Bangkit dari Nusantara: Orientasi Strategis dan Prospek Masa Depan Indonesia sebagai Emerging Power
Naura Iqbar Herasmana
Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di Asia Tenggara memiliki ambisi dan visi yang tinggi. Dewasa ini, negara dengan penduduk lebih dari 275 juta jiwa ini seringkali diam-diam dan perlahan membuat berbagai macam gebrakan pada konstelasi panggung internasional. Mendapatkan julukan sebagai negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, Indonesia tengah mengalami revolusi yang tidak hanya bersifat regional tetapi juga global. Dengan begitu, tulisan ini akan mengeksplorasi orientasi kebijakan Indonesia dengan mengevaluasi perkembangannya sebagai negara yang sedang rise sebagai emerging power. Melalui analisis yang komprehensif dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan inisiatif strategis, tulisan ini akan berupaya mengembangkan hipotesis jika Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk menjadi suatu negara yang tengah berkembang. Dengan mengatasi kompleksitas tersebut, masa depan Indonesia berada pada tangan pembuat kebijakan strategis dan tata kelola yang efektif, guna untuk membuka jalan menuju kemajuan pada abad ke-21.
Konsep Emerging Power dalam Studi Hubungan Internasional
Emerging power merupakan suatu label negara yang memiliki tujuan diplomasinya untuk reformasi ataupun meninjau kembali tatanan internasional (Fonseca et al. 2016). Konsep emerging power pun menjadi sebuah rujukan pada kerangka hubungan internasional untuk menandai perubahan dalam hierarki politik serta proses ekonomi. Sebagaimana yang tertera pada Stephen (2017), signifikansi emerging power telah memainkan peran dalam pemunculan tata kelola global yang baru. Negara-negara tersebut justru mengedepankan tujuan untuk mengatasi ketidakseimbangan dalam sistem global yang tercerminkan dalam skema perdagangan.
Namun, Stephen (2017) menambahkan jika pembentukan lembaga-lembaga baru juga dapat berkontribusi terhadap fragmentasi tata kelola global. Hal ini diupayakan oleh negara berkembang untuk menyaingi dominasi negara-negara barat yang memiliki kedudukan yang lebih besar di lembaga global dari pusat kekuasaan yang baru. Sementara itu, negara-negara yang sudah mapan seringkali menggunakan peran istimewa–hak veto di Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) — mereka dalam konteks sistemik (Cooper dan Flemes, 2013). Dengan begitu, satu-satunya solusi yang dikemukakan oleh negara emerging power adalah untuk memaksimalkan bobot angka melalui solidaritas.
Risiko yang ditanggung oleh global governance pada skema ini bukan merujuk pada kekuatan baru yang akan lepas landas ataupun berusaha untuk menggulingkan tatanan yang ada. Namun, bagaimana negara-negara emerging power berupaya untuk memberikan kesempatan yang adil secara terbuka bagi kedua negara maju dan berkembang dalam melakukan proses negosiasi serta bekerja pada suatu institusi tertentu (Stephen, 2017). Hal ini sejalan dengan argumentasi Randall Schweller (2011) pada konsep “Emerging Powers as Supporters.” Di mana, Schweller menekankan pada proses integrasi kekuatan-kekuatan baru pada lembaga internasional yang sudah ada dan konsep “catching up” yang justru mengharuskan negara yang sedang berkembang untuk membagi dua fokusnya terhadap masalah internal dan eksternal negara. Alhasil, muncullah proses difusi kekuasaan yang akan menghasilkan pergerakan sistem secara automatic pilot. Berdasarkan berbagai kontekstualisasi emerging power yang telah disinggung, tulisan ini berupaya untuk menjabarkan beberapa argumentasi jika Indonesia merupakan sebuah negara yang sedang rise sebagai emerging power sejalan dengan proposisi Randall Schweller “Emerging Powers as Supporters” sebagai berikut.
Orientasi Kebijakan Indonesia pada Era Kontemporer
Pada kesempatan kali ini, orientasi kebijakan Indonesia dapat dikategorisasikan menjadi tiga pembagian, yakni (1) ASEAN Centrality; (2) kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD); serta (3) menggencarkan visi Indonesia Emas 2045. Sebagaimana yang tertera pada Nabbs-Keller (2020), Indonesia memainkan peranan yang begitu krusial sepanjang lima dekade sejarah ASEAN. Hal ini merujuk pada bagaimana ASEAN sangat dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri Indonesia yang berlandasan bebas-aktif. Kepemilikan pengaruh yang masif ini kemudian memetakannya posisi Indonesia sebagai salah satu anggota yang aktif perihal kepemimpinan dan lembaganya dalam diplomasi Asia Tenggara. Terlebih juga, Anwar (2019) menjabarkan jika komitmen Indonesia terhadap ASEAN centrality dalam mengelola hubungan dengan kekuatan eksternal dalam arsitektur regional Indo-Pasifik berkembang pesat seiring dengan berjalannya waktu. Artner (2017) menambahkan jika relevansi kedudukan ASEAN di Indo-Pasifik ini mendorong Indonesia untuk menyusun ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP). Oleh sebab itu, hal ini menjadi bukti justifikasi yang kuat untuk kebijakan Indonesia selanjutnya, yakni kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD).
Poros Maritim Dunia (PMD) merupakan sebuah visi dan perpanjangan tangan dari manifesto pra-pemilu yang diprakarsai oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014. Memiliki tujuan untuk menguatkan kembali identitas Indonesia sebagai negara maritim, pilar-pilar perencanaan PMD menyoroti usaha pengembangan kekuatan maritim yang mampu menjaga kedaulatan Indonesia melalui perlindungan perekonomian maritim Indonesia dan memprioritaskan pemberantasan penangkapan ikan ilegal (Sambhi, 2017). Terlebih juga, Sambhi menuturkan jika komitmen ini diperkuat dengan pembentukan posisi Menteri Koordinator Bidang Kelautan dan peningkatan Badan Koordinasi Nasional Keamanan Maritim (BAKAMLA). Visi Jokowi kemudian menjadi lebih nyata ketika ia sadar betapa rentan Indonesia dengan modernisasi militer Cina pada Laut Cina Selatan (LCS) ataupun sejumlah ancaman non-tradisional seperti bencana alam dan perubahan iklim. Menyadari akan tindakan negara-negara revisionis yang ingin mengubah tatanan berbasis aturan yang ada, Indonesia dinyatakan siap untuk menentukan arah masa depan sebagai kekuatan maritim yang bertanggung jawab (Kembara, 2021).
Kritik terbesar yang dilontarkan oleh Supriyanto (2017) adalah bagaimana konsep PMD merupakan gagasan yang setengah matang dan terlalu berfokus pada dimensi ekonomi domestik. Dengan begitu, pada periode kedua pemerintahannya, Presiden Jokowi menggencarkan visi Indonesia Emas 2045. Dilansir melalui situs utama Indonesia2045 (t.t), kebijakan Indonesia Emas 2045 merupakan sebuah target yang ingin dicapai Indonesia ketika Indonesia genap berusia 100 tahun demi mewujudkan “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. Terdapat 5 sasaran visi utama untuk menggapai Indonesia 2045, antara lain (1) pendapatan per-kapita yang setara dengan negara maju; (2) kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang; (3) kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat; (4) daya saing sumber daya manusia meningkat; dan (5) Net Zero Emission. Tentu, target ini tidak akan digapai olehnya tanpa usaha sehingga berikut merupakan pencapaian Indonesia sebagai negara emerging power sebagai berikut.
Pencapaian Indonesia sebagai negara Emerging Power
Argumentasi bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang tengah mengalami rise sebagai emerging power dapat dikategorikan menjadi dua skema yang berbeda, yakni (1) peningkatan ekonomi dan infrastruktur; serta (2) keberhasilan dampak diplomatik Indonesia melalui soft power. Pada konseptualisasi pertama, indikator ekonomi Indonesia dapat merujuk pada penjelasan Anwar (2019), di mana Jokowi menekankan kebijakan luar negeri yang lebih pragmatis dan berorientasi ekonomi. Hal ini kemudian mendesak diplomat-diplomat Indonesia untuk menjadi seorang salesman guna untuk meningkatkan arus masuk investasi asing dan wisatawan serta mengamankan pasar ekspor Indonesia. Terlebih juga, Jokowi pun condong mementingkan penguatan hubungan bilateral bersama mitra-mitra ekonomi untuk mendorong nilai ekspor Indonesia. Pada tahun 2018, pencapaian tersebut membuahkan hasil sebagaimana 72 dari 75% impor Asia berasal dari Indonesia, yang menjadi salah satu landasan kuat bagi peningkatan GDP per kapita sejak masa kepemimpinan Jokowi.
Gambar 1.1. Grafik GDP per kapita 2014–2022 (World Bank 2022)
Dalam kesempatan lain, kegiatan infrastruktur Indonesia berkembang pesat dibawah naungan Presiden Jokowi. Negara (2016) menjabarkan jika Jokowi menitikberatkan empat sektor utama untuk menjadikannya prioritas utama pembangunan negara, yakni (1) sektor maritim; (2) sektor pertanian; (3) infrastruktur jalan dan kereta api; serta (4) pasokan energi. Dalam kategorisasi maritim, Jokowi mengembangkan proyek “tol laut” untuk memperkecil disparitas harga logistik antara wilayah Indonesia bagian barat dan timur. Pada skema pertanian, Jokowi telah meningkatkan anggaran belanja pembangunan infrastruktur di pedesaan melalui dana desa. Dalam bidang infrastruktur jalan raya dan kereta api, investasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan jaringan distribusi produk pertanian dan manufaktur serta meminimalisir biaya logistik yang sangat tinggi. Terakhir adalah pasokan energi, di mana Jokowi menggarisbawahi jika pertumbuhan wilayah Jawa dan Bali akan mengalami peningkatan sehingga ia memprioritas pembangunan pembangkit listrik dengan 35.000 megawatt.
Tahun 2022 menjadi salah satu tahun penting bagi Indonesia terutama pada sektor diplomatik soft power-nya. Sebagaimana yang telah diamanahkan sejak tahun 2021, Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menjadi ketua Group of 20 (G20). G20 merupakan sebuah forum internasional yang berkutat pada koordinasi kebijakan dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Dengan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, presidensi G20 Indonesia menggencarkan upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara secara kolektif dan inklusif untuk mencari solusi pemulihan dunia pasca pandemi COVID-19. Dilansir dari Kementerian Luar Negeri Indonesia (2022), terdapat tiga sektor prioritas yang dikembangkan olehnya, yakni (1) penguatan arsitektur kesehatan global; (2) transformasi digital; dan (3) transisi energi. Signifikansi kehadiran G20 di Indonesia telah menuai berbagai macam manfaat bagi Indonesia, antara lain (1) peningkatan penerimaan devisa negara yang berdampak langsung pada perekonomian Indonesia; (2) pendorongan kerjasama dan menginisiasi hasil konkret dalam upaya memimpin pemulihan global; serta (3) menjadi suatu momentum penting bagi Indonesia untuk showcase UMKM, sektor pariwisata, maupun ekonomi kreatif kepada negara-negara pendatang.
Kompleksitas Tantangan Indonesia sebagai negara Emerging Power
Kemunculan pencapaian tentu diiringi dengan berbagai kompleksitas tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia ketika sedang rise sebagai emerging power. Oleh sebab itu, muncullah tiga isu fundamental yang harus dituntaskan segera jika Indonesia ingin melancarkan strateginya demi menamatkan Indonesia Emas 2045, yakni isu (1) Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA); (2) Ibu Kota Nusantara (IKN); dan (3) Papua Barat. TAPERA merupakan sebuah program tabungan perumahan rakyat yang akhir-akhir ini menjadi isu yang panas akibat pemberitahuan mengenai pemotongan gaji buruh sebesar 2.5% untuk keperluan tabungan TAPERA. Sebagaimana yang dilansir melalui CNN (2024), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) merasa keberatan karena ketiadaan dialog terbuka dengan serikat buruh. Terlebih lagi, pemutusan secara sepihak ini tidak sejalan dengan prinsip musyawarah sehingga menguatkan asumsi para buruh apabila pemotongan gaji hanyalah modus politik demi kepentingan modal dan melanggengkan kekuasaan rezim oligarki.
Selain itu, permasalahan selanjutnya merujuk pada pemberlakuan ibu kota baru Indonesia, Nusantara. Rencana pembangunan IKN menjadi salah satu permasalahan yang hangat karena berbagai kritik, salah satunya adalah penggusuran masyarakat adat. Hal ini diperkeruh dengan pemberian ultimatum pemerintahan kepada masyarakat adat untuk meninggalkan wilayah IKN dalam kurun waktu tujuh hari. Sebagaimana yang dilansir dari UNAIR News (2024), Joeni Arianto Kurniawan, seorang pakar hukum adat UNAIR, berpendapat jika memang terdapat undang-undang yang mengharuskan pemilik tanah untuk melepaskan hak mereka yang lalu membuat masyarakat adat menjadi dalam posisi yang dirugikan. Argumentasi ini diperkuat dengan kepercayaan spiritual masyarakat adat dengan tanah mereka yang tidak dapat diukur secara materiil sehingga pemerintah seharusnya memperhatikan permasalahan ini yang berkaitan dengan pemindahan IKN.
Masih berkaitan dengan tanah adat, permasalahan Papua Barat juga menjadi isu yang dikesampingkan oleh Indonesia. Hal ini menunjukkan minimnya investigasi dugaan pelanggaran HAM yang melanggengkan siklus konflik antara pejuang Papua dan militer Indonesia. Terlebih juga, hal ini mengakibatkan marginalisasi penduduk asli Papua akibat janji palsu yang dikemukakan oleh pemerintah mengenai pengatasan pelanggaran yang dilakukan pascapemerintahan Soeharto. Terdapat pula tuntutan pembagian pendapatan tambang yang tidak adil dari masyarakat Papua Barat yang mengindikasikan pertaruhan pemerintahan Indonesia dalam klaim kedaulatan atas Papua Barat. Meskipun dengan bantuan Amnesty Internasional dalam proses penyuaraan keprihatinan mengenai krisis HAM di wilayah tersebut, laporan mengenai pembunuhan di luar hukum tidak pernah sekalipun disinggung oleh pemerintahan Indonesia (Blades, 2020).
Dengan berbagai macam argumentasi yang telah dikembangkan, Indonesia sudah berada dalam jalur yang benar pada konteks sedang rise sebagai emerging power. Namun, target pemenuhan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 masih terkesan utopis, meskipun usaha yang digencarkan dapat sedikit demi sedikit mengecilkan disparitas yang sebelumnya menjadi permasalahan. Hal ini sejalan dengan konseptualisasi yang dikemukakan oleh Randall Schweller, sebagaimana Indonesia tidak memiliki niat untuk mengganggu status quo. Alih-alih, kegiatan yang digencarkan oleh Indonesia merupakan sebuah proyeksi terhadap bagaimana Indonesia berusaha untuk mempertahankan eksistensinya di tengah kontestasi global, terutama dengan tujuan Indonesia Emas 2045. Dengan begitu, diharapkan jika pemerintahan Prabowo Subianto dapat menutup beberapa flaws yang dimiliki oleh pemerintahan Jokowi ketika hendak mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Referensi:
Anwar, D., 2019. Indonesia’s regional foreign policy after the 2019 election. National Bureau of Asian Research, 14(4), pp.72–78.
Anwar, D., 2019. Regional security outlook: More continuity than change in Indonesia’s security posture. Council for Security Cooperation in the Asia Pacific.
Artner, A., 2017. Role of Indonesia in the evolution of ASEAN. The Journal of East Asian Affairs, 31(1), pp.1–38.
Blades, J., 2020. West Papua: The issue that won’t go away for Melanesia. Lowly Institute for International Policy.
Cooper, A.F. and Flemes, D., 2013. Foreign policy strategies of emerging powers in a multipolar world: An introductory review. Third World Quarterly, 34(6), pp.943–962.
CNN 2024, ‘Saat buruh-pengusaha satu suara kritik TAPERA’, CNN, 29 May, viewed 24 June 2024, (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240529071917-92-1103131/saat-buruh-pengusaha-satu-suara-kritik-tapera).
Fonseca, et.al., 2016. The concept of emerging power in international politics and economy. Brazilian Journal of Political Economy, 36(1), pp.46–69.
Indonesia2045 n.d., Indonesia Emas 2045: Rancangan akhir RPJPN 2025–2045. Indonesia2045, viewed 23 June 2024, (https://indonesia2045.go.id/).
Kembara, G., 2021. Indonesia’s regional security outlook 2021: Indonesia as a responsible maritime power. Council for Security Cooperation in the Asia Pacific.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia 2022, Indonesia usung semangat pulih bersama dalam presidensi G20 tahun 2022, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, viewed 15 June 2024, (https://kemlu.go.id/portal/id/read/3288/berita/presidensi-g20-indonesia).
Nabbs-Keller, G., 2020. Centrality and Indonesian leadership in a contested Indo-Pacific order. Institute for Regional Security, 16(3), pp.21–26.
Negara, S., 2016. Indonesia’s infrastructure development under the Jokowi administration. ISEAS — Yusof Ishak Institute, pp.145–166.
Sambhi, N., 2017. Indonesia’s naval and coast guard upgrades and Jokowi’s global maritime fulcrum. Center for Strategic and International Studies.
Schweller, R., 2011. Emerging powers in an age of disorder. Global Governance: A Review of Multilateralism and International Organizations.
Stephen, M., 2017. Emerging powers and emerging trends in global governance. Global Governance: A Review of Multilateralism and International Organizations.
Supriyanto, R., 2017. The Indian Ocean and Indonesia’s global maritime fulcrum: Relevance to ASEAN. School of International Studies.
Maulina, S 2024, ‘Pakar hukum UNAIR kritik penggusuran masyarakat adat di IKN’, UNAIR News, 18 March, viewed 24 June 2024, (https://unair.ac.id/pakar-hukum-unair-kritik-penggusuran-masyarakat-adat-di-ikn/).
World Bank 2022, GDP per capita growth (annual %) — Indonesia, viewed 15 June 2024, (https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.KD.ZG?end=2022&locations=ID&start=2014).