[Opinion Article] Ibarat Menari di Pentas Teater: Sebuah Refleksi tentang
Diplomasi Indonesia dan Ambisi Keketuaannya
– Muhammad Raka Hadiyan
Secara gamblang, Indonesia merupakan negara paling sibuk di dunia dipandang dalam kancah diplomasi global selama satu tahun ke belakang. Terhitung sejak bulan November 2022, Indonesia memegang status sebagai ketua dari berbagai Konferensi Tingkat Tinggi – mulai dari G20, ASEAN, MIKTA, hingga AIS Forum. Ditambah lagi, terdapat banyak event-event besar seni dan olahraga internasional yang pada tahun 2023 telah dan akan dilaksanakan di Indonesia. Mengingat banyaknya aset yang dikeluarkan ditambah dengan tanggung jawab besar yang diemban oleh Indonesia sebagai pimpinan beberapa organisasi internasional, penting untuk secara kritis menanyakan manfaat seperti apa yang sekiranya akan didapat oleh Indonesia. Penulisan ini akan memperdalam pembahasan sesuai dengan pertanyaan tersebut untuk kemudian menemukan secercah rekomendasi pada bagian akhir penulisan.
“Diplomasi Keketuaan” dalam Kancah Diplomasi Internasional
Bagi sebagian besar masyarakat di dalam negeri, banyaknya posisi keketuaan yang dipegang oleh Indonesia memang tampak seperti hal yang baru. Akan tetapi, apabila kita melakukan komparasi dengan negara lain pada beberapa tahun ke belakang, apa yang dilakukan oleh Indonesia sebenarnya merupakan model yang sudah diterapkan dalam diplomasi antar negara (Narlikar, 2020). Salah satu contoh paling sederhana dapat dilihat dengan persaingan partisipasi Brazil dan India di dalam forum-forum World Trade Organization (WTO). Di antara tahun 2001 hingga 2008, kedua negara tersebut tidak pernah absen dalam pertemuan antar menteri manapun dalam WTO. Tujuannya cukup jelas bahwa kedua negara bersaing untuk mendapatkan status leadership dalam WTO yang akan memudahkan mereka untuk menginisiasi berbagai negosiasi perdagangan internasional pada organisasi tersebut di masa yang akan datang (Efstathopoulos, 2012). Pembahasan lainnya juga membahas bagaimana momentum keketuaan dan penunjukkan tuan rumah dapat dijadikan sarana perbaikan public relations suatu negara dengan masyarakat global. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan berbagai simbolisasi identitas yang menyelimuti penyelenggaraan Olimpiade 2008 di Tiongkok maupun perhelatan Piala Dunia sepakbola di negara-negara non-Barat (Chen dkk., 2012; Brannagan et al., 2018).
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa objektif besar yang bisa didapat dari kedua negara melalui momentum keketuaan adalah: (1) mempermudah proses untuk mengambil alih posisi leadership dalam negosiasi tertentu melalui pemupukan legitimasinya; dan (2) membangun citra yang baik di dalam persepsi masyarakat global. Pada dasarnya, kedua objektif tersebut masih berkaitan dengan konsep power dalam analisis hubungan internasional. Berkaitan dengan objektif pertama, kajian mengenai peran naratif untuk memperkuat legitimasi suatu negara melalui diplomasi multilateral merupakan hal yang sudah banyak dibahas (Narlikar, 2020). Adapun objektif kedua mengenai public relations dan opini masyarakat, kedua hal tersebut pada kenyataannya saling berkaitan dan tercakup ke dalam bagian instrumen pengukuran soft power (Nygard & Gates, 2013). Maka dari itu, dalam penulisan ini, dapat setidaknya disimpulkan bahwa “diplomasi keketuaan” dalam suatu forum multilateral bisa jadi merupakan kesempatan yang diambil suatu negara untuk memperkuat power dan legitimasinya secara keseluruhan.
Melacak Jejak dan Manfaat dari Keketuaan Indonesia
Dalam dua contoh yang diterangkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa legitimasi yang coba dibangun melalui keketuaan dari suatu negara, pada akhirnya tetap memiliki batas. “Hadiah” yang didapat dari pemenang kontestasi India dan Brazil dalam WTO, sebagai contoh, hanya terbatas pada legitimasi yang didapatkan dalam cakupan WTO saja dan sedikit melebar pada negosiasi perdagangan di tingkat yang lebih kecil (Efstathopoulos, 2012). Apabila batasan tersebut diaplikasikan dalam contoh Indonesia saat ini, tentu sangat mudah untuk memahami bahwa objektif utama diplomasi Indonesia melalui keketuaan pada akhirnya berfokus pada keinginan untuk menjadi “penggerak” diplomasi antar kumpulan negara yang saat ini lebih akrab dengan istilah middle power. Apabila berhasil mendapatkan posisi tersebut, manfaat yang didapat Indonesia tentunya akan sangat besar. Bahkan, negara lain seperti Australia juga secara tidak langsung menyadari hal tersebut. Kontestasi untuk menjadi inisiator di antara forum-forum negara middle power menjadi sangat masuk akal untuk memperkuat posisi suatu negara, terutama mengingat kompleksitas politik internasional saat ini yang sangat dinamis (Beeson & Higgott, 2013).
Namun, pernyataan tersebut kenyataannya belum sesuai dengan fakta yang ada. Penulis menemukan beberapa hal selama diplomasi keketuaan Indonesia yang justru tidak koheren dengan objektif dan manfaat yang seharusnya Indonesia dapatkan. Satu momen yang digarisbawahi Indonesia terjadi selama keketuaan G20 Indonesia ketika Indonesia justru menerima bantuan finansial khusus untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, hal tersebut tentunya berdampak besar terhadap legitimasi yang coba dipupuk oleh Indonesia sendiri (Latief, 2020). Selain itu, penulis juga menyayangkan minimnya partisipasi Indonesia pada forum negara-negara berkembang yang lebih besar seperti Gerakan Non-Blok (GNB). Sebagai contoh, dalam KTT GNB terakhir di tahun 2019, Indonesia menunjukkan partisipasi yang sangat sedikit dalam beberapa output tertulis dari KTT tersebut, dimana poin-poin bahasannya masih sangat berkaitan dengan agenda Indonesia utamanya membangun solidaritas antar negara-negara middle power (de Silva, 2019). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa partisipasi Indonesia bisa jadi masih didorong dengan keinginan tertentu, seperti pemulihan domestik dan perekonomian, alih-alih memupuk legitimasi sebagai penggerak negara-negara middle power. Meskipun manfaat yang dicapai tetap relevan untuk menjawab permasalahan Indonesia, tetapi hal tersebut menandakan adanya momentum yang tidak mampu Indonesia manfaatkan secara sepenuhnya.
Kesimpulan: Menari di Tengah Pentas Teater
Maka dari itu, penulisan ini secara sadar menyimpulkan bahwa manfaat yang seharusnya bisa dicapai dari diplomasi keketuaan Indonesia dalam berbagai forum multilateral masih belum dibarengi dengan tindakan yang koheren. Padahal, mengulang apa yang sudah disebutkan dalam bagian pembukaan, setiap kesempatan untuk menjadi ketua merupakan peluang besar bagi suatu negara untuk memupuk legitimasinya dalam politik internasional. Selain itu, penting juga untuk mengingat bahwa permasalahan hosting capacity baik dari pemerintah maupun agensi non-pemerintahan di Indonesia masih menjadi permasalahan utama rendahnya daya saing Indonesia untuk menarik berbagai kerjasama internasional sejak dulu (Murdiyarso, 2004). Permasalahan tersebut tentu masih dapat dibenahi hanya apabila Indonesia siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang koheren dengan tujuan besarnya.
Apabila hendak dianalogikan, bisa dibilang bahwa periode keketuaan Indonesia dalam berbagai forum multilateral selama setahun ke belakang ibarat “menari di tengah pentas teater”. Dengan menari, Indonesia berhasil menyenangkan dan membuat semua orang menikmati pertunjukkan, tetapi tindakannya masih kurang tepat dengan tujuan yang ada mengingat bahwa tarian tersebut dilakukan pada pentas teater.
Referensi
Beeson, M. and Higgott, R., 2013. "The changing architecture of politics in the Asia-Pacific: Another (lost) Middle Power Moment?". Seoul: KAIS-KF International Conference.
Brannagan, P.M. and Giulianotti, R., 2018. Soft power and soft disempowerment: Qatar, global sport and football’s 2022 World Cup finals. In Leveraging Mega-Event Legacies (hlm. 89-105). Routledge.
Chen, C.C., Colapinto, C. and Luo, Q., 2012. The 2008 Beijing Olympics opening ceremony: visual insights into China’s soft power. Visual Studies, 27(2), hlm.188-195.
De Silva, L., 2019. The non-aligned movement: Its economic organization and NIEO perspectives. In The challenges of South-South cooperation (hlm. 73-91). London: Routledge.
Efstathopoulos, C., 2012. Leadership in the WTO: Brazil, India and the Doha development agenda. Cambridge review of international affairs, 25(2), hlm.269-293.
Latief, Yusuf., 2022. G20 Summit mobilises $20bn for Indonesia’s just energy transition, Enlit World, 18 November. Available at: https://www.enlit.world/finance-investment/ g20-summit-mobilises-20bn-for-indonesias-just-energy-transition/
Murdiyarso, D., 2004. Implications of the Kyoto Protocol: Indonesia’s perspective. International Review for Environmental Strategies, 5(1), hlm.145-156.
Narlikar, A., 2020. Poverty narratives and power paradoxes in international trade negotiations and beyond. Cambridge: Cambridge University Press.
Nygård, H.M. and Gates, S., 2013. Soft power at home and abroad: Sport diplomacy, politics and peace-building. International area studies review, 16(3), hlm.235-243.