[OPINION ARTICLE] Aksesi Indonesia ke OECD dan Dampaknya Terhadap Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

FPCI Airlangga
6 min readMar 9, 2024

Bilal Asyfahani Fireza

Kabar baik datang dari Paris. Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Mathias Cormann telah menyetujui untuk membuka dialog dengan pemerintah Indonesia guna membahas aksesi Indonesia ke dalam organisasi multilateral tersebut (OECD 2024). Dialog ini berakar dari pengajuan Indonesia untuk menjadi anggota ke-39 dari organisasi beranggotakan 38 negara tersebut pada tahun 2022 silam. Di waktu yang hampir bersamaan, Indonesia juga membuka peluang untuk ikut merapatkan barisan dengan BRICS, sebuah organisasi multilateral yang beranggotakan 5 negara Global South, yakni Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (The Jakarta Post 2023). Kehadiran BRICS dalam konstelasi politik internasional digadang-gadang sebagai suara ‘The Rest’ yang menggaungkan multipolaritas, dimana ia berkontra dengan suara ‘The West’ yang condong kepada unipolaritas yang didominasi negara-negara anggota OECD, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis (Mahbubani 1992). Semangat multipolaritas sejatinya telah diusung oleh Indonesia sejak awal Indonesia meraih kemerdekaan, dengan diinisasinya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 yang berbuah Dasasila Bandung. ‘Bandung Spirit’ yang hadir di kalangan negara-negara Global South menggaungkan semangat multipolaritas serta menolak neokolonialisme dan neoimperialisme di tengah situasi global yang terikat dalam bipolaritas Amerika Serikat dan Uni Soviet pada Perang Dingin. Kendati Indonesia sudah menjajakan dialog aksesi dengan OECD, Indonesia masih tetap berpegangan kepada Bandung Spirit dan akan tetap memproyeksikan dirinya sebagai bagian penting dalam penguatan Kerjasama Selatan-Selatan — South-South Cooperation.

Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan yang membingungkan, sebab keputusan Indonesia untuk terlibat dalam OECD ataupun BRICS dapat mempengaruhi orientasi kebijakan luar negeri dan juga kebijakan domestiknya. Mengapa membingungkan? Sebab, sejauh ini Indonesia telah menerapkan posisi hedging antara dua negara adidaya dalam tataran politik internasional, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok dimana keduanya merupakan pendiri dari OECD dan BRICS secara berturut-turut. Dalam sektor pertahanan dan keamanan, Indonesia lebih condong untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, dicerminkan dari intensitas pertemuan bilateral Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dengan menteri-menteri pertahanan negara Barat, utamanya Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia 2023). Tidak hanya itu, Indonesia juga masih menaruh kewaspadaan tinggi terhadap Tiongkok atas klaim liarnya terhadap wilayah Laut Tiongkok Selatan dimana zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah Kepulauan Anambas dan Natuna bersimpangan langsung dengan klaim ten-dash line Beijing. Sebaliknya, dalam sektor perekonomian dan pembangunan nasional, Indonesia lebih berkiblat kepada Tiongkok dalam menjalankan kerjasama ekonomi atas dasar biaya yang lebih terjangkau dan kemudahan regulasi apabila dibandingkan dengan negara-negara Barat. Preferensi ini terlihat dalam berbagai proyek di Indonesia yang dijalankan melalui kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI), seperti megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh (Metro TV News 2023).

Per bulan Februari 2024, Indonesia hanya mengungkapkan keinginannya untuk bergabung ke dalam blok OECD, dan OECD juga sudah merespons pendaftaran Indonesia dengan mulai membuka dialog dalam rangka proses aksesi Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Apabila keanggotaan Indonesia dalam OECD berhasil disepakati oleh 38 negara anggota lainnya, Indonesia akan menjadi negara Asia ketiga setelah Jepang dan Korea Selatan dan negara Asia Tenggara pertama yang berhasil bergabung ke dalam organisasi tersebut. Adapun alasan dari berminatnya Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi ini, menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), ialah pengaruh positif OECD bagi percepatan digitalisasi birokrasi dan perbaikan kualitas demokrasi dan birokrasi di Indonesia serta untuk membantu merealisasikan visi Indonesia Emas 2045 (CNBC Indonesia 2023; OECD 2024). Tentunya Indonesia tidak mengajukan keanggotaan OECD dengan tangan kosong. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi yang dapat membantu mempercepat proses aksesi Indonesia ke dalam OECD, seperti kebijakan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kebijakan pencegahan korupsi, dan kebijakan pajak yang sudah sesuai dengan standar-standar OECD (CNBC Indonesia 2023). Tentu, perlu diingat juga bahwa Indonesia juga telah menjadi mitra kunci — Key Partner — OECD sejak tahun 2007 dan telah rutin bekerjasama dengan organisasi tersebut dalam isu-isu strategis, seperti reformasi kebijakan sosial, lingkungan, dan ekonomi (OECD 2024).

Kendati Indonesia telah secara resmi menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan OECD, Indonesia tetap berinteraksi dengan negara-negara di luar keanggotaan OECD, terkhusus para pendiri BRICS. The Jakarta Post (2023) memberitakan bahwa Presiden Jokowi telah menolak secara halus undangan dari kelima negara tersebut untuk bergabung dalam perkumpulan tersebut ketika Jokowi menghadiri KTT BRICS pada bulan Agustus lalu di Johannesburg, Afrika Selatan. Perlu diketahui juga, bahwa meskipun BRICS beranggotakan secara eksklusif hanya 5 negara, kelima negara tersebut telah bersepakat untuk memperlebar sayapnya dengan mulai mengajak berbagai negara berkembang lainnya untuk bergabung dalam upaya ekspansi BRICS menjadi ‘BRICS+’. Per bulan Januari 2024, terhitung terdapat 5 negara tambahan yang telah bergabung ke dalam BRICS, yakni Mesir, Iran, Etiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Indonesia menjadi salah satu negara potensial anggota baru BRICS atas dasar bahwa Indonesia merupakan salah satu pejuang multipolaritas sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 dan terus mengadvokasikan reformasi terhadap tatanan ekonomi global (The Jakarta Post 2023).

Alasan dari penolakan Indonesia datang dari pertimbangan dua srikandi politik Indonesia, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Pertimbangan beliau berdua untuk menolak tawaran bergabung ke dalam BRICS didasari oleh gejolak antar anggota yang tengah berlaku (The Jakarta Post 2023). Gejolak yang dimaksud meliputi sengketa batas wilayah antara India dengan Tiongkok di kawasan Aksai Chin dan Rusia yang mendapat kecaman global akibat keputusannya untuk melakukan invasi ke Ukraina pada tahun 2022 silam. Beliau berdua mengkhawatirkan reputasi Indonesia yang selama ini telah dibangun melalui implementasi politik luar negeri bebas aktif dapat hancur seketika apabila terbukti mendukung salah satu blok, dimana Indonesia telah bersikap imparsial sejak lama. Tidak hanya masalah reputasi, beliau berdua juga menekankan bahwa untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 milik Presiden Jokowi untuk menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045, Indonesia harus berorientasi kepada stabilitas dan contoh-contoh keberhasilan pembangunan nasional dari negara-negara yang lebih maju (OECD 2024; The Jakarta Post 2023). Sehingga, akan menjadi lebih masuk akal bagi Indonesia untuk bergabung ke dalam OECD.

Lantas, muncul pertanyaan apakah dengan Indonesia bergabung bersama OECD secara tidak langsung juga ikut melanggar prinsip bebas aktif yang selama ini telah dipegang teguh oleh Indonesia? Penulis berpendapat tidak. Sebab, penafsiran masing-masing presiden mengenai prinsip bebas aktif dalam pelaksanaan hubungan internasional dan politik luar negeri Indonesia akan berbeda-beda. Kendati begitu, intipati dari prinsip ini adalah penekanan terhadap kebebasan Indonesia dari tekanan pihak-pihak eksternal dalam menentukan arah kebijakan dalam dan luar negeri (Hatta 1953). Yang ingin ditekankan oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dalam merumuskan prinsip bebas aktif adalah Indonesia yang berdaulat dalam menentukan keputusan dan kebijakannya sendiri dengan mengutamakan kepentingan-kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional yang dimaksud bukanlah kepentingan dari tiap-tiap presiden atau kabinet, tetapi amanat Undang-Undang Dasar untuk 1) memajukan kesejahteraan umum, 2) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 3) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945). Sehingga, apabila keputusan Indonesia untuk bergabung di dalam OECD merupakan upaya manifestasi dari kepentingan dan cita-cita bangsa tanpa adanya tekanan dari pihak manapun, maka penulis tidak melihat adanya pelanggaran terhadap prinsip bebas aktif yang selama ini telah dipegang. Justru, penulis melihat keputusan ini sebagai bentuk penguatan terhadap prinsip bebas aktif itu sendiri.

Akhir kata, proses aksesi Indonesia dalam OECD tentu akan memakan waktu panjang, dan mengingat adanya pergantian pemerintahan dari Presiden Jokowi ke presiden baru pada bulan Oktober mendatang, tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan ini akan jatuh kepada presiden dan kabinet baru. Peranan kita semua sebagai penstudi Hubungan Internasional, analis kebijakan luar negeri, atau bahkan sebagai masyarakat sipil biasa, adalah untuk terus mengawal jalannya pemerintahan dan juga meminta pertanggungjawaban dari proses-proses aksesi tersebut. Dan apabila Indonesia pada akhirnya direstui untuk menjadi anggota OECD, Indonesia harus tetap bisa mempertahankan kedaulatannya dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan nasional, sebagaimana mandat dari prinsip bebas aktif. Semoga visi dan mimpi dari para pemimpin bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah yang berdaulat, unggul, adil, dan makmur untuk seluruh lapisan masyarakat dapat diwujudkan.

Referensi:

CNBC Indonesia. 2023. “Apa Manfaat Indonesia Jadi Anggota OECD?” [daring] dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20230811055443-4-462080/apa-manfaat-indonesia-jadi-anggota-oecd [diakses 28 Februari 2024].

Hatta, M. 1953. ‘Indonesia’s Foreign Policy’, dalam Foreign Affairs, 31(3).

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. 2023. “Menhan Prabowo Melakukan Pertemuan Bilateral dengan Menhan Amerika Serikat” [daring] dalam https://www.kemhan.go.id/2023/11/17/menhan-prabowo-melakukan-pertemuan-bilateral-dengan-menhan-amerika-serikat.html [diakses 28 Februari 2024].

Mahbubani, K. 1992. “The West and The Rest”, dalam The National Interest, №28. pp. 3–12.

Metro TV News. 2023. “Terjebak Utang Tiongkok di Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung” [daring] dalam https://www.metrotvnews.com/read/bD2C1rpy-terjebak-utang-tiongkok-di-proyek-kereta-cepat-jakarta-bandung [diakses 29 Februari 2024].

OECD. 2024. “OECD makes historic decision to open accession discussions with Indonesia” [daring] dalam https://www.oecd.org/newsroom/oecd-makes-historic-decision-to-open-accession-discussions-with-indonesia.htm [diakses 28 Februari 2024].

The Jakarta Post. 2023. “Analysis: Indonesia Joining BRICS? Thanks, but no thanks” [daring] dalam https://www.thejakartapost.com/opinion/2023/09/04/analysis-indonesia-joining-brics-thanks-but-no-thanks.html [diakses 28 Februari 2024].

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 1945. “Pembukaan”. Jakarta: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

--

--

FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a Non-Profit and Political Free Organization Focusing Youth Movement on Foreign Policy and International Relation Matters.