[Opinion Article] Meraih Kejayaan Bahari melalui Diplomasi: Indonesia dan Pendirian Archipelagic & Island States Forum
Muhammad Raka Hadiyan — FPCI Chapter Airlangga
Setelah puas dengan segala hingar bingar presidensi G20 pada tahun 2022, sudah saatnya bagi Indonesia untuk menatap ke depan menuju beberapa program kebijakan luar negeri di tahun 2023. Sebagaimana yang sudah menjadi bahasan dalam berbagai ruang diskusi, Chairmanship ASEAN tentu tidak boleh dilewatkan, terutama berkaitan dengan penguatan strategi diplomasi Indonesia setidaknya untuk tingkat regional. Akan tetapi, satu hal yang tidak boleh luput dari perhatian publik adalah program diplomasi maritim pemerintah. Pada tahun 2023, penting untuk mengingat bahwa Indonesia juga akan menjadi tuan rumah dari High-Level Meeting pertama Archipelagic & Island States (AIS) Forum.
Sama seperti namanya, Archipelagic & Island States (AIS) Forum merupakan sebuah organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara kepulauan dari seluruh dunia, mulai dari kawasan Oseania, Karibia, hingga negara dengan budaya maritim yang kuat seperti Britania Raya dan Jepang. Forum tersebut memiliki fokus untuk mengajak seluruh anggotanya bekerja sama dalam mengatasi berbagai bentuk persoalan pengembangan berkelanjutan yang berkaitan dengan kawasan laut atau bahari (Archipelagic & Island States Forum). Keunikan tersendiri dari AIS Forum bagi kebijakan luar negeri Indonesia terletak pada pendiriannya yang diinisiasi oleh Indonesia sendiri melalui Ocean Conference 2017 di New York dan dilanjutkan dengan Conference on the Archipelagic and Island States Forum di Jakarta pada tahun 2017 (United Nations 2017). Pada tahun 2023, untuk pertama kalinya AIS Forum akan mengundang kepala pemerintahan dari 47 negara anggotanya dalam High-Level Meeting yang pertama. Selain itu, menarik pula untuk diketahui bahwa fokus Indonesia untuk berdiplomasi melalui AIS Forum juga secara implisit tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 34 tahun 2022 tentang trayektori baru pengembangan strategi “Poros Maritim Dunia”. Dengan posisinya sebagai inisiator, Indonesia seharusnya memiliki kekuatan untuk menginisiasi banyak program dalam bentuk diplomasi maritim melalui AIS Forum.
Sejak awal pendiriannya pada tahun 2017, terdapat beberapa program yang sudah dijalankan oleh AIS Forum. Dengan fokus utamanya untuk menyongsong pembangunan berkelanjutan, program-program AIS Forum sangat berorientasi terhadap masyarakat, lingkungan, dan kerjasama transnasional. Melalui Manado Joint-Declaration yang disahkan pada tahun 2018, disebutkan bahwa AIS Forum memahami dan akan menekankan peran penting dari pemuda, kelompok masyarakat, akademisi, start-ups, filantropi, industri, serta sektor swasta sebagai stakeholder utama pengembangan bahari. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa AIS Forum menghendaki adanya kerjasama maritim yang berfokus untuk membangun sektor kelautan negara-negara anggotanya melalui pendekatan bottom-up (Levit 2017). Dari pendekatan dan subjek-subjek tersebut, diciptakan berbagai program yang terfokus kepada lima bidang: (1) Penelitian dan Pengembangan; (2) Kewirausahaan; (3) Kerjasama Transnasional; (4) Pendanaan Inovatif; serta (5) Kepekaan terhadap Wilayah Laut (Archipelagic & Island States Forum).
Pada sesi pembukaan rapat menteri ke-4 AIS Forum, Bali 6 Desember 2022, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI), Retno Marsudi, menyampaikan sambutan dengan menekankan dua hal, yakni: menjaga semangat kolaboratif Indonesia dengan negara-negara Pasifik dan memperkuat persatuan untuk mencapai ekonomi laut berkelanjutan sebagai common cause atau tujuan bersama (Kemlu 2022). Menyongsong High-Level Meeting pertama AIS Forum yang tidak lama lagi akan segera dilaksanakan, komitmen Indonesia selaku tuan rumah penyelenggara sudah sewajarnya dibuktikan dengan upaya re-evaluate (evaluasi kembali) program-program yang telah dieksekusi sebelumnya guna mengartikulasikan sejauh mana signifikansi pengaruh atau dampak yang dapat diberikan berbagai program tersebut terhadap masyarakat luas.
Sejak pertama kali didirikan pada tahun 2018 melalui Manado Joint-Declaration, perkembangan AIS dapat dikatakan on-track dan telah cukup memuaskan. Blue Startup Innovation Hub, salah satu program unggulan yang berada dalam bidang kewirausahaan, hadir dalam bentuk platform penghubung antar pengusaha di seluruh negara bagian AIS dan penyedia jasa pelatihan yang berfokus pada peningkatan kapasitas bagi lebih dari 1.500 orang di sektor UMKM (AIS Blue Startup Hub 2022). Tak kalah unggul, dalam bidang penelitian dan pengembangan, AIS Forum juga telah memberikan beasiswa dan hibah penelitian senilai lebih dari USD 100.000. Padjadjaran Oceanographic Data Center (PODC), hadir dalam bentuk platform database online sumber daya data kelautan dan iklim. Ditunjang dengan relasi kemitraan AIS-UNDP, kolaborasi riset antara Universitas Padjajaran dan University of Philippine berhasil mengembangkan portal data kelautan yang dapat diakses secara gratis untuk umum. Kumpulan data ini sangat penting untuk memahami perubahan lingkungan laut dan atmosfer secara real-time guna memprediksi badai dan memandu pemerintah dalam proses perumusan kebijakan kelautan yang berfokus pada keberlanjutan dan pengembangan ekonomi biru (Purba dkk. 2o21).
Peran AIS dalam memfasilitasi kerjasama antar negara pulau dan kepulauan adalah memupuk koneksi dan proyek kolaboratif melalui kemitraannya dengan perusahaan swasta, otoritas pemerintah, universitas, LSM, media, dan organisasi global atau regional. Melalui kerjasama transnasional, AIS berupaya menciptakan jaringan pakar, peneliti, dan pembuat kebijakan yang dapat memberikan wawasan dan dukungan terhadap pengembangan peta jalan ekonomi biru. Namun terlepas dari berbagai solusi inovatif penggunaan data yang handal, teknologi canggih, mekanisme pembiayaan unik dan juga kemitraan non-tradisional, pada dasarnya perkembangan berkelanjutan kawasan bahari tetap membutuhkan sumber daya keuangan yang cukup besar dan pedoman strategi pembiayaan yang matang. Guna menstimulasi ekonomi laut keberlanjutan, kolaborasi dan gotong royong antara para stakeholder yang terlibat, merupakan hal yang terpenting untuk memastikan keberlanjutan program dan kegiatan AIS Forum. Melalui inisiatif pendanaan inovatif Blue Financing Strategic, Indonesia berusaha menunjukkan diplomasi maritimnya dengan mengembangkan ekosistem pendanaan berkelanjutan yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Sementara Blue Financing Strategic bertindak sebagai panduan investasi untuk perusahaan swasta yang telah dilengkapi pengukuran dampak proyek berdasarkan faktor lingkungan, ekonomi, dan sosial, juga terdapat Blue Bonds dan Blue Sukuk Framework yang akan bertindak sebagai panduan bagi negara pulau dan kepulauan dalam mengeluarkan instruksi utang untuk proyek kelautan yang berkepanjangan (AIS Forum 2022).
Di samping program-program tersebut, penting untuk digarisbawahi pula bahwa pengembangan strategi maritim melalui diplomasi dan pendekatan bottom-up merupakan suatu hal yang baru. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Indonesia melalui AIS Forum merupakan negara pertama yang berani untuk melakukan pendekatan tersebut. Dalam buku “The Anarchic Sea” yang ditulis oleh Dave Sloggett, program diplomasi bahari melalui AIS Forum sebenarnya juga termasuk ke dalam rangkaian strategi maritim kontemporer, di antaranya: perlindungan dagang, manajemen sumber daya, serta oseanografi (Sloggett 2013). Akan tetapi, tetap harus disadari bahwa pendekatan yang diambil dalam strategi maritim kontemporer dari banyak negara masih berfokus pada bidang keamanan. Begitu pula para akademisi lain memaknai strategi maritim kontemporer menurut Sloggett yang memang memberi penekanan lebih lanjut pada unsur keamanan dan kesiapan armada militer (Summers 2016; Abdenur dan Neto 2014; Sperling 2022). Sehingga, forum-forum diplomasi multilateral mengenai kelautan selama ini sekedar berfokus pada isu-isu keamanan. Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan AIS Forum yang tidak menaruh fokusnya terhadap kerjasama dalam penguatan militer.
Alasan utamanya tentu dapat dirujuk kembali ke dalam Peraturan Presiden Nomor 34 tahun 2022, dan bahkan lebih jauh mengenai dokumen-dokumen kebijakan sebelumnya yang berkaitan dengan “Poros Maritim Dunia”. Sejak awal peluncurannya dalam KTT Asia Timur Ke-9 tahun 2014, narasi mengenai konsep Poros Maritim Dunia memang lebih terfokus pada kedaulatan ekonomi di laut Indonesia. Dengan seluruh sumber daya yang Indonesia miliki, ekonomi bahari seharusnya dapat menjadi aset yang kuat bagi perekonomian Indonesia untuk kemudian menyaingi kekuatan maritim Tiongkok di kawasan Asia Pasifik. Hal tersebut mengindikasikan suatu perubahan bahwa Poros Maritim Dunia seharusnya bukan hanya menjadi doktrin militer dalam wawasan geopolitik Indonesia, melainkan juga menjadi panduan kebijakan perekonomian yang berkaitan dengan geoekonomi. Masih sejalan dengan narasi awal tersebut, Peraturan Presiden Nomor 34 tahun 2022 merilis bahwa arah kebijakan Poros Maritim Dunia dalam tahun 2021–2025 akan diselenggarakan untuk memperkuat ketahanan ekonomi melalui penguatan sumber daya, budaya bahari, infrastruktur, serta stabilitas politik, hukum, dan keamanan. Adapun fungsi AIS Forum adalah untuk menjembatani bentuk-bentuk diplomasi Indonesia bersama mitra-mitra eksternal dalam menghadapi berbagai tantangan terkait kebijakan bahari. Selain relevan dengan kebijakan dalam negeri Indonesia sebagai inisiator, pendekatan baru dalam diplomasi melalui inisiasi AIS Forum juga sejalan dengan teori dalam hubungan internasional. Joseph Nye dalam bukunya “Understanding Global Conflict and Cooperation” menuliskan bahwa sebuah negara bisa jadi berfokus pada isu lain seperti pengembangan ekonomi dan kesejahteraan apabila sudah mampu meraih stabilitas dalam bidang keamanan (Nye dan Welch 2014).
Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa pengembangan AIS Forum sebagai sebuah sarana diplomasi melalui forum organisasi internasional yang berfokus pada isu-isu bottom-up merupakan suatu hal yang unik namun sangat relevan dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia dalam strategi maritimnya. Akan tetapi, dikarenakan menjadi hal yang baru, indikator kesuksesan dalam menilai pencapaian dari AIS Forum secara keseluruhan tentu masih sangat sulit. Bagi Indonesia, keuntungan yang didapat dari AIS Forum hanya dapat dipahami dengan menemukan relevansinya terhadap arah kebijakan dan strategi yang sudah diatur dalam kebijakan pemerintah. Selain itu, hingga saat ini, setidaknya AIS Forum sudah berhasil menjadi cerminan akan optimisme Indonesia untuk menjadi inisiator strategi kelautan yang baru sebagai tahapan untuk menjadi “Poros Maritim Dunia”.
Referensi
Abdenur, Adriana Erthal, dan Danilo Marcondes de Souza Neto, 2014. “Region-building by rising powers: the South Atlantic and Indian Ocean rims compared”, Journal of the Indian Ocean Region, 10(1): 1–17.
Archipelagic & Island States Forum. “About Us” [Daring]. Melalui https://www.aisforum.org/ [diakses pada 15 Desember 2022].
Levit, Janet Koven, 2017. “A bottom-up approach to international lawmaking: the tale of three trade finance instruments”, The Globalization of International Law, 559–646.
Nye, Joseph S., dan David A. Welch, 2014. Understanding Global Conflict and Cooperation: An Introduction to Theory and History. Boston: Pearson.
Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2022 Tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021–2025, 2022. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Sloggett, Dave, 2013. The Anarchic Sea: Maritime Security in the Twenty-First Century. London: Hurst
Sperling, James, 2022. Routledge Handbook of Maritime Security. London: Routledge.
Summers, Tim, 2016. “Discourses and Institutions in China’s Maritime Disputes”, China Information, 30(3): 275–295.
United Nations, 2017. Press Release on Ocean Conference 2017 [Press Release], dikeluarkan pada 9 Juni 2017.