-proksinya di Timur Tengah, maka Iran akan membalas balik, begitu pula sebaliknya. Kedua belah pihak, akan sama-sama meningkatkan skala ‘pesan’ yang dikirim dalam skala tertentu, yang mencerminkan adanya strategic deterrence sebagaimana yang ditunjukkan bilamana Israel meledakkan ribuan pager milik anggota Hizbullah dan serangan rudal balistik Iran untuk kedua kalinya.
Baik Iran dan Israel sama-sama memiliki tujuan politik–Iran dapat dalam jangka panjang mempertahankan proyeksi pengaruhnya di Timur Tengah, sementara Israel dapat ‘membalas’ Iran dalam skala tertentu–sembari menjaga agar perang tidak meluas menjadi beberapa front, yang jelas akan membuat Yerusalem akan kewalahan bila menghadapi perang dalam saat bersamaan. Terlebih, perhatian komunitas global yang kini terfokus pada krisis di Gaza. Upaya eskalasi konflik ke tingkatan yang lebih besar–yakni perang regional hanya akan memperburuk posisi Yerusalem dan Tehran. Keduanya kini dihadapkan pada suatu kebuntuan yang sama-sama merugikan, baik Israel dan Iran sama-sama mendapatkan kerugian jangka panjang. Israel sendiri perlahan tapi pasti akan kehilangan momentum baik politik dan militer, sebagaimana yang ditunjukkan dengan pemecatan Yoav Gallant oleh Netanyahu. Sementara, Iran berpotensi akan kehilangan pengaruh di Lebanon setelah Israel menghabisi hampir semua pimpinan penting Hizbullah.
Pada saat bersamaan pula, politisi di Tehran dan Yerusalem memainkan dua papan catur–satu di tingkat internasional dan satu di tingkat domestik. Di satu sisi, baik Iran dan Israel berupaya melegitimasi tindakan asertif sekaligus agresif mereka di luar negeri, sembari memperhitungkan tingkatan pembalasan yang akan dilakukan. Tentunya, baik Israel dan Iran sama-sama memiliki tujuan politik, yakni menjaga keberlangsungan rezim mereka. Rivalitas Iran-Israel tak ingin terjatuh ke dalam jurang neraka yang akan mempertaruhkan keselamatan rezim masing-masing. Rivalitas kedua negara kini telah bergeser dari yang tadinya ‘hanya’ melalui keterlibatan di balik layar baik melalui operasi intelijen maupun milisi-milisi proksi, menjadi keterlibatan secara langsung dalam merespon tindakan pihak lainnya. Satu-satunya opsi rasional pada kondisi ini adalah memperhitungkan intensitas dan skala respons serangan balik sembari memperkirakan efek lanjutan dari tindakan tersebut. Kini, baik Tehran dan Yerusalem sama-sama telah menggerakkan pion mereka, menunggu untuk pihak lain kehilangan momentum terlebih dahulu; dan kemudian memangsa pionnya. Babak catur masih jauh dari kata selesai.
REFERENSI:
Alfoneh, Ali, 2013. Iran Unveiled: How the Revolutionary Guards Is Transforming Iran from Theocracy into Military Dictatorship. Washington D.C: AEI Press.
Al Attiyah, Muntadher, 2024. “The ‘frog’ is simmering: Iran’s strategic patience pressures Israel”, The Cradle.
Cline, Lawrence E., 2024. “The Iranian revolutionary guard corps: defining Iran’s military doctrine”, Small Wars and Insurgencies, 35 (2): 362–364.
Centre for International and Strategic Studies, 2024. Escalating to War between Israel, Hezbollah, and Iran.
Centre for International and Strategic Studies, 2024. Syria: Iran and Hezbollah’s Savior and Achilles’ Heel.
Ostovar, Afshon, 2016. Vanguard of the Imam: Religion, Politics, and Iran’s Revolutionary Guards. Oxford: Oxford University Press.
Pollack, Kennteth, 2019. Armies of Sand: The Past, Present, and Future of Arab Military Effectiveness. Oxford: Oxford University Press.
Tisdall, Simon, 2024. Iran-Israel’s shadow war is out in the open and will only escalate unless causes are addressed. The Guardian.
Wilson Center, 2023. Hamas And Israel: Iran’s Role.