[Artikel Ilmiah] Dekonstruksi Swaklaim Soekarnoputri pada Pencapaian Hubungan
Internasional Indonesia kala Era Presiden Megawati, 2001–2004
Philipus M. P. Nugroho — FPCI Chapter Airlangga
Fauzan R. Amru — FPCI Chapter Airlangga
Maruli G. Hutajulu — FPCI Chapter Airlangga
Resensi Swaklaim Megawati
Dalam jangka waktu beberapa bulan ke belakang ini, Indonesia-secara spesifik, lingkungan pendidikan tingginya-telah melihat cukup banyak pemberian gelar doktor kehormatan, atau lebih dikenal sebagai honoris causa. Melalui penelaahan singkat tentang nama yang tersirat dari kata-kata berbahasa latin tersebut, tentunya gelar ini-yang mana termasuk ke dalam hak institusi pendidikan tinggi untuk menyematkan-sepatutnya melalui pemikiran awam diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada
bangsa dan negara. Akan tetapi, dalam konteks temporal yang telah para penulis sebutkan sebelumnya, cukup banyak individu-individu yang disematkan gelar doktoral kehormatan ini, mengundang pertanyaan tentang kepantasan karena latar belakang pekerjaan ataupun kinerja masa lalu mereka.
Sebagai contoh, Nurdin Halid yang harus melaksanakan tupoksi jabatan ketua PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dari penjara akibat kasus korupsi pengadaan minyak goreng, ternyata “absah” bagi Universitas Negeri Semarang untuk diberikan gelar honoris causa karena dianggap berjasa besar pada bidang keolahragaan (ANTARA 2007, 14 September; Prabowo dan Bernie 2021). Selain mantan ketua PSSI tersebut, kasus “obral” gelar pendidikan tinggi juga sempat diindikasikan terjadi dan diberikan oleh institusi pendidikan tinggi, Universitas Pertahanan, bagi mantan presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
Berbeda dengan Halid yang secara positivis memang tidak pernah memublikasikan satu karya tulis ilmiah, maupun berkontribusi secara keilmuan terhadap epistemologi apapun, Megawati-walau mengundang perdebatan yang panjang-dianggap absah untuk menerima gelar honoris causa-nya tersebut karena telah memublikasikan satu karya ilmiah. Karya dengan judul “Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001–2004” tercatat telah ditulis dan diunggah oleh Soekarnoputri (2021) pada laman jurnal akademik milik Universitas Pertahanan bertajuk Jurnal Pertahanan & Bela Negara. Mengacu kepada pranata penyematan gelar doktor kehormatan keluaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 21 Tahun 2013 menyebutkan beberapa alasan penjustifikasi penyematan yang cukup “rancu” pada Pasal 3 Permendikbud tersebut. Selain ambiguitas tersebut, dengan membaca judulnya saja para pembaca mampu mengetahui bahwasanya putri Soekarno itu telah mendasarkan penelitiannya sendiri akan kepemimpinan presidensialnya-menjadikannya sangat subjektif, di samping Soekarnoputri yang seorang politikus sendirinya. Meskipun wacana ini nantinya memang bersifat sebagai kritik terhadap “swaklaim” yang diungkapkan oleh Soekarnoputri tersebut,selayaknya organisasi yang bergerak di bidang pengkajian kebijakan luar negeri, para penulis hendak memfokuskan pembahasan literatur ini ke arah yang berbeda.
Intensi Tulisan
Seperti yang telah sempat disinggung, wacana ini akan lebih banyak berfokus untuk menggali analisis serta-bisa dikatakan pula-mengkritik swaklaim Soekarnoputri (2021, 59–60) pada jurnal ilmiahnya, dalam bidang kebijakan luar negeri mantan presiden tersebut dengan beberapa fokus utama sebagai
berikut. Pertama, Soekarnoputri menyebutkan di dalam jurnalnya bahwa di era kepemimpinannya, ia mampu memimpin Indonesia di dalam upaya penyelesaian permasalahan tenaga kerja Indonesia (Pekerja Migran) yang disebutkan oleh Soekarnoputri sebagai “pahlawan devisa” negara. Kedua, sang mantan presiden juga sempat menyinggung perihal peristiwa bom yang sempat menghambat sektor pariwisata di Pulau Bali, yang mana Soekarnoputri menjabarkan empat langkah dalam program pemulihannya: (1) rescue; (2) rehabilitasi; (3) normalisasi; dan (4) ekspansi. Ketiga dan terakhir, salah satu konflik “separatisme” yang pernah ditangani putri Soekarno tersebut, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menjadi salah satu sorotan upaya penyelesaian bagi Soekarnoputri, meskipun berbagai dinamika
internasional turut menyertai konflik tersebut di dalam proses perundingannya. Menginternalisasi semangat pascamodernis, para penulis berkehendak untuk membahas ketiga topik tersebut dalam bingkai pengenalan mendalam, analisis kinerja mantan presiden Megawati berdasarkan penilaian penstudi-penstudi, dilanjutkan penghadiran pembandingan di antara penilaian-penilaian tersebut dengan swaklaim kepunyaan Soekarnoputri.
Penanganan Isu Pekerja Migran Indonesia di Malaysia kala Pemerintahan Megawati
Migrasi berlatar belakang ekonomi-secara spesifik bidang ketenagakerjaan-bukanlah hal baru bagi Indonesia, terlebih tujuan migrasi mayoritas PMI merupakan negara tetangga para penulis sendiri, Malaysia, dibuktikan dengan data prapandemi keluaran Badan Perlindungan Migran Indonesia (BP2MI) (2021). Namun, penelaahan Maiwan (2012, 21–22) mengisyaratkan problematika ketenagakerjaan tersebut mencuat ke tingkatan internasional akibat besarnya angka WNI ilegal di Malaysia yang setidaknya mencapai 700.000 jiwa pada tahun 2007, dengan perkiraan prapublikasi data tersebut, jumlahnya bisa sama atau lebih tinggi. Walau ilegalitas pekerja bisa jadi muncul karena ketidaksengajaan
seperti visa kerja yang kedaluarsa ataupun perdagangan manusia, Liow (2003, 50) mendapati kemarahan masyarakat Malaysia dengan cepat berubah demonstratif melalui sekuritisasi yang dikumandangkan lingkaran politik Malaysia berwujud pelabelan “ancaman” kepada para PMI Malaysia tanpa pandang bulu. Langkah yang awalnya hanya direspons dengan ekspresi “keprihatinan” Indonesia saja tersebut, malah dikembangkan intensitasnya dengan pengumandangan kebijakan “Hire Indonesians Last,” Akta Imigresen 1154 Tahun 2002-penerapan denda dan cambukan-serta deportasi massal tenaga kerja ilegal, setelah serangkaian protes balik dilancarkan oleh PMI di pabrik-pabrik Malaysia (ibid., 50–51; Saragih 2018, 38).
Berkaitan dengan langkahnya kala krisi tersebut, Soekarnoputri (2021), dengan menyadur ungkapan Jusuf Kalla di dalam Dahuri dkk, (2019), menyebutkan bahwasanya mantan Presiden Megawati memang terlibat aktif untuk menyusun kesepakatan bersama pihak Malaysia, tetapi mengakui bila langkahnya tersebut seakan-akan hanya berupa “batu pondasi” bagi langkah penyelesaian lebih lanjut. Di tengah panas-panasnya krisis tersebut, sejatinya protes pihak Indonesia banyak berasal dari masyarakat biasa saja-di antaranya dengan pembakaran bendera di depan kedutaan dan publikasi berjudul “Remember Konfrontasi (Liow 2003, 52; Jakarta Post 2002, 1 Februari). Kunjungan Megawati ke Malaysia tahun 2001, diikuti dengan pertemuan antarpemimpin pemerintahan di Bali setahun setelahnya sebagai
langkah-langkah pertama Megawati, nyatanya selalu dibayangi dengan kegagalan diplomatik karena ketidakmauan kedua belah pihak untuk berkompromi (op. cit., 59). Dalam perspektif legislatif, pemerintahan Megawati juga sempat mengeluarkan UU №39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri, yang meskipun nantinya melahirkan lembaga perlindungan PMI-nya tersendiri, masih Fauziati (2015, 39) rasakan terlalu berfokus kepada aspek penempatan alih-alih
kepentingan perlindungan PMI.
Mitigasi Terorisme atau Penghidupan Kembali Pariwisata: Kesalahan Langkah Megawati
Serangkaian klaim oleh Megawati Soekarnoputri atas keberhasilan dan kontribusinya di era periode kepemimpinannya sebagai presiden Indonesia pada tahun 2001 hingga 2004 dalam belakangan ini menjadi kontroversi tersendiri melalui tulisan ilmiah yang ditulis sendiri oleh Megawati Soekarnoputri. Salah satu dari klaim yang dianggap sebagai tindakan berhasil adalah dalam bagaimana Megawati Soekarnoputri berhasil untuk merespon dan menangani berbagai isu konflik sosial yang terjadi di Indonesia pada era kepemimpinannya. Dalam konteks merespon isu Terorisme, terutama dengan
peristiwa Bom Bali 2002, Megawati Soekarnoputri cenderung lebih menekankan akan bagaimana di era pemerintahannya berhasil untuk melakukan normalisasi pemulihan pariwisata pasca peristiwa Bom Bali
(Soekarnoputri 2021). Namun, penekanan akan usaha pasca peristiwa cenderung melewati isu utama yang menjadi problematika utama yakni Terorisme yang mana menjadi tema utama, dan bahkan isu internasional yang kuat, dalam diskursus pada era tersebut. Dalam isu tersebut, pola pendekatan Megawati Soekarnoputri untuk mengikuti narasi global yang berkembang pada era tersebut cenderung lamban dan menuai kritik.
Tema isu Terorisme yang mendominasi diskursus internasional pascaperistiwa 11 September 2001 (9/11) melalui kampanye war on terror Amerika Serikat mendorong hampir seluruh negara untuk mengikuti narasi yang selaras dengan Amerika Serikat, tidak terkecuali oleh Indonesia. Di bawah tekananinternasional yang kuat untuk mendemonstrasikan bahwa Indonesia turut selaras dengan perang terhadap Terorisme, bahkan Megawati mengambil inisiatif pertama setelah peristiwa 9/11 dalam masa awal kepresidenannya (Suryadinata 2004). Tindakan simpati dan pernyataan posisi yang sama dengan Amerika Serikat oleh Megawati Soekarnoputri dipahami tidak sepenuhnya direfleksikan ke dalam praktiknya. Melalui berbagai dinamika dan problematika internal Indonesia pascakrisis, baik secara sosial maupun ekonomi yang belum stabil, Indonesia dalam memandang isu Terorisme cenderung belum memiliki tingkat urgensi yang tinggi pada masa pra peristiwa Bom Bali 2002. Hal ini dipahami berakibatfatal dan menjadi salah satu bentuk kelalaian Megawati Soekarnoputri untuk memahami urgensi isu dan krisis yang berujung pada peristiwa Bom Bali 2002 (Sherlock, 2002). Kelalaian Indonesia dalam
memahami urgensi isu Terorisme pada awal masa war on terror telah diekspektasikan oleh Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat akan berakibat fatal bagi Indonesia. Posisi Indonesia pada masa tersebut
dipahami menjadi rantai paling lemah dalam kooperasi regional dalam melawan Terorisme, tren tersebut berkembang dan mulai mengancam pada bulan-bulan sebelum peristiwa Bom Bali 2002 (Rabasa 2002;
Strategic Survey 2003)
Indonesia dinilai tidak aktif dalam melakukan mitigasi ancaman teroris yang berkembang jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya dan kerap enggan menempuh tindakan apapun. Hal ini dipahami sesuai dengan kepentingan politis Megawati Soekarnoputri untuk memprioritaskan konsolidasi politiknya untuk dapat bertahan dan memenuhi keinginan domestik yang relatif lebih berorientasi pada tuntutan islamis dan menghindari alienasi dari unsur-unsur Muslim di Indonesia dan
di dalam pemerintahannya sendiri (Sherlock 2002; Suryadinata 2004). Sikap Megawati Soekarnoputri yang terlalu berfokus pada akomodasi seluruh pihak domestik cenderung berujung pada kelalaian dan ketiadaan tindakan terhadap isu Terorisme. Indonesia dipahami memiliki ketidaksiapan yang kuat dalam menghadapi isu Terorisme dikarenakan oleh minimnya sumber daya teknis, kohesi pemerintah yang kurang, minimnya pembentukkan aturan anti-teror, dan alasan Indonesia sebagai negara 90% Islam (moderat) menjadi faktor utama dalam minimnya usaha mitigasi Terorisme di Indonesia (Rabasa 2002).
Meskipun Megawati Soekarnoputri pada akhirnya mengeluarkan Perppu №1/2002 yang berkembang menjadi Undang-Undang №15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme pascaperistiwa Bom Bali, yang mana memberikan justifikasi bagi pembentukan mekanisme anti-teror, aturan tersebut tidak sepenuhnya menghentikan serangan terorisme lainnya seperti peristiwa JW Marriot tahun 2003 (Suryadinata 2004).
Hal ini dapat disimpulkan bahwa penanganan isu Terorisme oleh Megawati Soekarnoputri tidak sepenuhnya membuahkan hasil yang positif. Titik fatal yang dapat dipahami dalam pola penanganan isu Terorisme adalah kelalaian antisipasi dan pembentukkan urgensi akan aktivitas Terorisme yang berkembang di Indonesia pra peristiwa Bom Bali 2002. Baru setelah peristiwa Bom Bali 2002, pemerintah Megawati Soekarnoputri baru bersedia menaruh perhatian khusus dan secara aktif merespon akan isu tersebut. Dengan justifikasi yang ada secara domestik dan pembentukkan kesadaran urgensi
yang dirasakan, isu Terorisme baru secara perlahan direspon sesuai dengan tuntutan kekhawatiran masyarakat internasional.
GAM dan Separatisme Aceh: Pemertahanan Citra Diplomatik dan Penanganan Domestik
Gerakan Aceh Merdeka merupakan gerakan separatis yang telah ada sejak pemerintahan orde baru hingga masa reformasi dimana terdapat tensi antara hubungan Aceh dengan Jakarta. Ketidakserasian tersebut dapat dirasakan dikarenakan berbagai keadaan saat itu seperti pemerintahan Soekarno yang
cenderung lebih “sekuler” dimana hal tersebut bertabrakan dengan nilai-nilai yang dianut oleh berbagai kelompok masyarakat di Aceh atau saat pemerintahan Soeharto yang menekankan pada tujuan pertumbuhan negara yang terkadang bersingunggan dengan kelompok-kelompok masyarakat di Aceh (Schulze 2004). Kemunculan gerakan separatis tersebut tidak jauh dari sejarah yang kelam dimana banyaknya digunakan kekerasan dalam mengatur warga Aceh terutama pada masa orde baru dan sampai pada tahun 2000–2003 di masa reformasi sendiri masyarakat Aceh masih banyaknya ketidakadilan yang dirasakan. Megawati yang merupakan presiden kelima Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjabat pada tanggal 23 Juli 2001 sampai dengan 20 Oktober 2004 berusaha menyelesaikan
permasalahan tersebut dengan berbagai cara. Dalam tulisannya yang berjudul “The Leadership of President Megawati in The Era of Multidimensional Crisis,” ia berusaha untuk menyelesaikan permasalahan seperti konflik Aceh dengan upaya perdamaian (Soekarnoputri 2021) namun hal tersebut perlu diteliti kembali dikarenakan upaya perdamaian tersebut tidak sepenuhnya terlaksana dan berlanjut pada dijalankannya sebuah darurat militer sebagai salah satu keputusan yang diambil pemerintah pusat.
Kegagalan pemerintahan Megawati dalam menyelesaikan konflik GAM dengan cara damai sendiri dikarenakan tidak berjalannya Cessation of Hostilities Agreement atau CoHA yang di sepakati di Tokyo pada Desember 2002 sebagai salah satu langkah menuju perdamaian. Hal tersebut dikarenakan kedua pihak sendiri gagal untuk mengatur para personelnya sehingga masih terjadinya konflik seperti penembakan dan sebagainya (Hutagalung 2004). Akibat dari kegagalan tersebut, pemerintahan
Megawati sendiri mengambil langkah untuk mengadakan darurat militer sebaga bentuk proses untuk menuju perdamaian. Adanya darurat militer sendiri menimbulkan banyak persoalan dimana salah satunya yang paling ditekankan ialah penegakan HAM. Konflik yang dilakukan oleh para anggota GAM dengan pemerintahan Indonesia tersebut berdampak pada hidup maupun nyawa korban sipil dimana dimana tercatat terdapat total 839 orang berdasarkan Investigasi Kontras Aceh, Laporan Monitoring Lapangan, Laporan/Pengaduan Masyarakat, Serambi Indonesia, Waspada dan Koran Tempo (Hutagalung 2004).
Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) sendiri sebagai lembaga independen melihat bahwa terdapat berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi saat itu (Kontras Aceh 2006). Pertama, yaitu operasi militer yang dijalankan dirasa tidak bisa membedakan antara anggota bersenjata dari GAM, aktivis politik, dan masyarakat sipil lainnya. Banyak terjadi kejadian dimana masyarakat sipil menjadi target dari operasi tersebut yang ditujukan dengan adanya korban jiwa dalam pelaksanaan operasi militer tersebut. Kedua, adanya tindakan diskriminasi
yang di dasari pada ketentuan yang mewajibkan penggunaan KTP “Merah Putih” sebagai bentuk dukungan terhadap NKRI dimana diskriminasi terebut terjadi di dalam Aceh itu sendiri maupun di luar wilayah Aceh dimana banyak pihak yang mengasosiasikan KTP tersebut sebagai warga Aceh dengan konotasi negatif. Ketiga, dampak dari darurat militer sendiri sangat besar dirasakan oleh masyarakat Aceh dimana berbagai fasilitas seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas penting lainnya tidak terawat dengan baik maupun hancur sehingga sulit untuk digunakan. Hal tersebut juga berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat Aceh dimana kemiskinan sendiri meningkat dari tahun 2001 yaitu sekitar 1,2
juta orang hingga tahun 2003 sekitar 4,1 juta orang. Keempat, yaitu besarnya pengaruh lembaga negara lainnya pada ranah-ranah birokrasi yang terlihat dari tindakan-tindakan polisionil (Kontras Aceh 2006).
Dari bahasan ini, maka dapat dilihat bahwa pemerintahan Megawati dalam menyelesaikan konflik Gerakan Aceh Merdeka tidak serius dalam menjunjung Hak Asasi Manusia yang dimana upaya diplomasi yang sebelumnya dilakukan untuk mencapa perdamaian berbanding terbalik dengan adanya operasi
militer yang merupakan langkah pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik tersebut sehingga banyak masyarakat Aceh yang menjadi korban akibat hal tersebut.
Benarkah Swaklaim Soekarnoputri terhadap Pencapaian Era Pemerintahannya?
Mengambil kesimpulan yang holistik dalam menanggapi beberapa kasus bernada HI dari tulisan Soekarnoputri tersebut, para penulis mendapati kinerja yang kurang begitu bisa dibanggakan dari era kepemimpinan Megawati, didukung dengan banyaknya analisis data yang ditawarkan penstudi lainnya. Didalam krisis ketenagakerjaan PMI yang bekerja di Malaysia, terdapat indikasi bahwasanya Presiden Megawati terlalu “terlambat” dan lembek pada awal krisis tersebut mulai mencuat; menginstitusikan beberapa opsi untuk mengurus krisis tersebut melalui diplomasi maupun kebijakan domestik, meski pada akhirnya terlalu inefektif untuk dapat dikatakan suatu kesuksesan bagi dirinya. Pada aspek terorisme, meskipun secara “halus” telah ditekan untuk mengikuti pedoman War on Terror AS, Presiden Megawati terindikasi takut kehilangan legitimasi politik lingkaran elitenya sendiri hingga lebih banyak memfokuskan perbaikan ekonomi pariwisata alih-alih menelurkan kebijakan yang “krusial” dan “efektif” untuk menangkal tindakan terorisme lainnya. Sedangkan di dalam aspek penanganan separatisme dan pemertahanan citra diplomatik, memang benar Megawati sanggup mendasarkan pondasi pendekatan dengan GAM, tetapi isu HAM agaknya kurang diperhatikan ketika Darurat Militer diterapkan di samping penciptaan citra diplomatik yang gagal di Tokyo tahun 2002.
Referensi
ANTARA, 2007. “Nurdin Halid Divonis Dua Tahun Penjara” [daring]. diambil dari Nurdin Halid Divonis Dua Tahun Penjara — ANTARA News [diakses pada 21 Juni 2021].
Dahuri, Rokhmin, dkk. (eds.), 2019. The Brave Lady: Megawati dalam Catatan Kabinet Gotong Royong. Tangerang: Gramedia Pustaka Utama.
Fauziati, Atika, 2015. “Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia yang Terpidana Mati di Luar Negeri dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, (2015): 1–39.
Hutagalung, Daniel. 2004. Memahami Aceh Dalam Konteks : Kajian Atas Situasi Darurat Militer Di Aceh. Aceh Working Group, Monograf №2.
Kontras Aceh. 2006. ACEH, DAMAI DENGAN KEADILAN? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Seri Ac. Jakarta: Kontras.
Liow, Joseph, 2003. “Malaysia’s Illegal Indonesia Migrant Labour Problems: In Search of Solutions”, Contemporary Southeast Asia, 25 (1): 44–64. DOI: 10.1353/csa.2011.0002.
Maiwan, Mohammad, 2012. “Antara Benci dan Rindu: Hubungan Indonesia-Malaysia dan Isu Tenaga Kerja Ilegal di Malaysia”, Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 11 (2): 19–34. DOI: 10.21009/jimd.v11i2.4053.
Rabasa, Angel, 2002. “Working Together: Megawati and the Terrorists” [daring], 11 Maret 2002. Tersedia dalam https://www.rand.org/blog/2002/03/working-together-megawati-and-the-terrorists.html [Diakses pada 23 Juni 2021].
Saragih, Dwi Putri, 2018. Kajian Ekonomi Politik dari Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia. [daring]. Skripsi Sarjana. Medan: Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. diambil dari
repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3311/140906017.pdf?sequence=1&isAllowed=y [diakses pada 14 Juni 2021].
Schulze, Kirsten. 2004. The Free Aceh Movement (GAM) : Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studies.
Sherlock, Stephen, 2002. “The Bali Bombing: What it Means for Indonesia”, Current Issues Brief, №4 2002-
03, 22 Oktober.
Soekarnoputri, Diah Permata M. S., 2021. “Kepemimpinan Presiden Megawati pada Era Krisis Multidimensi, 2001–2004”, Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 11 (1): 49–66.
Strategic Survey, 2003. “Indonesian Security and Countering Terrorism in Southeast Asia”, Strategic Survey, 103 (1):219–236.
Suryadinata, Leo, 2004. “Indonesia: Continuing Challenges and Fragile Stability”, South Asean Affairs, (2004): 89–103.
Prabowo, Haris, dan Mohammad Bernie, 2021. “Saat Kampus Obral Gelar Honoris Causa ke Politikus hingga Koruptor” [daring], Tirto.id, 9 Februari. diambil dari Saat Kampus Obral Gelar Honoris Causa ke Politikus hingga Koruptor — Tirto.ID [diakses pada 20 Juni 2021].