[Policy Brief] Kebijakan Moderasi Penyelenggara Sistem Elektronik
dan Relevansinya terhadap Standar Internasional akan
Kebebasan Berekspresi dan Beropini

FPCI Airlangga
11 min readJul 14, 2021

--

Fauzan Raihan Amru — FPCI Chapter Universitas Airlangga

Dhien Favian Aryanda — FPCI Chapter Universitas Airlangg

Maruli Goknitua Hutajulu — FPCI Chapter Universitas Airlangga

Ringkasan Eksekutif

  • Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020, memiliki sifat yang mengekang melalui
    pengaturan regulasi tata cara dalam penyelenggaraan media elektronik privat yang
    berpotensi bergeser dari standar internasional dalam kebebasan berekspresi.
    • Regulasi yang dibentuk memiliki kecenderungan kuat dalam mengurangi tingkat
    kebebasan berekspresi dan beropini masyarakat umum melalui media elektronik, yang
    mana bertolakbelakang dalam standar internasional untuk menghindari interferensi
    pemerintah.
    • Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020, memiliki ambiguitas definisi dalam menilai
    bentuk tindakan yang dilarang untuk disuarakan dan ditransmisikan melalui sistem
    elektronik, secara spesifik akan konsep ‘meresahkan’ dan ‘mengganggu ketertiban
    umum’, cenderung memiliki interpretasi subyektif.
    • Hal ini timbul kekhawatiran bahwa pemerintah mampu secara sepihak menutup aliran informasi melalui justifikasi interpretasi konten yang ‘meresahkan’ yang mana berdampak pada pembungkaman suara dan opini individu, hal ini dipahami menyalahi Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia dan Human Right Act.
    • Untuk menjamin dan meningkatkan kualitas kebebasan berekspresi dan beropini, setidaknya diperlukan pola mekanisme regulasi yang tidak sepenuhnya dilakukan sepihak oleh pemerintah, salah satunya melalui co-regulation, untuk menginklusi elemen-elemen di luar pemerintah dalam interpretasi kebijakan.
    • Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 perlu dibenahi kembali dengan pembentukkan definisi yang lebih jelas dan menyesuaikan standar internasional dalam jaminan kebebasan berekspresi dan beropini tanpa interferensi pemerintah secara ekstensif.

Latar Belakang

Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) №5 Tahun 2020, merupakan salah satu rangkaian aturan yang mengatur tentang penyelenggaraan pola telekomunikasi di Indonesia yang dikeluarkan tahun ini, namun aturan tersebut cenderung memiliki berbagai problematika, terutama dalam konteks melanggar standar internasional dalam kebebasan berekspresi. Peraturan tersebut pada membahas mengenai penyelenggaran
sistem elektronik lingkup privat untuk mengatur lebih detail terkait penggunaan sistem elektronik oleh setiap masyarakat Indonesia dan hal tersebut turut berlaku pada komunikasidigital hingga layanan perdagangan elektronik. Peraturan ini ditengarai muncul sebagai respons pemerintah terhadap desakan publik yang menginginkan pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi sebagai kerangka hukum dalam melindungi privasi masyarakat
Indonesia, namun peraturan ini justru menjadi kontroversi dan cenderung kontraproduktif karena peraturan ini lebih jauh mengatur tentang penggunaan sistem elektronik yang berdimensi privat sehingga menimbulkan berbagai kontradiksi (Human Rights Watch 2021; Republika 2021).

Sebagian besar elemen masyarakat sipil dan organisasi kemasyarakatan, seperti SAFENet maupun Human Rights Watch, turut menolak penetapan peraturan tersebut dikarenakan peraturan ini seolah mengekang praktek telekomunikasi yang bebas dan beradab bagi setiap individu serta peraturan ini berpotensi untuk melanggar hak-hak privasi dalam aktivitas komunikasi pada umumnya. Kedua LSM ini turut menyoroti isi dari peraturan tersebut yang kontroversial seperti perusahaan wajib menyetorkan data pribadi karyawannya hingga ambiguitas tentang konten negatif yang melanggar peraturan di Indonesia. Selain itu, peraturan ini berpotensi untuk melanggengkan penegakkan hukum atas informasi yang menggangu ketertiban umum sehingga penegakan tersebut berpotensi melanggar hak sipil dan politik masyarakat berupa penahanan paksa, pembungkaman kebebasan berpendapat, dan lain sebagainya (Jati 2021; Rahmawati 2021).

Problematika ini sejatinya masih terjadi hingga saat ini, di mana UU ITE masih menjadi peraturan kontroversial yang mengandung “pasal-pasal karet”. Undang-undang yang sejatinya digunakan untuk mengatur transaksi maupun informasi elektronik ini justru menjadi “bumerang” bagi masyarakat sendiri dikarenakan banyaknya pasal yang bersifat multi-tafsir dan rentan untuk disalahgunakan. Salah satunya ialah pasal mengenai konten hoax, di mana pasal ini tidak mengandung kejelasan mengenai makna konten hoax dan memberikan peluang bagi semua masyarakat untuk melaporkan konten yang dianggap meresahkan masyarakat, atau dianggap ofensif melalui interpretasi pribadi. Alhasil, pelaporan yang dibuat berpeluang menjadi bentuk kriminalisasi pada pihak tertentu sehingga hal tersebut berdampak pada marginalisasi sebagian pihak tertentu (Mulyana 2015).

Salah satu kasusnya ialah penjeratan aktivis KAMI menjelang demonstrasi Omnibus Law, dimana mereka ditangkap oleh Bareskrim Polri atas tuduhan hoax dalam publikasi konten terkait demonstrasi dan mereka kemudian diancam 6 tahun penjara atas tuduhan tersebut. Kasus tersebut banyak disayangkan oleh beberapa pihak karena negara seolah-olah melakukan tindakan pembungkaman oposisi dan negara seringkali abai terhadap pemenuhan hak sipil dan politik sebagaimana amanat Kovenan Internasional pada Hak Sipil dan Politik, sehingga fenomena pengekangan kebebasan berpendapat semakin marak sejak diberlakukannya UU ITE. Setelah wacana revisi UU ITE yang tak kunjung tuntas, keberadaanPermenkominfo 5 Tahun 2021 menurut CIPS turut mengancam kebebasan berekspresi lebih
jauh karena ketiadaan unsur ketegasan dalam peraturan tersebut dan ditambah pula dengan aturan UU ITE yang masih eksis, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan kualitas demokrasi di Indonesia (Dewi 2020; Ansyari dan Faris 2020).

Kandungan Peraturan Menkominfo No 5 Tahun 2020 yang Berpotensi
Mengancam Kebebasan Berekspresi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang kerap disebut UU ITE merupakan sebuah undang-undang yang melandasi aturan siber di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, pada tahun 2020, Kementrian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo mengeluarkan perturan baru yaitu Permenkominfo no. 5 di mana
peraturan tersebut kembali menetapkan berberapa hal mengenai kewenangan pemerintah terhadap lingkup siber. SAFENet sebagai salah satu organisasi yang membela kebebasan berekspresi di tingkat ASEAN telah melakukan kajian pada peraturan tersebut di mana mereka menemukan berberapa pasal yang dirasa dapat mengancam dunia siber Indonesia,
terutama dalam hal privasi dan kebebasan berpendapat (Riyanto 2021). Pertama, hal baru yang dapat dilihat dari peraturan ini ialah adanya tendensi dari pemerintah untuk mengontrol berbagai PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) yaitu para perusahaan yang menyediakan platform untuk masyarakat berinteraksi seperti sosial media. Hal tersebut dapat terlihat dari
Pasal 2 ayat 1 dimana tertulis “Setiap PSE Lingkup Privat wajib melakukan pendaftaran” Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat 2020). Di mana dengan mendaftar, perusahaan tersebut akan diawasi oleh pemerintah seiring berjalannya platform tersebut dan harus tunduk dengan kebijakan yang ada.

Selain itu, peraturan Menkominfo No 5 Tahun 2020 juga terdapat berberapa pasal karet di mana bahasa yang digunakan dalam aturan tersebut memiliki potensi untuk misinterpretasi seperti pada Pasal 9 ayat 4b yang berusaha melarang penyebaran informasi yang terlarang dan juga terdapat pada Pasal 14 ayat 3 tentang permohonan penurunan konten secara mendesak melalui kata-kata “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat 2020). Pada Pasal 14 ayat 1 tentang permohonan putusan akses terhadap informasi dan dokumen elektronik di PSE, terdapat kehawatiran bahwa akan semakin mudah untuk menutup informasi-informasi pada dunia siber yang dalam aturan ini dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, serta lembaga hukum lainnya untuk berbagai kepentingan mereka. Berbicara mengenai ketersediaan informasi, pada Pasal 21 ayat 1 dan 2 serta pada Pasal 36 ayat 5 terdapat wewenang di mana lembaga pemerintah maupun hukum untuk mengakses berbagai data yang dimiliki oleh PSE.

Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat 2020). Hal ini dipahami sudah memasuki ranah privasi dan dapat mencederai ruang tersebut secara intensif.

Defisiensi Kebijakan Regulatif PSE dalam Menjamin Kebebasan Berekspresi dan Beropini

Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 dipahami memiliki berbagai kekurangan dan dalam tingkatan tertentu justru menjadi sebuah degradasi kualitas kebebasan individu masyarakat Indonesia. Pembentukkan aturan moderasi dalam tata komunikasi melalui media elektronik yang tersirat pada Pasal 9 menunjukkan ambiguitas definisi yang jelas. PSE dipahami wajib untuk menjamin lingkungan interaksi sistem elektronik tanpa memuat dan
tidak memfasilitasi sirkulasi konten-konten yang ‘dilarang’. Klasifikasi akan konten yang dilarang dalam aturan tersebut cenderung menjadi fokus utama akan problematikanya. Konten yang dilarang dipahami sebagai konten yang ‘meresahkan’ masyarakat dan ‘mengganggu ketertiban umum’ (Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat 2020).Definisi akan apa yang dianggap sebagai konten yang meresahkan maupun mengganggu ketertiban umum dipahami ambigu dan tidak ada parameter khusus yang menentukan seberapa besar dan tingkat yang dianggap meresahkan dan mengganggu. Desain dari kebijakan tersebut dipahami tidak ideal dengan pola regulasi yang cenderung memiliki sifat restriktif dan tidak tepat dalam konteks kontemporer. Sistem media pada dasarnya perlu
memiliki keterikatan yang saling memeriksa terhadap sistem atau logika dan variasi yang ‘bertindihan’ untuk menjamin check and balances dalam sistem. Hal ini turut mengkalkulasikan ruang lingkup untuk suara kritis dan perspektif sosial yang terbatas di bawah struktur suara public terkini (Svensson, et al. 2016). Melalui model tersebut, dapat dipahami desain aturan yang dibentuk dalam peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 tidak
secara jelas memberikan garis utama akan definisi hal yang ‘meresahkan’ sehingga kebijakan tersebut cenderung tidak memiliki konsiderasi untuk menyediakan ruang lingkup bersuara secara kritis dan kebebasan ekspresi karena hal-hal tersebut dapat diinterpretasikan sebagai hal yang ‘meresahkan’ oleh oknum tertentu.

Moderasi dan kontrol terhadap alur informasi dan suara melalui media elektronik oleh pemerintah pada dasarnya menjadi hal yang sensitif dan harus untuk dipertimbangkan secara matang untuk menghasilkan lingkungan komunikasi yang positif dan tidak menahan kebebasan berekspresi individu. Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 secara jelas turut mengancam proteksi data pribadi dari anonimitas di ranah siber. Sesuai dengan Pasal 21, pemerintah berhak untuk mengakses data pribadi pelaku yang dianggap melanggar etika yang diatur. Data pribadi tersebut turut dispesifikkan melalui Pasal 1 Ayat 21 yang salah satunyameliputi data pandangan politik pengguna (Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat 2020). Dengan klasifikasi konten ‘meresahkan’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ sebagai salah satu konten dilarang oleh pemerintah, tidak dapat dipungkiri konsiderasi orientasi politik pribadi menjadi salah satu faktor penentu akan apakah perspektif politik
pembuat konten selaras dengan narasi pemerintah ataupun berpotensi ‘meresahkan’ bagi pemerintah. Hal ini dapat dipahami sebagai red flag sebagai kebijakan yang mengatur kuat akan bagaimana pola berekspresi individu dengan kemudahan aksesi pemerintah terhadap data pribadi yang kemudian dapat menjadi dasar justifikasi hukum bagi individu yang
dianggap meresahkan pemerintah, sebagai ‘representasi’ dari masyarakat umum. Hal ini turut menyalahi keras dengan Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia dalam Artikel 19 yang menyatakan bahwa seluruh manusia memiliki hak atas kebebasan beropini dan ekspresi, termasuk hak untuk memiliki opini tanpa interferensi dan menerima maupun mencari
informasi melalui media apapun (UNESCO n.t.). Potensi kuat bagi pemerintah untuk menginterferensi kebebasan individu untuk memiliki opini yang berbeda melalui justifikasi opini yang ‘meresahkan’ dapat dipahami menjadi bentuk degradasi nyata dalam penurunan tingkat kebebasan berekspresi di Indonesia.

Hal ini turut diperkuat melalui serangkaian pasal karet yang telah dibentuk sebelumnya, yang mana semakin memperkuat ancaman dalam kebebasan berekspresi. Sebagai contoh adalah dengan kebijakan UU Pornografi №44 Tahun 2008 dan UU ITE №11 tahun 2008 yang mana secara jelas menjadi bentuk halangan kuat bagi hak individu dalam berekspresi. Kedua kebijakan tersebut turut mengadopsi definisi yang ambigu dan justru mengancam kedaulatan public di mana penggunaannya telah digunakan dalam berbagai kasus yang berakibat pada degradasi kebebasan bersuara (Nugroho, et al. 2013). Dengan sifatnya yang cenderung turut bersinggungan dengan UU tersebut, peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 dengan definisi konten yang dilarang yang cenderung ambigu menjadi salah satu kebijakan pasal
karet yang mana berakibat pada ancaman lebih lanjut dalam berekspresi. Melalui Artikel 10 dalam Human Rights Act menyatakan bahwa kebebasan berekspresi dan beropini menjadi hal yang harus dijamin, termasuk dalam bentuk ekspresi pandangan melalui artikel, televisi, seni, media sosial dan internet pada umumnya (Equality and Human Rights Commission 2021). Dengan tanpa definisi yang jelas akan konten ‘meresahkan’ dan ‘mengganggu
ketertiban umum’, peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 memiliki potensi sebagai instrumen dalam membungkam oposisi maupun opini politik dan mampu bersifat kontraproduktif dalam menjamin kebebasan publik.

Rekomendasi Kebijakan

Peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020 dapat dipahami memiliki berbagai titik kelemahan dalam jaminan kebebasan beropini dan berekspresi, maka dari itu penulis berargumen bahwa orientasi pembentukkan kebijakan regulasi media harus didasari pada aspek-aspek yang menjamin kebebasan berekspresi sesuai dengan standar internasional. Kebijakan regulatif yang dibentuk setidaknya harus memenuhi standar dasar aturan internasional, seperti sistem standar kebebasan berekspresi UNESCO, dalam menjamin lingkungan jaminan kebebasan yang etis. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme regulasi dalam bentuk self-regulatory maupun co-regulatory yang ditanamkan dalam aturan media dan kerangka regulasi. Sistem kepemerintahan terhadap internet melalui mekanisme tersebut harus diaplikasikan melalui konsiderasi prinsip fundamental terhadap kebebasan berekspresi dan aksesi informasi secara bebas (Schmidt 2010). Melalui peraturan Menkominfo №5 Tahun 2020, dapat dipahami model kebijakan tersebut cenderung berpola sebagai regulasi tradisional daripada mekanisme
co-regulation. Hal tersebut dapat dilihat melalui supremasi pemerintah yang tidak hanya menempati posisi sebagai pengawas, melainkan turut bertindak sebagai pengatur kuat hingga mampu untuk melakukan take down informasi elektronik dengan tenggat waktu terbatas pada Pasal 15 Ayat 6 dan 9 (Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat
2020). Melalui pola mekanisme co-regulation, pemerintah setidaknya lebih memiliki peran kooperatif dan bekerjasama bersama dengan pemilik PSE (sebagai entitas privat) untuk memenhi peran sebagai pengawas dan koordinator untuk dukungan. Di samping itu, peran privat lebih dalam mendefinisikan perangkat aturan dan standar tujuan yang dibentuk oleh
pemerintah daripada hanya menggunakan aturan yang ada. Pola regulasi co-regulation dan self-regulation pada umumnya lebih bertindak sebagai kode perilaku dan praktik yang baik daripada tata praktik yang secara spesifik diatur sebagaimana oleh suatu regulasi (Jedrzejewski 2013). Hal ini dapat dipahami mampu untuk membatasi penyalahgunaan kebijakan oleh pihak pemerintah dan lebih memberatkan koordinasi publik untuk mendefinisikan konsep-konsep atas apa yang dianggap sebagai ‘meresahkan’ dan
‘mengganggu ketertiban publik’ daripada interpretasi oleh sepihak.

Sistem regulasi media yang ideal setidaknya memiliki tujuh kriteria utama sebagaimana dalam tatanan sistem masyarakat demokratis yang memerlukan adanya collective civic engagement. Kriterita tersebut setidakmya meliputi: (1) Inklusi populer; (2) Pemberdayaan; (3) Pengakuan akan adanya perbedaan; (4) Keberagaman akan ide-ide; (5) Transparansi; (6) Luasnya keanekaragaman pola dalam media; dan (7) Menghindari penghentian prematur (Gamson dan McIntosh 2012). Elemen-elemen tersebut dipahami penting untuk memahami akan eksistensi perbedaan politik, terutama dalam definisi kontroversial mengenai konten ‘meresahkan’. Setidaknya pemerintah seharusnya memberikan kejelasan akan definisi dari konten ‘meresahkan’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ untuk tidak menjadi ruang multi interpretasi dan justifikasi untuk memenjarakan individu yang memiliki opini yang berbeda. Maka dari itu, kebijakan Indonesia perlu mempertimbangkan nilai-nilai internasional yang demokratis dan mengutamakan proteksi kebebasan penduduk untuk mencapai maturitas sesuai dengan standar internasional.

Referensi:

Ansyari, Syahrul, dan Ahmad F. Faris, 2020. “5 Aktivis KAMI Terancam 6 Tahun Penjara”
[daring]. Tersedia dalam https://www.viva.co.id/berita/nasional/1311754-jaditersangka-5-aktivis-kami-terancam-6-tahun-penjara [Diakses pada 12 Juni 2021].
Dewi, Anita P., 2020. “Siber Bareskrim tetapkan aktivis KAMI jadi tersangka pelanggaran
ITE” [daring]. Tersedia dalam https://www.antaranews.com/berita/1782977/siberbareskrim-tetapkan-aktivis-kami-jadi-tersangka-pelanggaran-ite [Diakses pada 12 Juni
2021].
Equality and Human Rights Commission, 2021. “Article 10: Freedom of Expression” [daring].
Tersedia dalam https://www.equalityhumanrights.com/en/human-rights-act/article-
10-freedom-expression [Diakses pada 14 Juni 2021].
Gamson, William A., dan Heather McIntosh, 2012. “An Ideal Media System” [daring].
Tersedia dalam
https://www.ssc.wisc.edu/~wright/ASA/Gamson%20&%20McIntosh%20--
%20%20Ideal%20Media%20System%20final%20draft%20011212.doc-1.pdf [Diakses
pada 14 Juni 2021].
Human Rights Watch, 2021. “Indonesia: Tangguhkan dan Revisi Permenkominfo №5 Tahun
2020” [daring]. Tersedia dalam https://www.hrw.org/id/news/2021/05/21/378764
[Diakses pada 12 Juni 2021].
Jati, A., 2021. “SAFEnet Minta Permenkominfo No 5 Tahun 2020 Dibatalkan, Kenapa?”
[daring]. Tersedia dalam https://inet.detik.com/law-and-policy/d-5577723/safenetminta-permenkominfo-no-5-tahun-2020-dibatalkan-kenapa [Diakses pada 12 Juni
2021].
Jedrzejewski, Stansilaw, 2013. “The Media Regulation in Age of Convergence”, Sousa, Helena,
et al. (eds.), 2013. Media Policy and Regulation: Activating Voices, Illuminating Silence.
[E-Book]. Tersedia dalam
http://www.lasics.uminho.pt/ojs/index.php/cecs_ebooks/article/view/1712/1647
University of Minho, Communication and Society Research Centre (CECS).
Mulyana, A., 2015. Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet. Jakarta: ELSAM.

Nugroho, Yanuar, Muhammad F. Siregar, dan Shita Laksmi, 2013. Mapping Media Policy in
Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance.
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020
Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, 2020. Jakarta: Kementrian
Komunkasi dan Informatika.
Pramudita, Bernadinus A., 2021. “CIPS: Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 Ancam
Kebebasan Berekspresi” [daring] Tersedia dalam
https://www.wartaekonomi.co.id/read342952/cips-permenkominfo-nomor-5-tahun-
2021-ancam-kebebasan-berekspresi [Diakses pada 12 Juni 2021].
Rahmawati, N., Muslichatun M., dan Marizal M., 2021. “Kebebasan Berpendapat Terhadap
Pemerintah Melalui Media Sosial Dalam Perspektif UU ITE”, Pranata Hukum, 3 (1):62-
75.
Riyanto, Galuh P., 2021. “SAFEnet Ungkap Pasal-Pasal Bermasalah Di Permenkominfo”
[daring]. Tersedia dalam
https://tekno.kompas.com/read/2021/04/29/19320027/safenet-ungkap-pasal-pasalbermasalah-di-permenkominfo-5-2020?page=all [Diakses pada 12 Juni 2021].
Schmidt, Mogens, 2010. “ Limits to the Restrictions to Freedom of Expression — Criteria and
Application”, Religion and Human Rights, 5 (2):147–151.
Svensson, Eva-Maria, Andrew T. K., dan Maria E., 2016. “Rethinking Freedom of Expression
and Media Freedom”, Edström, Maria, Andrew T. K., dan Eva-Maria S. (eds.), 2016.
Blurring the Lines: Market-driven and Democracy-driven Freedom of Expression.
Göteborg: Nordicom.
UNESCO, n.t.. “ International Standards on Freedom of Expression” [daring]. Tersedia dalam
https://en.unesco.org/sites/default/files/international_standards_on_freedom_of_e
xpression_eng.pdf [Diakses pada 14 Juni 2021].

--

--

FPCI Airlangga
FPCI Airlangga

Written by FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.

No responses yet