FPCI Airlangga
4 min readAug 26, 2023

[Opinion Articles]

Kudeta di Niger: Titik Awal Keruntuhan Kekuasaan Prancis di Afrika?

Kudeta di Niger: Titik Awal Keruntuhan Kekuasaan Prancis di Afrika?
Benua Afrika berulang kali bergolak sebagai medan monopoli geopolitik dunia. Berbagai negara besar telah lama menanamkan pengaruh mereka di benua tersebut. Pengaruh yang diberikan pun beragam-berjangka dari politik, ekonomi, hingga militer-yang bertujuan untuk memonopoli Afrika yang kaya akan akan sumber daya alam. Satu kekuatan asing yang dominan di Afrika, Prancis, turut menanamkan kekuasaannya sejak lama, utamanya berpusat di Afrika Barat. Namun, setelah berabad-abad pengaruh negara ini berdiri gagah, akhirnya senjakalanya pun menyingsing. Respons seputar kudeta yang baru-baru ini terjadi di Niger, salah satu negara Francophone (negara berbahasa Prancis), seakan-akan memberitahukan kepada dunia bahwa Afrika enggan bergantung kembali kepada Prancis.
Jejak Prancis di Afrika
Merunut sejarah, kolonialisme Prancis di Afrika bermula pada abad ke-17, dan terus berlangsung hingga penghujung abad ke-20. Selama periode itu, Prancis memperkuat pengaruhnya melalui beragam cara. Cara-cara tersebut, antara lain, ialah asimilasi budaya Prancis dan pembangunan infrastruktur demi memuluskan kepentingan negara Eropa tersebut. Namun, praktik kolonialisme tersebut berdampak buruk bagi masyarakat Afrika, di antaranya melalui eksploitasi sumber daya alam, diskriminasi rasial dan budaya asli Afrika, serta tak terhitungnya pelanggaran HAM berat yang meninggalkan korban duka.
Gerakan dekolonisasi Benua Afrika pada dekade ‘50 dan ‘60-an telah banyak menurunkan pengaruh Prancis. Meskipun begitu, Prancis didapati masih kerap menyuburkan pengaruhnya di Afrika demi kepentingan ekonomi & politik internasionalnya melalui beragam cara. Di antaranya, memberikan insentif finansial, menandatangani perjanjian kerjasama kemitraan, hingga intervensi militer secara langsung maupun tidak langsung. Catatan terakhir menunjukkan intervensi militeristik telah dilancarkan Prancis ke beberapa negara Afrika, antara lain, Chad, Mali, dan Central African Republic (Sıradağ 2014). Upaya lain yang Prancis meliputi pula keberadaan 31 pangkalan militer yang tersebar di seluruh Benua Afrika (ibid.)..
Upaya Prancis mempertahankan dominasinya tersebut lambat laun diperlemah karena kurangnya dukungan masyarakat lokal, utamanya lantaran intervensionisme yang terkesan sangat arogan, laksana memperlakukan negara-negara Afrika bak negara boneka. Bukti-bukti intervensi Prancis di Afrika tampak sepanjang sejarah modern, di antaranya intervensi militer Prancis di Côte d'Ivoire (2002) dan intervensi ke Libya (2011) yang menciptakan krisis yang tak berkeseduhan. Dua kasus tersebut termasuk ke dalam lebih dari 30 kali intervensi militer yang telah dilakukan Prancis di Afrika (Burgess 2019). Tidak mengherankan, kemudian, apabila masyarakat Afrika berusaha menentang arogansi negara mantan kolonial tersebut.

Menurunnya Pengaruh Prancis dalam Bayangan Kudeta Niger
Kudeta baru-baru ini yang dipimpin oleh Jenderal Abdourahmane Tchiani kemarin, dilakukan dengan menahan Presiden Niger Mohamed Bazoum dan Perdana Menteri Ouhoumoudou Mahamadou. Pemerintahan “baru” tersebut, memulai kepemerintahannya dengan menggaungkan narasi anti-Prancis dengan membawa tudingan bahwa Prancis telah melanggar kedaulatan udara Niger sekaligus menerjunkan pasukan teroris untuk membebaskan Presiden Bazoum. Selain itu, Pemerintah baru Niger menuduh ECOWAS (Economic Community Of West African States) sebagai organisasi bawahan Prancis, dengan berargumen bahwa ECOWAS lebih memprioritaskan kepentingan Prancis daripada kondisi rakyat di Afrika (BBC 2023).
Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab melemahnya pengaruh Prancis di Niger. Salah satunya disinyalir berasal dari praktik korupsi yang merajalela di kalangan elit politik, yang berakibat pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Prancis sendiri sudah memberikan bantuan keuangan dan sosial kepada Niger (Lachica, 2021), tetapi banyak pihak menganggap bahwa bantuan tersebut tidak efektif dan kurang transparan. Alhasil, bantuan-bantuan tersebut disalahgunakan menuju tujuan-tujuan berkonotasi anti-Prancis. Selain itu, muaknya beberapa negara Sahel akan intervensi Prancis di wilayah mereka juga menjadi salah satu penyebabnya. Karena adanya kudeta ini, keraguan tentang dominasi Prancis di Afrika semakin meningkat. Prancis dianggap tidak lagi mampu mengendalikan situasi politik di Afrika Barat, terutama karena semakin banyak negara berbahasa Prancis yang mengalami kudeta dan mengusir keberadaan Prancis dari wilayah mereka.

Kesimpulan
Kudeta di Niger selayaknya sebuah sinyal yang menggambarkan mundurnya pengaruh Prancis di Afrika Barat. Faktor faktor utama dari yang ditengarai menjadi penyebab adalah arogansi intervensi Prancis di Afrika Barat serta kehadiran Prancis yang dianggap lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan masyarakat Afrika. Perubahan tersebut, meskipun beberapa pihak mendapuknya sebagai radikal, jelas merupakan titik puncak dari segala proses negatif yang melibatkan Prancis. Kudeta Niger dan peningkatan sentimen anti-Prancis seyogianya kemudian mengantarkan para pengamat untuk memperhatikan lebih tentang perubahan tatanan kekuatan yang ada di Afrika, terutama yang berkaitan dengan Prancis.

Referensi
‌BBC News. 2023. “Niger Coup: Is France to Blame for Instability in West Africa?,” August 6, 2023, sec. Africa. https://www.bbc.com/news/world-africa-66406137.
Burgess, Stephen, 2018. “Military Intervention in Africa; French & US Approaches Compared”, Air & Space Power Journal-Africa & Francophonie, 9 (2): 69-89.
Lachica, Alan, 2021. “Revisiting the Rwandan Genocide: Reflections on the French-led Humanitarian Intervention”, Geopolitics Quarterly, 16 (4): 101-115.
‌Ramani, S. (2021). African perspectives Global insights Russia and China in Africa: Prospective Partners or Asymmetric Rivals? Policy Insights 120. [online] Available at: https://saiia.org.za/wp-content/uploads/2021/12/Policy-Insights-120-ramani.pdf.
‌Sıradağ, Abdurrahim. 2014. “Understanding French Foreign and Security Policy towards Africa: Pragmatism or Altruism.” Afro Eurasian Studies Journal 3 (1): 100–122. http://www.afroeurasianstudies.net/dosyalar/site_resim/veri/7429761.pdf.

FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.