[News Article] Post-COP27 Climate Change Justice and Ambitions: A Glimpse of Loss and Damage Funds
Yajna Amanda Paramitha Devi & Agastya Pandu Wisesa
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan tingkat tinggi pada setiap tahunnya untuk saling berdialog mengenai berbagai permasalahan dunia, salah satunya perubahan iklim. Kenaikan suhu dalam skala global yang tengah menjadi ancaman banyak negara dibahas bersama di dalam Conference of the Parties related to the Kyoto Protocol (COP) atau Conference of the Parties related to the Paris Agreement (CMA) untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Kekhawatiran mengenai peningkatan suhu tersebut sesungguhnya telah ada setidaknya sejak tahun 2015 dimana 193 negara dengan Uni Eropa (UE) hadir di dalam pertemuan yang serupa yaitu pada COP ke-21 di Paris, Perancis. Pertemuan tersebut pun mencetuskan Perjanjian Perancis yang berisikan bahwa seluruh pihak yang menandatangani wajib untuk ikut serta berkoperasi dalam upaya untuk mengurangi emisi karbon, meninjau ulang komitmen pihak-pihak yang terkait, serta menyediakan bantuan finansial bagi negara-negara berkembang yang terdampak oleh perubahan iklim. Salah satu komitmen yang menjadi perhatian penulis adalah disediakannya bantuan finansial yang baru saja disahkan pada pertemuan ke 27, yaitu COP ke-27 yang dihadiri oleh lebih dari 92 kepala negara di bawah presidensi Presiden Sameh Shoukry dari Mesir pada tanggal 20 November 2022.
Komitmen untuk memberikan bantuan finansial sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan iklim yang tidak dapat ditangani oleh pemerintah itu sendiri ataupun yang membuat negara tersebut harus beradaptasi disebut sebagai Loss and Damage Fund (L&D). UNEP (2022) memaparkan bahwa Loss and Damage Fund merupakan dana bantuan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, gelombang panas yang berkepanjangan, penggurunan, air laut yang semakin asam, dan fenomena lingkungan yang ekstrim lainnya seperti kebakaran hutan, beberapa spesies yang menjadi langka, dan gagal panen. Usulan tersebut muncul pertama kalinya pada saat Alliance of Small Island States mengajukan jaminan atas dampak yang didatangkan dari fenomena kenaikan air laut ketika diselenggarakannya negosiasi iklim di forum PBB tahun 1991 (appa, 2022).
Pelaksanaan dari pengajuan dana kerugian dan kerusakan akan diatur oleh komite transisional yang beranggotakan negara-negara maju dan organisasi maupun institusi internasional (Al Jazeera, 2022). Hal ini dikarenakan negara-negara maju lebih banyak menghasilkan emisi karbon dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Negara-negara maju yang dimaksud adalah Amerika Serikat (AS), negara-negara anggota UE, Inggris, Jepang, dan Rusia yang bertanggung jawab atas setidaknya 79% emisi karbon historis (Center for Global Development, 2011; UNCTAD, 2021). Dengan begitu, negara-negara maju bertanggung jawab dalam menanggulangi permasalahan lingkungan yang diderita oleh negara berkembang, termasuk pula dengan memberikan dana bantuan kerugian dan kerusakan. Namun, hingga saat ini ditemukan bahwa pemberian dana bantuan sebesar 100 miliar USD per tahun pada tahun 2020 masih belum terpenuhi (Mahase, 2022).
Pemberian bantuan dana reparasi kerusakan lingkungan yang dinilai genting oleh berbagai pihak ternyata bukanlah tindakan yang mudah untuk dieksekusikan. Sepanjang proses peresmian bantuan dana tersebut, terdapat berbagai celah yang dimanfaatkan oleh negara-negara maju untuk menunda pemberian bantuan tersebut. Pertama, adanya ambiguitas dari nama bantuan, yaitu Loss and Damage dimana frasa tersebut memiliki definisi yang berbeda-beda, seperti para ahli yang mengartikan perubahan iklim sebagai kerugian yang tidak dapat diperbaiki karena mencakup kerugian non-ekonomi, seperti hilangnya budaya dikarenakan suatu komunitas terkena bencana alam seperti badai besar (Burkett, 2014; Benjamin, 2022). Sedangkan, definisi yang dinyatakan oleh PBB hanya sebatas konsekuensi negatif dari perubahan iklim yang lebih mengarah pada kerusakan lingkungan, kelangkaan spesies, dan kegagalan panen (UN Environment Programme, 2022). Kedua, negara-negara maju juga mempertanyakan posisi China yang merupakan negara berkembang dan juga penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Dengan begitu, penulis menyoroti bahwa terdapat ambiguitas yang perlu dikaji lebih lanjut dari program pemberian dana L&D baik dari segi konsep kerusakan dan kerugian yang dimaksud, penjabaran tanggung jawab yang tidak adil, hingga kejelasan klasifikasi negara-negara penerima bantuan yang membuat negara maju “enggan” untuk segera memberikan dana bantuan kepada negara-negara berkembang.
Hambatan dari pengeksekusian L&D memang terkesan hanya terletak pada negara maju yang keberatan untuk segera memberikan dana bantuan. Namun, sesungguhnya terdapat permasalahan yang lebih dalam menyangkut kinerja dari komite transisional yang mengganggu perkembangan dari program dana bantuan L&D. Executive Committee (ExCom) adalah 20 representatif dari UNFCCC yang bekerja sama dengan Warsaw International Mechanism (WIM) untuk menangani dampak negatif dari perubahan iklim yang melanggar batas adaptasi. WIM berperan utama dalam menjalankan segala proses perencanaan hingga pemberian dana bantuan yang diatur oleh ExCom.
Johansson et al (2022) menyoroti tiga poin utama yang menggambarkan bagaimana kinerja ExCom dengan mitra kerjanya yang berkurang setelah menjalankan sekitar dua pertiga kegiatan yang menjadi tugas dari rencana kerja lima tahun.
- Kerangka kerja dari WIM dan ExCom memiliki target-target yang terlalu luas serta tidak memiliki pengaturan tenggat waktu yang jelas.
- Komitmen komite yang kurang karena mereka cenderung menunggu keputusan dari COP/CMA mengenai tenggat waktu yang spesifik dan kegiatan-kegiatan yang direncanakan.
- Terdapat dinamika politik di dalam teknis kerja ExCom yang salah satunya menjadi penyebab keterlambatan pembentukan kelompok para ahli.
Argumen lain pun dikeluarkan oleh Mace & Verheyen (2016) yang menyatakan bahwa keterlibatan CMA di dalam kerja WIM terlalu mendominasi sehingga fungsi dari WIM pun terganggu.
Melalui serangkaian proses statistik yang memperkirakan hubungan antara variabel kerugian dan kerusakan ekonomi dan variabel perubahan iklim, studi menemukan bahwa ketiadaan keran-gka kerja yang adil dan layak terkait penentuan penyumbang dana dan penerima manfaat adalah faktor yang juga membuat negara maju enggan untuk segera memberikan dana bantuan seiring dengan adanya perubahan proyeksi dan ketidakpastian keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan emisi antar daerah dari waktu ke waktu Tavoni & Andreoni (2022). Dengan menggunakan fungsi dampak perubahan iklim-ekonomi, diproyeksikan bahwa sebagian besar dampak ekonomi iklim akan terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah, negara-negara yang sebagian besar terletak di Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jika dikaitkan dengan tanggung jawab historis perubahan iklim, negara berpenghasilan menengah ke atas dan tinggi lah yang perlu berkontribusi bersama untuk pendanaan L&D, masing-masing sekitar 350 dan 800 miliar USD per tahun, pada tahun 2025 dan 2030. Hal yang kemudian berusaha disampaikan oleh Tavoni & Andreoni (2022) adalah perlunya kerangka kerja yang adil dan layak terkait kontribusi negara-negara berpenghasilan menengah ke atas yang seharusnya lebih dibebankan sebagai penyumbang dana, mengingat kalkulasi emisi kumulatif yang mereka hasilkan, ketimbang penerima manfaat, yang seharusnya lebih diprioritaskan ke negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, yang berdasarkan peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan dianggap lebih membutuhkan.
Peliknya perdebatan seputar penentuan penyumbang dana dan penerima manfaat pun meliputi perihal klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah ke atas yang dianggap tidak bisa serta merta disamakan dengan kategori negara berkembang yang berhak menerima bantuan dana. Mantlana & Jegede (2022) dalam jurnal artikel terbarunya, misalnya, menyebutkan bahwa keengganan AS dan EU dalam mempercepat negosiasi pendanaan iklim, terkhusus pendanaan L&D, dilatarbelakangi oleh pengamatan bahwa negara-negara berkembang utama (seperti Tiongkok dan India), dalam beberapa tahun telah menjadi penghasil emisi gas rumah kaca yang signifikan. Wakil Presiden Eksekutif dan Kepala Komisi Kebijakan Iklim Uni Eropa, Frans Timmermans juga beranggapan bahwa kontributor pendanaan L&D harus lebih luas daripada daftar negara yang ditetapkan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB sebagai “negara maju” pada tahun 1990-an, sehingga tidak dapat ‘membebaskan’ Tiongkok begitu saja dari tanggung jawab pendanaan iklim (Farand, 2022). Selaras dengan apa yang kemudian coba untuk disampaikan oleh Shawoo et al (2021), keadilan dan ambisi perubahan iklim pasca COP27 menghadapi berbagai hambatan yang bermuara pada ketiadaan kerangka kerja pendanaan iklim secara adil dan layak. Dengan mempertimbangkan berbagai opsi pendanaan iklim sebagaimana tertera dalam tabel di bawah, kinerja komite transisional akan ditentukan oleh kemampuan mereka untuk mengatasi perselisihan dalam mencapai konsensus, meningkatkan kapasitas dan sumber daya dan meminimalisir fragmentasi dalam iklim arsitektur keuangan.
REKOMENDASI
Berdasarkan dari hasil analisis opsi-opsi pendanaan yang tersedia untuk memitigasi kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh perubahan iklim, dapat dipastikan bahwa dana L&D bukanlah satu-satunya opsi pendanaan satu-satunya. Terdapat GCF yang masih berada di bawah UNFCCC dan pihak-pihak eksternal yang memiliki kekhawatiran khusus terhadap isu lingkungan. Namun, sifat dari kedua pendanaan tersebut berbanding terbalik dimana pemberian dana bantuan L&D merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara-negara maju. Sedangkan, GCF dan donatur eksternal lebih didasari oleh goodwill. Kemudian, disebutkan pula bahwa target dari L&D pun lebih mengarah pada benua Afrika yang telah mengalami kerusakan paling signifikan. Apabila negara-negara penyumbang emisi karbon semakin melanggengkan perubahan iklim, maka tanggung jawab yang diemban pun semakin besar. Tidak hanya itu, keengganan negara maju untuk segera memberikan dan bantuan pun akan hanya membuat mereka semakin terdesak dana L&D telah diajukan sejak lama. Dalam hal ini, ExCom memiliki kewenangan tertentu untuk membadani penyusunan sistem atau mekanisme pemberian dana. Penulis merekomendasikan agar kerangka kerja dapat disederhanakan lagi dengan meninjau lebih lanjut skala prioritas dari suatu kegiatan mengingat perkembangan kerja ExCom terhambat pada pengeksekusian rangkaian kegiatan-kegiatan L&D. Peninjauan lebih lanjut tersebut berkaca dari pendanaan GCF yang menekankan efisiensi di dalam pendanaan. Selain itu, dengan adanya keterlibatan pihak luar, WIM kerap kali “diatur” oleh pihak tersebut. Maka dari itu, fleksibilitas yang ada dalam dana-dana kolektif di luar UNFCCC dapat menjadi referensi pembagian kerja dana program L&D.
KONKLUSI
Penulis menyimpulkan bahwa terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaan dana bantuan L&D. Hambatan yang dimaksud tidak hanya dikarenakan oleh keengganan negara pemberi bantuan untuk segera mengeluarkan dana bantuan, tetapi juga disebabkan oleh kurangnya kinerja dari komite transisional, yang biasa disebut sebagai ExCom. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, ExCom bersama dengan WIM memiliki peran yang sangat signifikan dalam mengatur seluruh proses dari pemberian dana. Namun, ExCom menghadapi beberapa permasalahan internal seperti kerangka kerja yang sulit untuk dieksekusikan, penentuan negara donatur dan prioritas negara yang menerima. Ketiga permasalahan cukup untuk membuat waktu untuk memberikan donasi semakin mundur di tengah kerusakan-kerusakan yang merupakan akibat dari perubahan iklim. Dalam menanggapi permasalahan tersebut, penulis membandingkan mekanisme kerja pemberian dana bantuan akibat perubahan iklim dari lembaga lain. Oleh karena itu, Excom bersama dengan WIM diharapkan dapat mengatur kembali segala aktivitas dan kategori dari setiap negara agar dana bantuan L&D dapat segera diturunkan kepada Afrika.
REFERENSI
Tavoni, M. & Andreoni, P. (2022). What do economic damage estimates tell us about financing loss and damage?. Preliminary Reports. Research Square.
Farand, C. (2022). EU open the door to a loss and damage facility — if China pays [Daring].https://www.climatechangenews.com/2022/11/16/frans-timmermans-eu-is-open-to-loss-and-damage-fund/ [Diakses pada 11 Desember 2022].
Mantlana, B. & Jegede, A. O. (2022). Understanding the multilateral negotiations on climate change ahead of COP27: Priorities for the African region. South African Journal of International Affairs, 29(3): 255–270 p.
Shawoo et al. (2021). Designing a Fair and Feasible Loss and Damage Finance Mechanism. Briefing Paper. Stockholm Environment Institute.
Al Jazeera. (2022, November 20). Historic ‘loss and damage’ fund adopted at COP27 climate summit. Retrieved December 8, 2022, from https://www.aljazeera.com/news/2022/11/20/historic-loss-and-damage-fund-adopted-at-cop27-climate-talks
Benjamin, L. (2022, Desember 2). COP27 Produces a Historic Result for Vulnerable Countries: A Loss and Damage Fund. Just Security. https://www.justsecurity.org/84356/cop27-produces-a-historic-result-for-vulnerable-countries-a-loss-and-damage-fund/
Burkett, M. (2014). Loss and Damage. Climate Law, 4(119).
Center for Global Development. (n.d.). Developed Countries Are Responsible for 79 Percent of Historical Carbon Emissions. Retrieved December 4, 2022, from https://www.cgdev.org/media/who-caused-climate-change-historically
Chinnappa, A. (2022, August 10). What is loss and damage? Chatham House. Retrieved December 8, 2022, from https://www.chathamhouse.org/2022/08/what-loss-and-damage
Johansson, A., Calliari, E., & Walker-Crawford, N. (2022). Evaluating progress on loss and damage: an assessment of the Executive Committee of the Warsaw International Mechanism under the UNFCCC. Climate Policy, 22, 1199–1212.
Mace, M. J. (2016). Loss, Damage and Responsibility after COP21: All Options Open for the Paris Agreement. Review of European Community & International Environmental Law, 25(2).
Mahase, E. (2022). COP27: Countries agree “loss and damage” fund to help poorer countries hit by climate disasters. BMJ, 379(o2814).
UNCTAD. (2021, June 2). Carbon emissions anywhere threaten development everywhere. Retrieved December 4, 2022, from https://unctad.org/news/carbon-emissions-anywhere-threaten-development-everywhere
UN Environment Programme. (2022, November 29). What you need to know about the COP27 Loss and Damage Fund. Retrieved December 9, 2022, from https://www.unep.org/news-and-stories/story/what-you-need-know-about-cop27-loss-and-damage-fund
UNEP. (2022, November 29). What you need to know about the COP27 Loss and Damage Fund. UN Environment Programme. Retrieved December 3, 2022, from https://www.unep.org/news-and-stories/story/what-you-need-know-about-cop27-loss-and-damage-fund