[Opinion Article] Soto Ayam Lamongan serta Filsafat Keilmuan Kejadian & Kajian Foreign Policy
– Phillipus Mikhael Priyo Nugroho
Semenjak dipugarnya negara berkomponen bangsa demi bangsa (negara-bangsa), kajian tentang hubungan di antara mengalami kepesatan perkembangan. Hingga, pada tataran keilmuan humaniora dewasa ini, hubungan antarnegara-bangsa tersebut terdapuk mapan sebagai “hubungan internasional (hi),” sedangkan lini studi yang berfokus mengkajinya sebagai “Hubungan Internasional (HI).” Baik hi maupun HI, akan tetapi, tidak terlepas dari kerumitan pengambilan dan pelaksanaan “politik luar negeri (PLN)” serta “kebijakan luar negeri (KLN).” Kedua konsep tersebut, dalam penambatannya ke luar negeri, tidak jarang, atau bahkan dibatasi untuk, dianggap sebagai turunan studi HI. Padahal, dengan terjemahan keduanya yang berarti “foreign policy (FP),” ontologi analisis FP (FPA) sebagai epistemologi (pencarian pengetahuan) FP yang berwujud “prateori” semata menjadi kentara. Prateori hanya bertindak sebagai pondasi mulainya suatu kajian, dengan teori-teori “skala menengah” (middle-range theories) sebagai pemasok argumentasi awal yang mengarahkan proses epistemik itu. Keilmuan HI semata tidak cukup untuk menyempurnakan FPA lantaran maraknya kerumitan yang menghinggapi FP.
Maka dari itu, pembauran pendekatan antarkeilmuan (interdisipliner) dalam kajian P/KLN perlu digencarkan. Bukan semata-mata langkah demikian akan menjauhkan FPA dari elitismenya yang membudaya. Akan tetapi, epistemologinya lantas tidak akan sesempurna ketika ontologi prateoritis FPA dianggap mencukupi dengan sendirinya tanpa dipasok teori-teori keilmuan lainnya, terutama non-HI.
Ontologi FP sebagai Fenomena dan FPA sebagai Metodologi
Dalam filsafat keilmuan, asa untuk menentukan adakah “sesuatu” dalam jangka penginderaan manusia dirujuk sebagai “ontologi.” Dengan kata lain, ontologi berusaha menentukan keberadaan suatu hal dan ciri-cirinya yang meyakinkan kita bahwa ia memang ada (Studer dkk., 1998). Suatu anekdot menceritakan ontologi dalam kisah semangkok soto ayam lamongan. Katakan, dalam hingar-bingarnya Kota Surabaya, beragam jenis soto dijual, termasuk soto ayam lamongan. Mengecualikan nama Cak X, Y, atau Z sebagai penjualnya yang selalu ditunjukkan, kita bisa-secara ontologis-mengidentifikasi soto ayam yang dimakan sebagai soto ayam lamongan dari ciri-ciri yang dibawanya: tumpah-ruahnya koya, potongan ayam berlimpah, dan sebagainya. Perbandingan tersebut, menggambarkan bagaimana FP dapat diidentifikasi terjadi dalam kehidupan nyata. Begitu pun dengan kajian-kajian sosiohumaniora lainnya, definisi FP pun beragam mengikuti bermacam-macamnya pandangan (Mitzen & Larson, 2017).
Lantas, hal yang membuat fenomena foreign policy, FP, tidak menganggur dalam satu ciri, ataupun satu definisi saja. Rosenau (1987), misalkan, mengisyaratkan FP lebih sebagai respons aktor politik kepada atau untuk menghindari situasi tertentu. Menjeburkan diri ke pikiran, Holsti (1983) mendebat bahwa FP telah ada ketika “ide” dimunculkan dan masalah ditandai. Meskipun ontologi FP tidak seyogianya dikekang urusan pengartian saja, kajian fenomena ini menjadi menarik lantaran penekanannya akan konteks alih-alih definisi. Tradisi tersebut berarti mengesampingkan pengartian berdasarkan situasi nyata temporal tertentu semata, menjadikan perkembangan keilmuan dan kenilaian FPA unik (Morin & Paquin 2018). Adalah benar bahwa ontologi FP berkutat untuk menengok struktur dari fenomena tersebut. Namun, struktur itu sendiri bersifat sangat dinamis dan multitafsir pula, selayaknya fitur penyajian soto ayam lamongan satu penjual ke penjual lainnya berbeda meskipun sama-sama soto ayam lamongan.
Epistemologi FP: Metodologi dan Pembangunan Teori
Oleh karena dinamika dan kondisi multitafsir tersebut, perdebatan mengenai epistemologi FP akan terus berlangsung. Epistemologi, pada hakikatnya, merujuk ke pemahaman untuk mendapatkan, mengetahui, dan mengulas pengetahuan, utamanya melalui dua pendekatan: (1) pelogikaan; dan (2) empirisme (Bell 2013; Dilworth 2012). Senada dengan perumpaan pada bagian sebelumnya, epistemologi pun kentara dalam kisah semangkok soto ayam lamongan. Meskipun terkadang makanan Asia mengedepankan rasa dalam cucuran saus dan taburan rempah, seseorang mungkin dapat mempelajari metodologi pembuatan soto jenis demikian dari berguru langsung ke ahli-ahlinya atau sekadar bertanya ke karyawan-karyawati yang berjualan. Di sisi lain, para begawan soto ayam lamongan pun dapat mengevaluasi pengetahuan massa terhadap makanan tersebut, misalkan dengan menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang makanan tersebut akan ada karena masifnya kursus tata boga yang mengikutsertakannya sebagai tes (pelogikaan) atau berkunjung dari depot ke depot untuk menengok langsung buah keahlian mereka (empirisme).
Alhasil, epistemologi FP mengantarkan kita kepada FPA sebagai metodologi untuk mendapatkan dan mengevaluasi pengetahuan kita tentang FP. Selain FPA, epistemologi FP berkenaan pula dengan sumber-sumber pengetahuan, penyimpulan pengetahuan, serta penentuan keabsahan rangkaian pengetahuan itu sendiri. Namun, FPA terbatas dalam kemampuan penyimpulannya; bertindak sebagai prateori yang sekadar menjadi dasar pemfokusan kajian, salah satunya melalui kerangka “Tingkatan Analisis” pengambil FP (Fermann 2019). Dalam tradisi beberapa pembelajaran FPA yang saya temui, mahasiswa diminta untuk mengikutsertakan lini konseptual lainnya untuk menjelaskan fenomena FP-menghasilkan simpulan dan pemahaman baru. Konsep-konsep tersebut dikenal sederhana sebagai teori-teori berskala menengah (de Sa Guimaraes & Estre 2021). Upaya mencari kedalaman kajian kejadian FP itu lah yang membaurkan, misalkan, konsep-konsep psikologi seperti “bias” dan “kepribadian” dalam FPA bertingkatan individu (Pursiainen & Forsberg 2021).
Nilai Ketepatan Kejadian dan Kajian: Aksiologi FP dan FPA
Kedalaman dan ketepatan terhadap upaya pengkajian atau keberadaan fenomena tertentu tak dimungkiri bersifat sangat subjektif. Terlebih dalam keilmuan humaniora seperti FPA, ketepatan langkah-langkah tergunakan untuk mengkaji sekaligus menentukan kehadiran suatu fenomena FP menjadi cukup rancu dan, sekali lagi, dinamis. Bayangkan, seseorang bisa mendebat penjual soto ayam lamongan (dibuktikan oleh kain penanda) sesederhana karena pucatnya kuah atau kurangnya potongan ayam. Orang Lamongan pun, dalam menentukan ketepatan soto ayam yang dimakannya di Surabaya, bisa merujuk ke sensasi yang dirasakannya (contoh: apakah firasat bak berada di Lamongan terasa ketika suapan demi suapan soto tersebut dimakan?). Alhasil, upaya mendapatkan ketepatan tersebut berkenaan dengan cabang aksiologi dalam filsafat: pembelajaran mengenai nilai dan tatanan yang melahirkan nilai (Afkari dkk., 2021). Ontologi FPA yang sekadar menunjukkan prateori, membawa kesan ketidaktepatan apabila dipergunakan demikian saja, menghasilkan momentum untuk menyempurnakannya melalui pendekatan interdisipliner atau antarkeilmuan.
Terkhusus kepada FP, nilai kejadian tersebut dapat ditakar melalui berbagai cara dan pendekatan. Satu pandangan menekankan konsekuensi tatkala FP dipraktikkan sebagai penentu ketepatannya, sementara pandangan etis menengok motif moril pengambil FP sebagai pertimbangan ketepatan kejadiannya (Hellmann & Urrestarazu 2013). Nilai ketepatan juga tersisipkan pada epistemologi FP-kritik dan pengembangan terhadap FPA. Semenjak lama, ketepatan metodologis FPA diukur sebatas dari pengkajiannya terhadap konsep “kepentingan nasional” (Morgenthau 1977). Hal tersebut memapankan elitisme ranah kajian ini, lantaran penafsiran kepentingan nasional yang terletak pada pejabat pemerintahan (Wicaksana 2007). Seraya pandangan interpretivis berkembang dalam FPA, kepercayaan bahwa FP dapat dipahami melalui pendekatan yang tunggal mulai sirna, berangsur-angsur digantikan pendekatan antarkeilmuan (mis. menggabungkan budaya berskala negara dengan dengan kerangka tingkatan analisis) (Potter 2017).
Semangkok Soto dan Upaya Membumikan Kerumitan FPA
Tulisan ini merupakan penjelas filosofis FP dan undangan bagi siapapun yang tertarik untuk ikut serta memperkaya proses kajiannya. Dalam jangkauan pembahasannya tentang dasar-dasar FP, penulis menemukan keberagaman ontologi yang acap kali menyusahkan pengkajian, epistemologi yang sekadar prateoretis dan memerlukan middle-range theories, hingga ketepatan kajian yang hanya terjadi-dewasa ini-ketika pendekatan antarkeilmuan kuat dibaurkan. Keberadaan dan alasan terjadinya fenomena FP mengimajikan kerumitan yang tidak tergapai dalam kajian tunggal HI semata. Selayaknya soto ayam lamongan yang secara bersamaan rumit dalam rasa tetapi merakyat dalam ketersediaan, maka dari itu, saya mengundang teman-teman pembaca sekalian untuk membumikan FPA serta memperkayanya perspektif untuk memahami kompleksitasnya.
Referensi
Afkari, Sulistyowati G. dkk., 2021. “Philosophy of Science: Definition, Object of Study, Scope, and Method”, Innovatio: Journal of Religious Innovation Studies. 21 (2): 134-145.
Bell, Kenton, 2013. “Epistemology”, dalam Open Education Sociology Dictionary. [Buku Daring]. Diambil dari https://sociologydictionary.org/ [Diakses pada 1 Juni 2023].
de Sa Guimaraes, Feliciano & Felipe Estre, 2021. “Foreign Policy Analysis in Brazil: The Use of Middle-Range Theories, dalam Oxford Research Encyclopedias of International Studies. [Daring]. Oxford University Press. Diambil dari https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.671 [Diakses pada 1 Juni 2023].
Dilworth, Craig, 2012. Simplicity: A Meta-Metaphysics. Lexington Books.
Fermann, Gunnar, 2018. Coping with Caveats in Coalition Warfare: An Empirical Research Program. Palgrave Macmillan.
Hellmann, Gunther, & Ursula S. Urrestarazu, 2013. Theories of Foreign Policy. Oxford University Press. [Buku Daring]. Diambil dari https://www.oxfordbibliographies.com/display/document/obo-9780199743292/obo-9780199743292-0104.xml [Diakses pada 1 Juni 2023].
Holsti, K. J., 1983. International Politics: A Framework for Analysis. Ed Ke-4. London: Prentice Hall.
Mitzen, Jennifer, & Kyle Larson, 2017. “Ontological Security and Foreign Policy”, dalam William R. Thompson (ed.), 2017. Oxford Research Encyclopedia of Politics. New York: Oxford University Press.
Morgenthau, Hans J., 1977. Politics Among Nation. New York: McGrown-Hill.
Morin, Jean-Frederic, & Jonathan Paquin, 2018. Foreign Policy Analysis: A Toolbox. Cham: Palgrave Macmillan.
Potter, Philip B. K., 2017 (2010). “Methods of Foreign Policy Analysis”, dalam Oxford Research Encyclopedias of International Studies. [Daring]. Oxford University Press. Diambil dari https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190846626.013.34 [Diakses pada 1 Juni 2023].
Pursiainen, Christer, & Tuomas Forsberg, 2021. The Psychology of Foreign Policy. Palgrave Macmillan.
Rosenau, James N., 1987. “Introduction: New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy”, dalam Charles F. Hermann dkk. (eds.), 1987. New Directions in the Study of Foreign Policy. Boston: Allen & Unwin.
Studer, Rudi dkk., 1998. “Knowledge Engineering: Principles and Methods”, Data & Knowledge Engineering, 25(1-2): 161-197.
Wicaksana, I. G. Wahyu, 2007. “Epistemologi Politik Luar Negeri: ‘A Guide to Theory’”, Global & Strategis, 1 (1): 18-29.