[Opinion] Pelajaran dari Selandia Baru: Bagaimana Amerika Serikat Seharusnya Menanggapi Masifnya Kepemilikan Senapan Otomatis

FPCI Airlangga
4 min readJun 22, 2022

--

Bilal Asyfahani Fireza — Universitas Airlanggabilal.asyfahani.fireza-2020@fisip.unair.ac.id

Terhitung sudah tiga tahun lamanya pasca kejadian penembakan massal di suatu masjid di Christchurch, Selandia Baru pada tanggal 15 Maret 2019. Peristiwa ini merupakan suatu momen mengenaskan di Selandia Baru, dengan pernyataan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang menyatakan bahwa penembakan ini merupakan salah satu hari kelam dalam sejarah Selandia Baru (Newstalk ZB, 2019). Kekerasan yang mencabut puluhan nyawa umat Muslim dan melukai sejumlah masyarakat Selandia Baru lainnya berpusat pada mudahnya akses terhadap senapan otomatis — automatic rifles — di Selandia Baru. Kemudahan akses terhadap senapan otomatis di Selandia Baru merupakan suatu hal yang cukup mencengangkan, mengingat bahwa Selandia Baru merupakan negara yang lazim dianggap sebagai negara dengan tingkat kekerasan senjata yang rendah dan tingkat toleransi dan keamanan yang cukup tinggi (Reuters, 2019). Penembakan massal ini merupakan suatu wake-up call bagi para legislator di parlemen Selandia Baru. Peristiwa penembakan massal ini memicu adanya amandemen dari Undang-Undang Kepemilikan Senjata tahun 1983 yang langsung disetujui dalam tempo waktu 10 hari setelah mosi tersebut disuarakan pada tanggal 1 April 2019 oleh hampir seluruh fraksi partai di parlemen. Amendemen ini, yang disebut sebagai Arms (Prohibited Firearms, Magazines, and Parts) Amendment Act 2019, mengandung pelarangan terhadap segala bentuk senjata semi-otomatis dan otomatis, magasin penampung peluru berjumlah banyak, serta berbagai suku cadang yang dapat dirakit sebagai senjata otomatis.

Terjadinya peristiwa mengenaskan di Selandia Baru seharusnya juga dapat menjadi peringatan keras bagi para legislator di berbagai negara yang masih melegalkan kepemilikan pribadi senjata otomatis dan semi-otomatis. Amerika Serikat dengan berbagai permasalahan terkait kepemilikan senjata otomatis seharusnya belajar dari peristiwa ini, mengingat bahwa berbagai peristiwa penembakan di sekolah-sekolah di seluruh penjuru Amerika Serikat telah terjadi, seperti di SD Sandy Hook, Connecticut pada tahun 2012 dan di SMA Columbine, Colorado pada tahun 1999 (Vizzard, 2015). Vizzard (2015) turut menambahkan bahwa sejatinya Amerika Serikat telah memberlakukan beberapa undang-undang terkait pembatasan kepemilikan pribadi senjata, seperti Brady Handgun Prevention Act atau yang lebih dikenal sebagai Brady Law. Tetapi, penegakan dari Brady Law ini sendiri masih sangat lemah sehingga menyebabkan kadaluarsanya Brady Law pada tahun 2004. Imbasnya, perdebatan mengenai pengetatan regulasi kepemilikan senjata pribadi di tingkat nasional atau federal sering kali berada pada posisi stalemate, sebab para legislator konservatif Partai Republik di Kongres acapkali menolak rancangan undang-undang mengenai pengetatan regulasi kepemilikan senjata otomatis yang digodok oleh para anggota Kongres dari Partai Demokrat. Penolakan para legislator Republikan terkait pengetatan regulasi kepemilikan pribadi senjata api berakar dari teguhnya pendirian mereka untuk memastikan Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat masih tetap menjadi undang-undang. Adapun Amandemen Kedua tersebut berbunyi “A well-regulated militia, being necessary to the security of a free State, the right of the people to keep and bear arms, shall not be infringed.” (Cornell, 2006).

Pasca kejadian penembakan di suatu sekolah dasar di Uvalde, Texas beberapa minggu lalu yang menewaskan 19 murid kelas 4 SD dan 2 orang guru, dan penembakan di suatu swalayan di Buffalo, New York yang terjadi hanya 10 hari sebelum Uvalde, masyarakat Amerika Serikat kian muak akan kehadiran senjata otomatis dan semakin menginginkan adanya regulasi yang semakin ketat. Diambil dari VOA News (2022), Presiden AS Joe Biden kian mendesak para pembuat kebijakan di Capitol Hill untuk segera membuat rancangan undang-undang yang ‘masuk akal’ untuk menekan jumlah korban kekerasan akibat senjata api. Beberapa ‘common-sense measures’ yang dimaksud oleh Biden ialah pemberlakuan kembali Brady Law yang disahkan pada tahun 1994 yang telah kedaluwarsa 18 tahun silam. Beliau juga menginginkan Kongres untuk menaikkan batas minimal umur pembelian senjata otomatis dari 18 ke 21 tahun, sekiranya pelarangan peredaran senjata otomatis di Amerika Serikat memang terlalu susah untuk direalisasikan (VOA News, 2022). Ketidakinginan politikus-politikus konservatif Amerika Serikat untuk mementingkan negara diatas partai dalam ikhtiar bersama untuk melindungi anak-anak usia sekolah dan masyarakat awam hanya karena kecemasan terkait perampasan hak-hak mereka merupakan suatu hal yang mengecewakan dan kekanak-kanakan.

Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat memunculkan berbagai tafsiran dari sejumlah pakar hukum tata negara dan pakar konstitusi Amerika Serikat. Menurut penulis, Amandemen Kedua telah usang dan tidak relevan dengan situasi domestik Amerika Serikat dewasa ini. Sebab, kalimat “the right of the people to keep and bear arms” tidak bisa lagi dimaknai sebagai suatu hak istimewa yang membolehkan masing-masing rakyat untuk angkat senjata. Tidak hanya itu, frasa “A well-regulated militia” sebagai komponen pengamanan rakyat telah diwakili oleh kehadiran Garda Nasional di tingkat negara bagian. Cornell (2006) menyebutkan bahwa Amandemen Kedua timbul ketika Amerika Serikat masih berada pada situasi mempertahankan kemerdekaannya pasca Deklarasi Kemerdekaan 4 Juli 1776. Sehingga, penulis menyarankan bahwa perlu adanya kajian akademik lebih lanjut terkait apakah Amandemen Kedua masih dapat dipertahankan di Amerika Serikat era modern.

Referensi:

Arms (Prohibited Firearms, Magazines, and Parts) Amendment Act, 2019. Wellington: New Zealand Parliament.

Cornell, Saul. 2006. “English Tyranny versus American Liberty: Bearing Arms in Revolutionary America”, dalam A Well-Regulated Militia: The Founding Fathers and The Origin of Gun Control in America. New York: Oxford University Press.

Newstalk ZB, 2019. “PM on mosque shooting: ‘One of New Zealand’s darkest days’” [daring]. Tersedia di https://www.newstalkzb.co.nz/news/national/jacinda-ardern-on-mosque-shooting-one-of-new-zealands-darkest-days/ [diakses 13 Juni 2022].

Feast, L, 2019.Mosque shooting erodes New Zealand reputation for safety, tolerance” [daring]. Tersedia di https://www.reuters.com/article/us-newzealand-shootout-shock-idUSKCN1QW12N [diakses 13 Juni 2022].

Bredemier, K. & Widakuswara, P, 2022. “Biden Implores Congress to Approve New ‘Common-Sense’ Gun Restrictions” [daring]. Tersedia di https://www.voanews.com/a/biden-to-implore-congress-to-approve-new-common-sense-gun-restrictions-/6600916.html [diakses 15 Juni 2022].

Vizzard, William J. 2015. “The Current and Future State of Gun Policy in the United States”, Journal of Criminal Law and Criminology, 104(4):879–904.

--

--

FPCI Airlangga
FPCI Airlangga

Written by FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.

No responses yet