[Policy Brief] Evaluasi Posisi ASEAN dan Indonesia dalam Putusan Resolusi Majelis Umum PBB terhadap Embargo Senjata pada Konflik Myanmar
Sikap & Respons Indonesia terhadap Kudeta di Myanmar
Maula Mohammad Haykal — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Ananda Amalia — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Siti Yasinta Anugraheny — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Sejak pertemuan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dengan Menteri Luar Negeri Myanmar, Wunna Maung Lwin dan Menteri Luar Negeri Thailand, Don Pramudwinai, di Thailand pada Februari silam, Indonesia telah tegas menentukan posisinya untuk selalu mendukung demokratisasi di Myanmar, mendesak diberhentikannya serangan junta kepada warga sipil, melepaskan tahanan politik dan Aung San Suu Kyi, serta mendesak embargo pasokan senjata dari negara penyokong junta militer. Oleh karenanya, Menlu Retno juga mengedepankan pentingnya komunikasi, dialog rekonsiliasi, dan trust-building antarpihak yang bersangkutan, agar krisis ini dapat dihadapi dengan damai dan tanpa kekerasan. Kemlu RI menegaskan pula bahwa Indonesia membantah tuduhan mengenai dukungannya kepada junta militer melalui pemilihan ulang, melainkan Indonesia terus melakukan komunikasi dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan konflik ini. Indonesia sepenuhnya menghargai hasil pemilihan umum Myanmar pada tahun 2020 dan tidak ada perubahan sedikitpun mengenai posisi Indonesia pada konflik ini.
Sidang UNGA
Pada sidang umum PBB yang diadakan pada 18 Juni 2021, Majelis Umum PBB menyerukan teguran yang tegas untuk melakukan penghentian aliran senjata ke Myanmar. Tak hanya itu, Majelis umum PBB juga turut mendesak militer Myanmar untuk menghormati hasil pemilihan umum yang diadakan November lalu, dan membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi. Draf hasil sidang tersebut berbunyi “perlunya mengurangi eskalasi kekerasan, dan dalam hal itu menyerukan kepada semua anggota negara untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar” (UNGA 2021).
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sebelumnya telah mendorong Majelis Umum untuk bertindak dengan mengatakan kepada wartawan: “Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak dapat diterima.” (Taylor and Westfall 2021). Langkah itu dilakukan setelah seruan untuk tindakan yang lebih agresif oleh diplomat Kyaw Moe Tun, yang masih diakui oleh PBB sebagai duta besar Myanmar, meskipun ia didorong keluar dan dituduh makar oleh para pemimpin militer di negaranya karena menolak berpihak pada junta militer yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta. Dukungan juga diserukan oleh negara-negara ASEAN atas apa yang digambarkannya sebagai peran penting dalam mendukung demokratisasi Myanmar dan menyerukan implementasi secara cepat dari konsensus lima poin yang dirancang oleh ASEAN pada pertemuan bulan April lalu. Namun terlepas dari dukungan ini — dan suara yang tidak seimbang secara keseluruhan — negara-negara anggota ASEAN terbagi dalam tanggapan mereka. Enam suara mendukung resolusi tersebut, antara lain: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam, serta Myanmar sendiri, diwakili oleh seorang duta besar yang dengan berani menolak kudeta militer pada Februari lalu.
Pada akhirnya, resolusi tersebut disepakati setelah 119 suara mendukung dan 36 abstain — salah satunya Belarus yang menentang resolusi tersebut, dengan alasan yang sifatnya “dipolitisasi”. Setelah pemungutan suara, Kyaw Moe Tun menekankan kembali keinginannya agar PBB dan organisasi internasional lainnya mengambil “tindakan yang paling kuat dan paling tegas terhadap militer.” (Nichols 2021). Duta Besar mengungkapkan rasa terima kasihnya atas pemungutan suara tersebut, tetapi ia juga mengungkapkan kekecewaannya karena hampir tiga bulan untuk mengadopsi resolusi yang dipermudah ini.
“Menjual senjata kepada militer pembunuh dapat ditafsirkan … untuk membantu dan bersekongkol dengan militer untuk melakukan kejahatan serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, kejahatan perang dan genosida,” ungkap Kyaw Moe Tun (Amnesty International 2021).
Implikasi pilihan Indonesia bagi permasalahan Myanmar kedepannya
Posisi yang diambil oleh Indonesia bersama beberapa negara Asia Tenggara lain tersebut menunjukkan adanya suatu perpecahan di dalam tubuh ASEAN. Sejauh ini, Indonesia telah berupaya untuk bersikap lebih aktif di dalam mendorong ASEAN untuk segera mengimplementasikan konsensus dari KTT Pemimpin ASEAN pada April lalu. Selain itu, Indonesia bersama Malaysia dan Singapura juga mendesak agar militer Myanmar segera membebaskan Aung San Suu Kyi. Sayangnya, peran aktif oleh Indonesia dan beberapa negara ASEAN ini dihantui oleh adanya agenda tersendiri oleh negara anggota lainnya. Thailand yang merupakan negara tetangga Myanmar dilihat oleh Samet (2021) sebagai aktor yang memiliki sikap appeasement terhadap militer Myanmar, akibat adanya hubungan dekat antara pemerintah Thailand dengan jenderal-jenderal Myanmar. Hal ini terlihat dari adanya upaya diplomasi ASEAN di belakang layar untuk mengubah resolusi Dewan Umum PBB mengenai embargo senjata ke Myanmar. Thailand berusaha untuk menjustifikasi sikap tersebut sebagai usaha untuk menciptakan sebuah “ruang aman” untuk dialog, namun tidak adanya engagement dengan National Unity Government (NUG) oleh Thailand membuat banyak pihak skeptis akan justifikasi ini (Samet 2021).
Struktur ASEAN yang mengedepankan konsensus di antara anggotanya agar dapat menjalankan agendanya hanya akan membuat kelumpuhan di dalam ASEAN sendiri, terutama ketika terdapat divergensi kepentingan yang cukup tajam di antara negara anggota. Di dalam kasus Myanmar, ASEAN dapat dikatakan telah mengalami kelumpuhan. Singapura yang merupakan pemain penting regional melihat kasus Myanmar sebagai sesuatu yang memalukan dan mengancam kredibilitas ASEAN (Samet 2021). Selain itu, lumpuhnya ASEAN juga membuat publik semakin tidak percaya bahwa ASEAN merupakan mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan hal ini. Meskipun pemain-pemain besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok telah menekankan Lima Poin Konsensus ASEAN sebagai pondasi penyelesaian isu Myanmar, yang juga diperlihatkan oleh resolusi Dewan Umum PBB kemarin, perpecahan di dalam ASEAN telah menunjukkan bahwa ASEAN tidak dapat diandalkan sebagai pemimpin untuk menyelesaikan isu Myanmar.
Problematika di dalam ASEAN tersebut menurut Lina A. Alexandra dari CSIS Jakarta, membuat Indonesia memiliki dua pilihan untuk menyelamatkan reputasinya sebagai pihak yang paling getol mendorong ASEAN untuk aktif dalam isu Myanmar. Pilihan pertama adalah menjadi mitra pasif namun kritis di dalam kerangka ASEAN. Di pilihan ini, Indonesia bisa menekan Brunei yang merupakan ketua ASEAN saat ini untuk segera berkonsultasi dalam mengimplementasikan Lima Poin Konsensus, terutama dalam menunjuk utusan khusus ASEAN bagi Myanmar. Menurut Alexandra (2021), Indonesia dapat memberikan tenggat waktu bagi Brunei sebelum masa jabatannya berakhir, dan memastikan bahwa utusan khusus ini merupakan figur yang kredibel. Dengan mengajak negara anggota lain yang sepaham, Indonesia juga dapat menekan Kamboja sebagai calon ketua ASEAN 2022 untuk lebih menyuarakan Lima Poin Konsensus, dan memastikan kesalahan Brunei tidak akan terulang kembali.
Di sisi lain, jika Brunei tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut, Indonesia dapat mengambil jalur lain di luar kerangka ASEAN. Secara unilateral, Indonesia dapat menunjukkan keberpihakan pada NUG atau mengkritik ASEAN ketika penunjukan utusan khusus tidak sejalan dengan tujuan utama dari Lima Poin Konsensus. Upaya multilateral dilihat lebih akan memberikan dampak bagi situasi di Myanmar. Indonesia dapat menggandeng negara-negara Asia Tenggara lain yang sepaham dengan Indonesia di dalam isu Myanmar, mitra dialog ASEAN, ataupun organisasi internasional lain yang memiliki tujuan untuk turut mengembalikan kestabilan dan perdamaian di Myanmar (Alexandra 2021). Selain itu, Indonesia juga bisa melakukan engagement yang lebih intens dengan aktor-aktor ekstraregional seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa, India, Korea Selatan, ataupun Jepang yang secara konsisten menyerukan kestabilan dan perdamaian di Myanmar. Upaya multilateral ini dapat diimplementasikan melalui embargo senjata kepada militer Myanmar, bantuan kemanusiaan, maupun bantuan lain terhadap kelompok-kelompok prodemokrasi.
REFERENSI
Alexandra, Lina A, 2021. “Kapal Tenggelam ASEAN dan Pilihan Indonesia”[daring]. di https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/14/kapal-tenggelam-asean-dan-pilihan-indonesia [diakses 26 Juni 2021].
Amnesty International, 2021. “UN: New resolution against violence in Myanmar must prompt global arms embargo” [daring]. dalam https://www.amnesty.org/en/latest/news/2021/06/un-new-resolution-against-violence-in-myanmar-must-prompt-global-arms-embargo/ [diakses pada 26 Juni 2021].
Nichols, Michelle, 2021. “United Nations calls for halt of weapons to Myanmar” [daring]. di https://www.reuters.com/world/asia-pacific/un-chief-urges-general-assembly-act-myanmar-2021-06-18/ [diakses pada 26 Juni 2021].
Samet, Oren, 2021. “There is No ASEAN Consensus on Myanmar”[daring]. di https://thediplomat.com/2021/06/there-is-no-asean-consensus-on-myanmar/ [diakses pada 26 Juni 2021].
Taylor, Adam, dan Samy Westfall, 2021. “U.N. adopts resolution condemning Myanmar’s military junta” [daring]. di https://www.washingtonpost.com/world/2021/06/18/un-set-adopt-resolution-condemning-myanmars-military-junta/ [diakses pada 26 Juni 2021].
United Nations General Assembly (UNGA), 2021. The situation in Myanmar.