KERAPUHAN PEACEKEEPING: PENEMBAKAN KONTINGEN GARUDA DI LEBANON
penulis : M. Nevlin Halley F. & Rayhan Abbista
I. Ringkasan Masalah
Sejak tanggal 23 September 2024, Israel telah melakukan serangan berskala luas terhadap Lebanon. Serangan tersebut terjadi di perbatasan Israel dan Lebanon karena ketegangan yang meningkat sejak awal September 2024. Perbatasan Israel-Lebanon atau disebut blue line dijaga oleh pasukan perdamaian yang berfokus di Lebanon yakni United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL). Namun, Israel seringkali mengacuhkan keberadaan UNIFIL dengan menyeberang ke Lebanon secara paksa. Tingkah laku Israel terhadap UNIFIL merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap pasukan perdamaian. Salah satu bentuk ketidakpatuhan tersebut terjadi pada tanggal 10 Oktober 2024, ketika tentara Israel menembaki tiga pos UNIFIL di Pangkalan Naqoura, Lebanon Selatan. Dalam penembakan tersebut, terdapat dua penjaga perdamaian asal Indonesia yang terluka yang menyebabkan Indonesia harus segera merespons. Selain itu, Israel juga secara kontinu menyerang pos-pos UNIFIL lain di sepanjang blue line yang berlangsung hingga sekarang.
Selepas serangan terhadap UNIFIL, timbul berbagai reaksi yang beragam terhadap Israel. Mayoritas negara cenderung mengecam serangan Israel terhadap pasukan UNIFIL. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel tetap membela tindakan irasional tersebut. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu korban atas serangan ini tentu mengecam Israel, akan tetapi terdapat dua respons berbeda yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pertama, respons Presiden Jokowi berkata bahwa terlukanya pasukan UNIFIL yang berasal dari Indonesia merupakan hal yang wajar karena Lebanon Selatan merupakan medan perang. Kedua, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengecam keras serangan Israel terhadap pasukan perdamaian merupakan bentuk dari pelanggaran hukum humaniter internasional seperti pelanggaran terhadap Piagam PBB Pasal 2 ayat (4) yang melarang serangan kepada misi PBB. Perbedaan respon antara presiden dan menteri luar negeri menciptakan polemik tersendiri karena adanya ketidakselarasan antarpemerintah pusat.
Penyerangan terhadap UNIFIL dianggap sebagai hal lumrah oleh Israel demi mencapai kestabilan di Lebanon. Sejak 1978, Israel telah mengkritisi pembentukan UNIFIL karena hingga saat ini UNIFIL dianggap telah mengabaikan misi utamanya yakni melucuti senjata Hizbullah dan meningkatkan kestabilan di Lebanon Selatan. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menganggap UNIFIL merupakan alat politik Hizbullah karena mereka tidak mampu bertindak independen dan cenderung mengikuti keinginan Hizbullah. Israel juga menuduh UNIFIL menghalangi tindakan perlawanan Israel terhadap Hizbullah karena letak markas Hizbullah yang berdekatan dengan pos UNIFIL. Peristiwa ini akhirnya menimbulkan dugaan yang disampaikan Israel pada akun twitter militer Israel bahwa UNIFIL telah melindungi Hizbullah.
Serangan Israel terhadap pasukan perdamaian UNIFIL telah melanggar perjanjian internasional mengenai pasukan perdamaian. Israel telah melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701 tahun 2006 dan pasal 8(2)(b)(iii) dari Statuta Roma. Pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, Israel telah melanggar beberapa bagian dari resolusi seperti pelanggaran terhadap kedaulatan Lebanon karena telah melintas udara, darat, dan laut tanpa izin, penarikan pasukan militer karena Israel telah menempatkan militernya di berbagai sisi Lebanon, serta gencatan senjata yang dilanggar oleh Israel. Pada Statuta Roma, Israel telah melanggar perjanjiannya karena telah melancarkan serangan terhadap pasukan perdamaian UNIFIL.
II. Temuan Analisis Permasalahan
Berdasarkan analisis penulis dan hasil diskusi, sejumlah akar permasalahan dapat dikerucutkan dalam beberapa temuan, antara lain:
1. Ketidaksepakatan antara Israel dan UNIFIL mengenai netralitas pasukan perdamaian seharusnya dapat dimediasikan melalui jalur diplomasi
2. Kebimbangan terkait penegakan Pasal 8(2)(b)(iii) terkait perlindungan pasukan penjaga perdamaian serta rendahnya kemauan politik PBB untuk menegakkan otoritasnya sesuai Resolusi Dewan Keamanan 1701
3. Terdapat perbedaan respons antara pemerintah pusat. Mantan Presiden Jokowi mewajarkan terjadinya penembakan dan Mantan Menlu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mengecam serangan tersebut
4. Ketidaksepakatan terkait proses demiliterisasi Hizbullah oleh UNIFIL dan Israel.
Melalui temuan-temuan di atas, pemahaman terhadap masalah dapat mudah dilakukan. Dengan demikian, penyusunan solusi-solusi kritis dapat terjadi dengan tepat dan akurat.
III. Masalah Kebijakan
Akar permasalahan penembakan terhadap pasukan UNIFIL dapat dianalisis dalam dua sudut pandang, yakni dari segi internasional dan domestik Indonesia. Dalam cakupan internasional, identifikasi dapat dimulai dengan performa UNIFIL sebagai pasukan penjaga perdamaian. Salah satu tujuan UNIFIL yakni demiliterisasi Hizbullah sebagai sayap militer difokuskan untuk menghilangkan akses senjata, bukan mengeliminasi anggota-anggota yang dimiliki. Interpretasi Israel justru mengarahkan bahwa proses demiliterisasi berjalan terlalu panjang dan memberikan ruang bagi Hizbullah untuk menumbuhkan kekuatan. Lebih lanjut, penembakan terhadap pasukan penjaga perdamaian seharusnya tidak terjadi mengingat adanya perlindungan-perlindungan hukum dalam Pasal 8(2)(b)(iii) Statuta Roma, resolusi 425, dan 426 Dewan Keamanan PBB. Secara spesifik, perlindungan dalam Pasal 8(2)(b)(iii) Statuta Roma, yaitu larangan pengerahan militer terhadap pasukan penjaga perdamaian, resolusi 425, terkait penarikan mundur tentara Israel dan pembentukan UNIFIL, serta resolusi 426 perihal durasi penugasan UNIFIL, tidak berjalan sesuai tujuan awal dan justru dilanggar secara masif dalam periode waktu yang singkat oleh Israel utamanya di tahun 2024.
Terkait dimensi domestik, problematika muncul ketika terdapat ketidakselarasan substansi pernyataan antara Jokowi dan Retno Marsudi dalam merespons insiden penembakan dua penjaga perdamaian asal Indonesia oleh Israel. Di satu sisi, Jokowi menitikberatkan pada kewajaran akan sifat perang yang dinamis dan terbukanya kemungkinan terhadap korban luka terhadap pasukan penjaga perdamaian. Di sisi lain, Retno Marsudi menggarisbawahi pelanggaran hukum humaniter yang dilakukan oleh Israel sekaligus menyayangkan penembakan yang terjadi. Kontradiksi pendapat yang dikemukakan oleh Jokowi dan Retno Marsudi menyiratkan bahwa perbedaan latar belakang dapat menghasilkan pendapat yang berbeda. Jokowi dinilai sebagai presiden yang memprioritaskan dinamika domestik daripada kompleksitas persoalan luar negeri. Akibatnya, Jokowi belum tentu memiliki pemahaman mendalam terhadap fenomena hubungan internasional. Di sisi lain, Retno Marsudi memiliki kompetensi dalam pemahaman narasi sekaligus representatif terhadap isu-isu internasional. Perbedaan latar belakang dan pemrioritasan isu inilah yang menyebabkan timbulnya dua variasi narasi terhadap penembakan. Perbedaan pendapat tentang wajar atau tidaknya penembakan yang terjadi selayaknya dihindari mengingat korban luka berasal dari TNI serta menunjukkan ketidaksepakatan perspektif pemerintah pusat terkait penembakan.
IV. Pemangku Kepentingan Terlibat
Ambiguitas respons dan kerancuan legitimasi penyerangan aktor-aktor internasional pascapenembakan melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam berbagai tingkatan. Secara spesifik, pemangku kepentingan yang terlibat antara lain:
PBB: Berperan dalam mengawasi operasi pemeliharaan perdamaian, termasuk memberikan mandat kepada pasukan perdamaian untuk bertugas di Lebanon yakni UNIFIL.
UNIFIL: Sesuai dengan mandat PBB, UNIFIL menjadi penanggung jawab dari keberlangsungan peacekeeping Israel-Lebanon.
Pemerintah Israel: Aktor utama dalam serangan itu, Pemerintah Israel memberi arahan kepada militernya untuk menyerang UNIFIL baik sebagai pembelaan diri atau ada unsur kesengajaan.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia: Representasi sikap dan perspektif pemerintah Indonesia terhadap berbagai macam fenomena hubungan internasional.
Joko Widodo: Sebagai kepala negara, pernyataan Joko Widodo dianggap sebagai respons negara terhadap suatu isu.
V. Rekomendasi Kebijakan
Pembaruan kebijakan dari yang telah ada sebelumnya dapat dimulai dengan rekomendasi sebagai berikut:
1. Tetap mempertahankan kontribusi pasukan penjaga perdamaian oleh Tentara Nasional Indonesia. Indonesia sebagai negara yang memiliki sejarah aktif dalam menjaga perdamaian kawasan, wajib mempertahankan konsistensi komitmen dalam menjaga perdamaian kawasan-kawasan rentan konflik, seperti Timur Tengah. Jika pascapenembakan Indonesia justru mengurangi atau menarik pasukannya, langkah ini dapat justru melemahkan gagasan perdamaian dunia yang tercantum dalam UUD 1945. Tidak hanya itu, gagasan peacekeeping PBB akan melemah dengan penarikan kontingen terbesar dalam UNIFIL. Kendati demikian, jika ancaman terhadap operasionalitas pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia terjadi, maka pemerintah Indonesia wajib memberikan dukungan kepada TNI yang bertugas di UNIFIL seperti jaminan advokasi hukum, bantuan pemenuhan kebutuhan operasional, dan bantuan medis.
2. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia wajib melakukan advokasi kepada PBB secara kontinu terhadap penembakan. Kemlu RI dapat berkoordinasi dengan negara-negara PBB sebagai upaya diplomasi demi membentuk dukungan kolektif dalam mengecam tindakan penembakan Israel terhadap pasukan UNIFIL. Selain itu, Indonesia sebagai korban dalam penembakan dapat mendesak PBB agar melakukan penyelidikan independen dan transparan pada kasus penembakan UNIFIL. Hal itu harus segera dilakukan agar pelanggaran-pelanggaran dan pihak yang bertanggung jawab dapat segera terungkap serta membuka kemungkinan adanya sanksi terhadap Israel. Advokasi-advokasi ini harus dilakukan secara kontinu agar permasalahan tidak terjadi berlarut-larut sehingga dapat mencegah jatuhnya korban untuk kedepannya.
3. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia harus meminta pertanggungjawaban kepada Israel terkait penembakan dan risiko korban jiwa dari Tentara Nasional Indonesia. Penyerangan yang dilakukan oleh Israel terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif tanpa memedulikan status netral tentara penjaga perdamaian. Kendati Israel masih belum meratifikasi Statuta Roma, pengakuan bahwa tentara penjaga perdamaian adalah entitas yang memiliki tujuan mulia seharusnya telah menjadi norma yang dipahami oleh seluruh negara. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia wajib berkontribusi dalam keberlangsungan hidup porsi TNI dalam UNIFIL mengingat tentara-tentara tersebut merupakan bagian dari rakyat Indonesia. Salah satu cara yang efektif terkait kasus ini adalah pengadvokasian terhadap pertanggungjawaban Israel secara kontinu dan menyangkutpautkan ancaman terhadap nyawa rakyat Indonesia oleh militer Israel. Advokasi yang terjadi dapat dilakukan dengan skala makro melalui diplomasi dalam majelis PBB oleh Indonesia hingga advokasi skala mikro oleh tentara-tentara berkebangsaan Indonesia maupun tentara negara lain yang merasa dirugikan melalui struktur UNIFIL.
4. Peningkatan koordinasi antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia agar tidak terjadi pernyataan yang kontradiktif. Pernyataan yang kontradiktif pada Pemerintah Pusat RI telah memicu kebingungan publik akibat pernyataan yang tidak konsisten seperti yang terjadi pada pernyataan Presiden Jokowi dan Menlu Retno Marsudi. Jika serangan terhadap pasukan perdamaian Indonesia kembali terjadi dan negara tidak memiliki banyak waktu untuk merespons, penulis merekomendasikan agar pemerintah pusat menggelar rapat koordinasi darurat untuk menyepakati narasi tunggal atau menetapkan juru bicara agar pernyataan resmi dapat segera dikemukakan sehingga kemungkinan terjadinya pernyataan yang kontradiktif antara pemerintah pusat dapat dihindari.