[Opinion Article] Presidensi G-20 Indonesia dan Implikasinya terhadap Keberlangsungan Krisis Demokrasi

FPCI Airlangga
5 min readJun 27, 2022

--

Muhammad Al Farrel Endrizal — Universitas Airlanggaalfarrelendrizal14@gmail.com

Group of 20 atau G-20 adalah forum strategis global yang menghubungkan ekonomi maju terbesar di dunia dan negara berkembang. G-20 memiliki tanggung jawab kritis dalam memfasilitasi pembangunan dan kesejahteraan ekonomi global di masa depan (G20, 2022). G-20 dibentuk pada tahun 1999 sebagai respons atas krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. Tujuan mendasar dibentuknya G-20 adalah untuk menjamin bahwa dunia dapat pulih dari krisis dan pemulihan ekonomi global yang kuat dan berkelanjutan dapat dicapai. G-20 dimulai sebagai konferensi Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, tetapi sejak itu diperluas untuk mencakup pembicaraan tentang berbagai masalah pembangunan. Sejak 2008, G-20 juga mengundang kepala negara untuk menghadiri KTT (Kemenlu, 2022). G-20, yang dikenal sebagai platform kerja sama ekonomi teratas dunia, menyatukan para pemimpin, menteri, gubernur bank sentral, dan pejabat dari beberapa negara paling kuat di dunia, termasuk ekonomi maju, berkembang, dan berkembang (Triggs, 2018).

Globalisasi merujuk kepada era dimana berbagai perkembangan terjadi, mulai dari kemajuan teknologi, percepatan arus informasi, hingga masifnya peran non-state actor atau aktor non-negara. Berbagai perkembangan tersebut berujung kepada terbentuknya konektivitas di antara negara-negara di dunia (Baylis dkk, 2014). Global civil society atau masyarakat sipil global menjadi salah satu produk dari signifikansi globalisasi bagi politik global. Dengan berbagai kemajuan yang dibawa, globalisasi mendorong berbagai pembahasan di ruang publik untuk meluas, yang awalnya hanya berkutat pada isu nasional, dan menjangkau isu global (Castells, 2008). Tidak ada hal signifikan yang membedakan masyarakat dengan masyarakat sipil global. Fungsi mereka tetap berpusat pada pelaksanaan sikap kritis dan skeptis terhadap langkah-langkah pemegang kuasa.

Hanya saja, istilah ‘masyarakat sipil global’ sering kali dianggap abu-abu, dengan adanya pemberian dua kesan yang cenderung bertolak belakang. Ia dapat dilihat sebagai instrumen pembela kemanusiaan dan keadilan. Akan tetapi, di sisi lain, masyarakat sipil global tidak jarang berlaku tumpang tindih dengan negara, yang menjadi bagian lain dari ruang publik (Heywood, 2011). Hal tersebut tidak menjadi sesuatu yang benar-benar negatif, menimbang kultur politik demokratis membuka jalan bagi masyarakat untuk ikut serta dalam badan-badan negara. Keikutsertaan masyarakat dalam struktur politik identik dengan politik representatif. Secara bertahap tetapi berkelanjutan, pemikiran bahwa masyarakat dan ruang publik hanya perlu dilibatkan dalam pembahasan domestik ditinggalkan. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan globalisasi dan deteritorialisasi aktivitas politik, ekonomi, serta budaya (Heywood, 2011).

G-20 adalah bagian dari tata kelola global, dan pembentukannya merupakan langkah menuju perubahan tata kelola global karena menemukan keseimbangan antara legitimasi dan efisiensi, dan mengakui pergerakan gravitasi global ke Timur dan Selatan. Pemerintah global yang sah dan kredibel harus konsisten dengan norma-norma demokrasi. Di dunia di mana sistem global rentan, G-20 adalah batu loncatan menuju perubahan tata kelola global. Sayangnya, G-20 dituntut untuk menghindari munculnya debat politik. Forum yang akan dihelat di Bali menjadi salah satu tempat yang memungkinkan untuk mendiskusikan masalah demokrasi (Wihardja, 2011). G-20 harus mendorong upayanya dalam (1) menjaga legitimasi dan kredibilitasnya dengan memastikan bahwa suara negara-negara non-G-20 terwakili secara adil, (2) terus mendorong reformasi tata kelola Lembaga Keuangan Internasional untuk mencerminkan perubahan struktur ekonomi global. dan menciptakan proses pengambilan keputusan organisasi internasional yang lebih transparan, dan (3) memerangi ketidaksetaraan antar dan intra-negara yang sebagian disebabkan oleh faktor ekonomi (Wihardja, 2011).

Meski publik agaknya memberi respons positif terhadap kepemimpinan G-20, Indonesia diharapkan akan melahirkan kebijakan ekonomi neoliberal yang kuat dan stabilitas domestik, yang akan didukung oleh upaya pembentukan kemitraan signifikan meliputi bisnis politik dan perusahaan besar. Namun, kebijakan pemulihan ekonomi pemerintah selama kepemimpinan G-20 diperkirakan akan berdampak negatif pada demokrasi dan hak-hak sipil. Situasi politik Indonesia yang tidak dapat diprediksi akan terus berlanjut, dipengaruhi oleh penyebab sosial ekonomi yang lebih besar dari pandemi COVID-19 dan lingkungan politik yang sulit menjelang pemilihan presiden 2024 (Al-Fadhat, 2022). Selama pandemi, beberapa keberlangsungan yang cenderung akan berbahaya pada dinamika bangsa Indonesia, seperti meningkatnya intervensi militer dalam masalah sipil, perpecahan ideologis, dan represi konstan terhadap kebebasan berekspresi. Selagi rakyat Indonesia menikmati peran negara sebagai pimpinan dari forum yang berisi dua puluh kekuatan ekonomi terbesar di dunia, konsekuensi sosial dan politik dari strategi ekonomi neoliberal yang hanya akan menimbulkan ketimpangan manfaat menjadi kekhawatiran yang utama dalam konteks presidensi G-20 (A;-Fadhat, 2022).

Opini publik terhadap kebijakan luar negeri memegang peranan khusus dalam kajian psikologi politik. Secara tradisional, publik diasumsikan tidak dapat dipercaya untuk terlibat jauh dalam perumusan dan kelangsungan kebijakan luar negeri. Publik dipandang terlalu tidak berpendidikan dan tidak terhubung untuk memiliki gagasan yang terstruktur dengan baik tentang dunia di sekitarnya (Kertzer, 2021). Dinamika media dan jurnalisme di Indonesia pun tidak membantu kondisi tersebut. Seiring dengan maraknya berita ‘kosong’ yang tersebar di kanal-kanal publik, informasi dan wawasan penting pun tenggelam akibat kekalahan persaingan algoritma internet. Hal tersebut perlu menjadi fokus Indonesia sebelum melangkah lebih jauh dalam posisinya sebagai pimpinan dari G-20, yaitu membenahi situasi dan kondisi yang berlangsung di ranah domestik. Dengan berbagai kekacauan dan instabilitas politik dalam negeri, entah bagaimana Indonesia akan berupaya mempromosikan eksistensi dan signifikansi nilai-nilai demokrasi global.

Referensi:

Al-Fadhat, F., 2022. “Authoritarian Tendencies Loom for Indonesia’s G20 Presidency” [daring]. Dalam https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/authoritarian-tendencies-loom-indonesias-g20-presidency/ [diakses 24 Juni 2022].

Baylis, J., Smith, S., & Owens, P., 2014. The Globalization of World Politics: An introduction to international relations, sixth edition. Italy: Oxford University Press.

Castells, M., 2008. “The New Public Sphere: Global Civil Society, Communication Networks, and Global Governance”, The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 616(1):78–93.

G20 Indonesia, 2022. “About the G-20” [daring]. Dalam https://g20.org/about-the-g20/#:~:text=The%20G20%20holds%20a%20strategic,percent%20of%20the%20world%20population [diaskes 24 Juni 2022].

Heywood, A., 2011. Global Politics. China: Palgrave Macmillan.

Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2022. “Indonesia Promotes Spirit to Recover Together in the 2022 G-20 Presidency”. [daring]. Dalam https://kemlu.go.id/portal/en/read/3288/berita/indonesia-promotes-spirit-to-recover-together-in-the-2022-G-20-presidency [diakses 24 Juni 2022].

Kertzer, J. D., 2021. “Public Opinion about Foreign Policy’ dalam Oxford Handbook of Political Psychology.

Triggs, A., 2018. “Macroeconomic policy cooperation and the G20”, The World Economy, 41(5):1309–1341.

Wihardja, M. M., 2011. “The G20 and Global Democracy” dalam G20: Perceptions and Perspective for Global Governance [daring]. Dalam https://www.kas.de/c/document_library/get_file?uuid=16bb73bb-6fa4-484b-2f37-33d9fba4c3d0&groupId=252038 [diakses 24 Juni 2022].

--

--

FPCI Airlangga
FPCI Airlangga

Written by FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.

No responses yet