[Opinion Article] Permasalahan Birokrasi dan Tantangan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia: Perlukah Sebuah Kementerian Baru?
Muhammad Raka Hadiyan — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Memasuki tahun 2023, Indonesia akan mendapatkan sebuah peringatan bahwa komitmen yang tertanam sejak Paris Agreement di tahun 2016, hanya memiliki waktu tujuh tahun lagi untuk dilaksanakan. Pada saat itu, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi setidaknya 29% di tahun 2030 tanpa perubahan perekonomian signifikan atau business-as-usual. Hingga saat ini, optimisme bahwa Indonesia dapat meraih target tersebut semakin berkurang. Bahkan, jauh sebelum itu, pihak pemerintah sendiri mengakui bahwa target mengurangi emisi di tengah hiruk pikuk perkembangan ekonomi Indonesia merupakan target yang sulit (IRENA, 2018). Hal tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari lambannya kebijakan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Ada banyak cara untuk dapat menjelaskan bahwa perkembangan energi terbarukan di Indonesia masih dalam tahapan yang lambat apabila dibandingkan dengan negara lain. Salah satu data yang mendukung adalah dengan melihat indeks perkembangan total kapasitas energi terbarukan dari tahun ke tahun, sebuah data statistik yang disediakan oleh International Renewable Energy Agency (IRENA). Dari data tersebut, terlihat bahwa Indonesia hanya mampu menambah kurang lebih 20.000 MW total kapasitas energi terbarukannya dari tahun 2012 hingga 2020. Angka tersebut memang tampak besar, akan tetapi tidak berarti apa-apa apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya yang juga memiliki banyak potensi sumber daya energi terbarukan seperti Vietnam dan India. Vietnam, sebagai contoh, mampu menambah kurang lebih 30.000 MW total kapasitas penggunaan energi terbarukan dalam rentang waktu yang sama, sedangkan India sendiri mampu menambah hampir 130.000 MW total kapasitasnya (IRENA, 2022).
Apabila data tersebut ditelusuri lebih dalam, maka akan ditemukan banyak permasalahan mengenai mengapa pembangunan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia sering menemui hambatan. Beberapa penulisan ilmiah sebelumnya menggarisbawahi beberapa hal, seperti banyaknya kebijakan yang kontradiktif dengan Paris Agreement, kemampuan institusi pemerintahan yang masih rendah, eksplorasi sumber energi terbarukan yang menemui banyak hambatan, hingga minimnya investasi dan sumber pendanaan sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur (Overland, et al., 2021; Yoseph-Paulus & Hindmarsh, 2018). Beberapa permasalahan tersebut pada akhirnya lebih berfokus pada birokrasi serta tahapan pengambilan kebijakan dari pemerintah mengenai energi terbarukan yang dianggap kurang progresif. Belum lagi, salah satu agenda COP-27 yang hendak dilaksanakan pada bulan November mendatang juga akan membahas mengenai pentingnya kerjasama antara sektor publik dan privat, serta bagaimana kebijakan mitigasi iklim dapat bersifat inklusif dan menyasar pada semua pihak (World Climate Summit, 2022). Dengan demikian, apabila tidak dilakukan pembenahan dalam birokrasi Indonesia, bisa jadi upaya untuk menciptakan transisi energi berkelanjutan justru akan semakin tertinggal.
Dorongan untuk memperbaharui tata birokrasi di Indonesia dalam penanganan energi terbarukan sebenarnya sudah diangkat sejak tahun 2019. Saat ini, dua badan pemerintahan yang menangani energi terbarukan adalah Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) serta Direktorat Ketenagalistrikan yang keduanya merupakan bagian dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pembaharuan birokrasi dapat dilakukan dengan Indonesia mendirikan sebuah kementerian baru yang berfokus pada pengembangan energi baru dan terbarukan. Hal tersebut dianggap sebagai cara yang sangat efektif untuk menunjukkan adanya prioritasi dari pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan. Dampak positif yang diharapkan bisa bermacam-macam, mulai dari adanya keleluasaan dari pemerintah sendiri, pengambilan kebijakan yang lebih efektif, hingga kemampuan untuk menarik lebih banyak investor untuk meningkatkan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia (Vakulchuk, et al., 2020).
Dua contoh negara yang sempat disebutkan sebelumnya dalam penulisan ini, Vietnam dan India, juga mampu meningkatkan infrastrukturnya secara pesat dikarenakan adanya pemerintahan yang efektif. Kedua negara mampu terklasifikasi sebagai bagian dari Top 40 negara dengan daya tarik pengembangan energi terbarukan di dunia. Vietnam berada di peringkat 30, sedangkan India duduk di peringkat 7. Adapun Indonesia sendiri mengalami penurunan skor dan harus keluar dari klasifikasi 40 besar per tahun 2022 (RECAI, 2022). Vietnam, meski tidak memiliki kementerian khusus pengembangan energi terbarukan, memiliki alur birokrasi yang baik dikarenakan sistem pemerintahannya yang berorientasi sosialis. Dengan demikian, partisipasi sektor swasta dalam negeri mendapatkan porsi yang seadanya dan pemerintah memegang banyak kendali untuk berinteraksi dengan pihak eksternal (Nguyen, et al., 2019). Adapun India, merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki Kementerian Energi Baru dan Terbarukan sejak tahun 2006. Kementerian tersebut terbukti efektif dalam pengembangan energi terbarukan di India, serta memfasilitasi kekayaan sumber energi yang ada di negaranya (Elavarasan, et al., 2020).
Dengan demikian, India dapat menjadi rujukan untuk menentukan tugas apa saja yang hendak diemban oleh kementerian yang khusus mengawasi perkembangan energi terbarukan. Setidaknya terdapat lima misi, yaitu: (1) memastikan keamanan energi terbarukan (energy security) dengan menghilangkan dependensi terhadap subsidi maupun penggunaan bahan bakar fosil; (2) memperbanyak suplai listrik dari sumber energi terbarukan; (3) memberikan akses dan ketersediaan lebih banyak dari energi terbarukan terhadap keseharian masyarakat; (4) memastikan bahwa energi terbarukan dapat diakses dengan baik dan adil oleh keseluruhan masyarakat (Indian Ministry of New and Renewable Energy, 2017). Salah satu perbedaan signifikan apabila membandingkan Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India dengan Dirjen EBTKE Indonesia adalah keleluasaan. Salah satu tugas dan fungsi yang harus diemban Dirjen EBTKE Indonesia adalah pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh menteri (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014).
Dengan demikian, penulisan ini menyimpulkan bahwa salah satu cara untuk mengembalikan semangat Indonesia untuk mencapai target-target energi terbarukannya dapat dilakukan dengan cara perubahan dari sektor pemerintahan. Penulisan ini berfokus pada bagaimana sebuah kementerian baru yang berfokus pada energi baru dan terbarukan dapat memberikan pengaruh besar, terutama apabila dibandingkan dengan negara lain yang sudah menerapkannya. Adanya kementerian baru dapat memberikan dampak peningkatan investasi dan saran lainnya untuk mendukung pembangunan infrastruktur energi terbarukan, serta memberikan keleluasaan lebih banyak bagi pemerintah untuk mengembangkan kebijakan.
Referensi:
Elavarasan, R. M., Shaifullah, G. M., Padmanaban, S. & Kumar, N. M., 2020. “A Comprehensive Review on Renewable Energy Development, Challenges, and Policies of Leading Indian States with International Perspective”, IEEE Access, 8:74432–74457.
Indian Ministry of New and Renewable Energy, 2017. “Mission — Indian Ministry of New and Renewable Energy” [Daring]. Tersedia di https://mnre.gov.in/mission-and-vision-2/mission-and-vision/mission-2/ [diakses pada 7 Oktober 2022].
IRENA, 2018. Renewable Energy Statistics 2018, Abu Dhabi: International Renewable Energy Agency.
IRENA, 2022. Renewable Energy Statistics 2022, Abu Dhabi: International Renewable Energy Agency.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2014. “Tugas dan Fungsi — Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi” [Daring]. Tersedia di https://ebtke.esdm.go.id/profile/2/tugas.dan.fungsi [diakses pada 7 Oktober 2022].
Nguyen, P. A., Abbott, M. & Nguyen, T. L. T., 2019. “The Development and Cost of Renewable Energy Resources in Vietnam”, Utilities Policy, 57:59–66.
Overland, I. et al., 2021. “The ASEAN Climate and Energy Paradox”, Energy and Climate Change, 2:100019.
RECAI, 2022. RECAI: Renewable Energy Country Attractiveness Index, London: EY.
Vakulchuk, R. et al., 2020. Policy Brief, Indonesia: How to Boost Investment in Renewable Energy, Jakarta: ASEAN Centre for Energy.
World Climate Summit, 2022. “COP-27: Where Ambition Meets Action, the Leading Forum for Public-Private Partnerships” [Daring]. Tersedia di https://www.worldclimatesummit.org/?gclid=Cj0KCQjwnP-ZBhDiARIsAH3FSRcrAhLm25RsxNt1kvHsV17OpDS5PLedu0Uto8gMZzQVxEJ1YPJ27y0aAhiqEALw_wcB [diakses pada 7 Oktober 2022].
Yoseph-Paulus, R. & Hindmarsh, R., 2018. “Addressing Inadequacies of Sectoral Coordination and Local Capacity Building in Indonesia for Effective Climate Change Adaptation”, Climate and Development, 10(1):35–48.