[Artikel Ilmiah] Asesmen Kebijakan Vaksin Berbayar: Apakah Tepat dan Efektif
dalam Usaha
Mitigasi Pandemi Covid-19?

FPCI Airlangga
12 min readJul 31, 2021

--

Fauzan Raihan Amru — FPCI Chapter Universitas Airlangga

Maruli Goknitua Hutajulu — FPCI Chapter Universitas Airlangga

Philipus Mikhael P. Nugraha — FPCI Chapter Universitas Airlangga

Latar Belakang

Penyebaran Virus Covid-19 pada akhir-akhir ini semakin meningkat, terutama melalui kemunculan varian Covid-19 Delta, mendorong tingkat penyebaran pandemi secara signifikan. Berbagai usaha pemerintah di dunia dalam mengendalikan penyebaran virus ini mendorong pengembangan dan penyebaran vaksin Covid-19 kepada masyarakatnya sebagai usaha dalam mengendalikan arus penyebaran Covid-19, termasuk di Indonesia. Usaha Indonesia dalam mengupayakan vaksin sendiri dapat terlihat dari pengembangan vaksin buatan Indonesia dengan perguruan tinggi seperti Universitas Padjajaran dan Universitas Airlangga. Dari dorongan tersebut, Indonesia sendiri juga sedang berusaha mengembangkan vaksin merah putih buatan pemerintah yang bekerja sama dengan Lembaga Eijkman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan universitas-universitas yang telah disebutkan sesuai dengan pidato Presiden Jokowi pada 11 Agustus 2020 di Bandung (Sekretaris Kabinet Republik Indonesia 2020).Hingga sekarang, perkembangan vaksin merah putih berada di tahap peralihan ke industri dan pengupayaan ini menjadi salah satu langkah untuk memproduksi massal vaksin dari Indonesia tersebut.

Namun pada akhir tahun 2020, pemerintah mulai beralih dalam kebijakan untuk mengimpor vaksin dari negara yang memiliki vaksin mutakhir untuk digunakan di Indonesia. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pemerintah telah berusaha untuk mengimpor berbagai jenis vaksin dari luar negeri seperti Sinovac, Novavax, AstraZeneca, Pfizer, dan Covax dimana kelima jenis vaksin tersebut memiliki total pesanan lebih dari 300 juta dosis dengan potensi tambahan 300 juta dosis lagi (Yulia 2021). Selain mengimpor, Indonesia turut menerima berbagai bentuk sumbangan vaksin dari negara-negara di dunia. Berdasarkan pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 15 Juli 2021, Indonesia akan kedatangan 1,5 juta dosis vaksin Moderna dari AS dan sumbangan vaksin lainnya seperti vaksin Covax sebayak 4,5 juta dosis dari AS dan 2 juta dosis vaksin AstraZeneca dari Jepang (Dikarma 2021). Selain itu, kebijakan lainnya dari pemerintah dalam usaha vaksinasi masyarakat Indonesia dapat dilihat dari kebijakan Vaksin Gotong Royong (VGR) di mana program ini ditujukan kepada para pekerja beserta keluarganya dan individu lain yang terkait dengan orang tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021.

Prioritas vaksinasi Indonesia ini memperhatikan dinamika pandemi dalam kondisi tertentu. Kebijakan pemerintah dalam awal penggunaan vaksin terhadap para tenaga kesehatan (nakes) sebagai salah satu garda terdepan dalam penanganan pandemi Covid-19 dan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan menjadi kelompok prioritas dalam penerimaan Vaksin Covid-19. Para tenaga kesehatan sendiri diberikan vaksin Sinovac sebagai salah satu vaksin pertama yang diterima oleh pemerintah Indonesia. Selain nakes (tenaga kesehatan), para lansia turut menjadi fokus utama yang mana merupakan kelompok prioritas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2021) dan selanjutnya vaksin di Indonesia sendiri mulai diberikan kepada masyarakat umum dengan berbagai macam jenis vaksin. Namun berdasarkan data dari Our World in Data, tingkat vaksinasi Indonesia sendiri secara total hanya 15% saja di mana hal ini menempatkan Indonesia kedalam urutan 24 di dunia sebagai negara yang paling banyak memvaksinasi masyarakatnya dan di bawah dari rata-rata dunia yaitu secara total masyarakat yang telah divaksinasi sekitar 26.8% (Mathieu et al. 2021). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih jauh dari kata sukses dalam memvaksinasi masyarakatnya dan mencapai herd immunity.

Ketidakpercayaan Publik dan Vaksin Berbayar

Program vaksinasi Indonesia dapat dikatakan jauh dari sempurna dan cenderung menunjukkan berbagai ambiguitas dan inkonsistensi dalam pola alur implementasinya. Dinamika program vaksinasi Indonesia ini kemudian banyak menuai kritik publik, khususnya dalam pelaksanaan program VGR. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021, golongan yang termasuk pada program VGR meliputi pekerja badan hukum atau usaha dan keluarganya, masyarakat di sekitar lokasi kegiatan badan hukum atau usaha, dan warga negara asing yang bekerja dalam badan hukum atau usaha. Program VGR direncanakan akan menggunakan vaksin Sinopharm dan CanSino yang akan didistribusikan oleh BUMN Bio Farma dan dapat bekerjasama dengan pihak ketiga berupa pedagang besar farmasi dan holding atau perusahaan induk BUMN yang terkait dengan farmasi (Biofarma 2021). Hal ini cenderung menimbulkan persepsi akan ruang oportunitas dalam pemanfaatan vaksin sebagai objek yang dapat dikapitalisasi oleh perusahaan yang terlibat, khususnya dengan sifat program VGR yang difokuskan pada masyarakat kelas menengah ke atas. Hal ini ditunjukkan dengan pembentukkan VGR yang diinisiasi oleh Kamar Dagang Indonesia, dan atas hasil forum 100 CEO korporat pada bulan Februari 2021, untuk melakukan inisiatif Vaksin Mandiri dengan mengimpor dan membeli vaksin asing sendiri. Program tersebut beralih menjadi VGR yang cenderung menjadi ironis dengan sifatnya yang menyediakan oportunitas yang lebih baik bagi kalangan atas dan ‘meninggalkan’ komunitas kalangan yang tidak memiliki privilege yang sama (O’Rourke 2021). Persepsi yang berkembang tersebut dipahami terus memperkuat ketidakpercayaan publik terhadap program vaksinasi Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo.

Kontroversi akan program VGR ini semakin diperparah melalui kemunculan wacana untuk melakukan vaksinasi berbayar, yang mana dipahami tidak selaras dengan pernyataan jaminan Presiden Joko Widodo untuk menjamin aksesi vaksin bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan oleh Presiden Joko Widodo: “Setelah menerima banyak masukan dari masyarakat dan setelah melakukan kalkulasi ulang, melakukan perhitungan ulang mengenai keuangan negara, dapat saya sampaikan bahwa vaksin COVID-19 untuk masyarakat adalah gratis” pada 16 Desember 2020 (Taher 2020). Program VGR yang diinisiasi kuat oleh kepentingan Kamar Dagang Indonesia dipahami turut didukung oleh Kementerian Kesehatan dan BUMN, Bio Farma yang mana menimbulkan persepsi bahwa yang kaya mendapatkan perawatan khusus daripada yang miskin oleh pemerintah, yang mana secara tidak langsung turut memengaruhi reputasi Joko Widodo (O’Rourke 2021). Di samping itu, sentimen anti-vaksin di Indonesia turut menjadi faktor determinan dalam dinamika kebijakan vaksinasi di Indonesia, terutama dengan latar belakang sosio-kultural yang berkembang. Model distribusi vaksin secara kolaboratif oleh sektor publik dan swasta yang dilakukan melalui The Vaccine Alliance (GAVI), Bank Dunia, Bill & Melinda Gates Foundation, dan WHO cenderung menyediakan ruang untuk kepentingan bisnis dan terlibat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. GAVI melalui COVAX sebagai usaha untuk distribusi vaksin lebih merata turut memiliki kekurangan dengan persepsi yang berkembang dimana keberpihakan kepentingan industri cenderung lebih ditekankan ketika meminta negara-negara menengah kebawah untuk berkontribusi dan membiayai vaksin daripada menurunkan harga vaksin (Pertiwi 2021). Dinamika yang berkembang tersebut dinilai diperparah dengan kemunculan wacana akan vaksin berbayar yang menuai kritik pada bulan Juli 2021 ini.

Kemunculan wacana program vaksinasi berbayar dalam VGR cenderung kontraproduktif, terutama dengan kondisi masyarakat yang cenderung memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah di masa pandemi. Hal ini digambarkan melalui persepsi akan inkonsistensi pemerintah terkait dengan penanganan Covid-19, tidak eksklusif pada kebijakan vaksin, yang mana secara umum menghasilkan reaksi negatif terhadap kinerja pemerintahan. Tercatat hanya 43% masyarakat Indonesia percaya kepada Joko Widodo dalam penanganan pandemi pada bulan Juni 2021 dengan tren yang terus menurun dari bulan-bulan sebelumnya (Lembaga Survei Indonesia 2021). Polemik akan penanganan vaksinasi terus diperparah
dengan wacana untuk vaksin berbayar yang dilakukan melalui jasa klinik Kimia Farma dalam program VGR. Dengan patokan harga per dosis sebesar 321 ribu Rupiah ditambah dengan biaya layanan sebesar 117 ribu Rupiah, pemerintah dinilai gagal dalam memenuhi janji yang dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo sebelumnya. Dengan berbagai inkonsistensi dan perubahan kebijakan yang dinamis, pemerintah pada awalnya memperbolehkan vaksin berbayar yang dibeli secara perorangan dengan dalih untuk percepatan kekebalan komunal atau herd immunity, terutama melalui tekanan dari Kamar Dagang Indonesia dan pengusaha di Indonesia (CNN Indonesia 2021). Inkonsistensi tersebut terlihat dengan perubahan Permenkes Nomor 19 Tahun 2021 yang menyetujui dan mengatur akan vaksinasi berbayar yang mana bertolak belakang dari Permenkes Nomor 10 Tahun 2021 yang melarang akan adanya vaksinasi berbayar. Definisi dari VGR turut diperluas dengan memasukkan vaksin secara berbayar, hal ini mendorong kritik keras yang berujung pada penundaan VGR individu oleh PT Kimia Farma Tbk pada tanggal 12 Juli 2021 (Farisa 2021). Melalui tekanan yang kuat, Presiden Joko Widodo setidaknya memutuskan untuk membatalkan vaksin berbayar bagi individu pada 16 Juli 2021 yang direncanakan akan disalurkan melalui Kimia Farma, menekankan bahwa vaksinasi akan tetap dilakukan dengan mekanisme yang digratiskan. Namun, program VGR tetap dilakukan melalui perusahaan yang mana akan menanggung seluruh biaya vaksinasi bagi karyawannya (Adyatama 2021). Kemunculan akan wacana untuk melakukan vaksinasi secara berbayar setidaknya menimbulkan pertanyaan akan bagaimana program vaksinasi di luar negeri terkait dengan aksesi kebijakan vaksinasi secara berbayar maupun disubsidi.

Kepentingan Negara, Privatisasi Vaksin, dan Implikasinya dalam Manajemen Pandemi

Kepentingan masing-masing pemerintahan di berbagai negara dalam melakukan manajemen pandemi Covid-19 dipahami menjadi suatu tantangan dalam memunculkan uniformitas kebijakan, salah satunya adalah dalam aspek program vaksinasi. Menimbang pencapaian vaksinasi negara-negara di dunia dengan rekam jejaknya yang berbeda-beda, tulisan ini akan membahas beberapa kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan vaksinasi dari beberapa negara di dunia meliputi Britania Raya dan India. Kebijakan vaksinasi dan respon terhadap pandemi Covid-19 yang dilakukan di Britania Raya dapat dipahami cukup elaboratif dan akomodatif terhadap kebutuhan masyarakatnya dan menjamin aliran sirkulasi vaksin terus berlangsung untuk memenuhi target vaksinasi dua dosis per orang, terutama melalui vaksin Pfizer, Oxford-AstraZeneca, Johnson & Johnson, dan vaksin impor lainnya (Sample 2021). Pemerintahan Inggris di bawah Boris Johnson turut menekankan pada pembentukkan “Paspor Covid” yang mengindikasikan seseorang telah divaksinasi penuh. Britania Raya mengembangkan sistem paspor tersebut sejak tanggal 17 Mei 2021 dalam bentuk kode QR, surat kertas, hingga aplikasi yang mampu memberikan izin bagi setiap orang yang telah tervaksinasi untuk menjalani hidup mereka ‘lebih’ normal kembali (Department of Health and Social Care 2021 dalam Hodgkin, et al. 2021). Kontrol, manajemen vaksinasi yang efektif dan kemampuan untuk menjamin ketersediaan vaksin dipahami menjadi bentuk prioritas tindakan yang perlu ditekankan untuk menjamin stabilitas yang efektif di masa pandemi.

India dapat dipahami memiliki ambisi dan visi program vaksinasi terbesar di dunia oleh karena populasinya yang masif, namun dalam prakteknya di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi baru sanggup memvaksin penuh sebesar 6% dari keseluruhan populasi India (Our World in Data 2021). Pengembangan program vaksinasi di India dinilai turut didukung dengan produksi vaksin domestik berlisensi bersamaan dengan suplai impor seperti AstraZeneca, Sputnik V, dan ZyCov-Di. Vaksin seperti Covishield dari lisensi AstraZeneca dan Covaxin sebagai vaksin lokal yang diproduksi oleh Bharat Biotech bersamaan dengan Sputnik V menjadi vaksin utama bagi masyarakat India dan cenderung mengalami ancaman akan kehabisan stok pada dalam waktu dekat (Alavi 2021). Dalam prakteknya, pemerintahan India cenderung menempuh tindakan yang terpusat dalam mendistribusikan vaksin dengan perencanaan 75% vaksin yang diproduksi secara domestik akan terbebas dari biaya dan 25% akan didistribusikan ke klinik-klinik swasta dengan biaya yang telah disubsidi sebelumnya (Explained Desk 2021).

Keputusan dan tindakan dalam melakukan privatisasi, setidaknya memberikan kuota tertentu untuk diprivatisasikan, dipahami sebagai keputusan yang fatal bagi India. Dengan performa vaksinasi India yang rendah dalam kesanggupannya untuk memvaksinasi 9,6% populasinya,
dibandingkan dengan performa Britania Raya sebesar 51,8% populasinya tercatat pada bulan Juni 2021. Berbagai faktor dipahami berkontribusi dalam problematika distribusi vaksin di India, namun salah satu fakta yang paling krusial adalah kebijakan yang mengizinkan privatisasi suntikan vaksin di tengah kondisi demografi India yang banyak berada dalam tingkat kalangan miskin. Pemerintah cenderung memberikan kebebasan terhadap produsen
vaksin untuk menentukan harga vaksin yang dijual (Ramakumar 2021). Ketersediaan ruang kuota untuk privatisasi vaksin oleh rumah sakit privat secara agresif menentukan harga yang ‘tidak wajar’ sebesar 1.600 Rupee hingga 4.000 Rupee dengan harga vaksin yang asli hanya sebesar 600 Rupee (The Hindu 2021). Potensi untuk kapitalisasi tersebut cenderung menunjukkan tindakan predatoris dalam dinamika penanganan pandemi, terutama dalam konteks aksesi vaksin yang setara terhadap seluruh penduduk suatu negara dan sifat vaksin sebagai global public goods. Melalui kasus di India, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang berkontribusi dalam tren yang melambat dan terhambatnya distribusi vaksin yang setara
meliputi, (1) India cenderung membatasi persetujuan darurat vaksin terhadap Covishield dan Covaxin yang mana diproduksi secara domestik mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik, meskipun tidak memiliki dasar yang jelas; (2) Bisnis vaksin merupakan bisnis yang berisiko dengan kebutuhan investasi yang tinggi dan India cenderung gagal untuk memberikan investasi yang tinggi; dan (3) India cenderung gagal untuk melakukan pembelian kedepan untuk kuantitas vaksin yang mencukupi (Ramakumar 2021).

Kebijakan privatisasi vaksin, terutama di tengah pandemi berskala global, dipahamimerupakan hal yang cenderung tidak sesuai dan etis dengan standar konsensus internasional untuk mengatasi suatu pandemi. Hal tersebut tidak terkecuali dengan Indonesia dan wacana yang sempat terbentuk atas vaksin berbayar, meskipun berada dalam kendali BUMN. Hal ini dapat dipahami dengan sifat vaksin sebagai global public goods yang mana ditekankan pada resolusi UN General Assembly (UNGA) yang memasukkan vaksin sebagai global public goods melalui konsep bahwa “peran imunisasi ekstensif dalam melawan Covid-19 sebagai barang
public global bagi kesehatan untuk mencegah, membatasi, dan menghentikan transmisi untuk mengakhiri pandemi secara efektif, berkualitas, efisien, aksesibel, dan ketersediaan vaksin yang mudah diperoleh…” (Ridlo 2021). Di tengah kondisi pandemi dan tren yang terus meningkat, program VGR yang menghadirkan opsi untuk vaksin berbayar hanya akan bersifat kontraproduktif dalam usaha mitigasi secara efektif. Wacana tersebut dikritik keras oleh WHO, meskipun Kementerian Kesehatan Indonesia sebelumnya menekankan bahwa program VGR dengan vaksinasi privat diyakini akan mempercepat tujuan nasional untuk mencapai herd immunity yang mana didanai oleh entitas legal maupun bisnis pada bulan Maret 2021 (Nugraha 2021). Namun, hal ini cenderung dikritik oleh WHO, terutama pada
masa isu vaksin berbayar mulai menimbulkan kontroversi yang kuat di kalangan masyarakat. Dr. Ann Lindstrand sebagai Kepala Program Esensial Imunisasi WHO menyatakan bahwa mekanisme untuk vaksin berbayar di tengah pandemi akan menciptakan problematika etis dan mengerucutkan akses masyarakat terhadap vaksin pada tanggal 16 Juli 2021 (IDN Financials 2021). Komplikasi terhadap aksesi yang mana akan terbentuk melalui vaksinasi berbayar dalam program VGR justru hanya akan memperkuat disparitas masyarakat untuk memperoleh vaksin, meskipun pemerintahan menekankan bahwa hal tersebut merupakan salah satu opsi. Dengan refleksi vaksinasi berbayar yang dilakukan di India, wacana vaksinasi berbayar dapat dinilai tidak tepat dan sesuai baik secara etis, kondisi, maupun hasil yang akan dituju dengan kebutuhan masyarakat umum untuk aksesi yang setara baik masyarakat kalangan atas maupun bawah.

Kesimpulan

Keputusan Joko Widodo dalam membatalkan keberlanjutan program vaksin berbayar dapat dinilai sebagai tindakan yang tepat dengan dinamika pandemi yang berlangsung. Privatisasi vaksin, terutama dalam hal vaksin berbayar dalam skema VGR, dinilai hanya memberikan hasil yang kontraproduktif dalam pencapaian mitigasi Covid-19. Dengan skema VGR yang cenderung berfokus pada kalangan masyarakat menengah ke atas justru meminimalisir opsi vaksinasi bagi kalangan menengah kebawah, yang mana cenderung lebih terlibat di lapangan secara intensif dan dipahami memiliki posisi yang lebih ‘riskan’. Pemerintah pada dasarnya perlu memberikan jaminan aksesi yang setara dan menghindari tindakan untuk kapitalisasi produk-produk yang berkaitan dengan usaha manajemen pandemi, terlebih vaksin yang mana merupakan salah satu global public goods, untuk menghindari sifat predatoris dalam memperoleh keuntungan di masa sulit. Maka dari itu, vaksin berbayar di era pandemi global cenderung merupakan wacana yang justru memperkuat disparitas dalam kemudahan akses vaksin dan berdampak negatif dalam usaha penanganan pandemi baik dari skala nasional maupun global.

Referensi:

Adyatama, Egi, 2021. “Breaking News: Jokowi Batalkan Vaksin Berbayar” [daring]. Tersedia dalam https://nasional.tempo.co/read/1484034/breaking-news-jokowi-batalkan-vaksinberbayar/full&view=ok [Diakses pada 23 Juli 2021].

Alavi, Mariyam, 2021. “India’s Vaccination Pace Unlikely to Pick Up In July, Centre’s Data Shows” [daring]. Tersedia dalam https://www.ndtv.com/india-news/indias-vaccination-paceunlikely-to-pick-up-in-july-centres-data-shows-2474189?pfrom=home-ndtv_bigstory [Diakses pada 23 Juli 2021].

Biofarma, 2021. “Indonesia Mulai Menjalankan Program Vaksinasi Gotong Royong” [daring]. Tersedia dalam https://www.biofarma.co.id/id/berita-terbaru/detail/indonesia-mulaimenjalankan-program-vaksinasi-gotong-royong [Diakses pada 23 Juli 2021].

CNN Indonesia, 2021. “Janji Vaksin Gratis dari Jokowi, Berbayar Dieksekusi Menkes” [daring]. Tersedia dalam https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210714074445-20-667346/janji-vaksin-gratis-dari-jokowi-berbayar-dieksekusi-menkes [Diakses pada 23 Juli 2021].

Dikarma, Kamran, 2021. “Indonesia Kembali Terima 1,5 Juta Dosis Vaksin Sumbangan AS”
[daring]. Tersedia dalam https://www.republika.co.id/berita/qwacmv377/indonesiakembali-terima-15-juta-dosis-vaksin-sumbangan-as [Diakses pada 23 Juli 2021].

Explained Desk, 2021. “India’s new Covid-19 vaccination policy: A Quixplained” [daring]. Tersedia
dalam https://indianexpress.com/article/explained/india-covid-vaccination-policyquixplained-7355731/ [Diakses pada 23 Juli 2021].

Farisa, Fitria C., 2021. “Jokowi Dinilai Inkonsisten soal Vaksin Covid-19 Berbayar, Ini Kata KSP” [daring]. Tersedia dalam https://nasional.kompas.com/read/2021/07/13/15060481/jokowidinilai-inkonsisten-soal-vaksin-covid-19-berbayar-ini-kata-ksp?page=all [Diakses pada 23 Juli 2021].

Farisa, Fitria C., 2021. “Jokowi Dinilai Inkonsisten soal Vaksin Covid-19 Berbayar, Ini Kata KSP” [daring]. Tersedia dalam https://nasional.kompas.com/read/2021/07/13/15060481/jokowidinilai-inkonsisten-soal-vaksin-covid-19-berbayar-ini-kata-ksp?page=all [Diakses pada 23 Juli 2021].

Hodgkin, Rosa, Catherine Haddon, dan Tom Sasse, 2021. “Covid Passports” [daring]. Tersedia dalam https://www.instituteforgovernment.org.uk/explainers/vaccine-passports [Diakses pada 20 Juli 2021].

IDN Financials, 2021. “WHO criticizes paid Covid-19 vaccination in Indonesia” [daring]. Tersedia dalam https://www.idnfinancials.com/news/39818/criticizes-paid-covid-vaccinationindonesia [Diakses pada 24 Juli 2021].

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Jakarta: Permenkes RI.

Lembaga Survei Indonesia, 2021. “LSI: Kepercayaan Publik terhadap Jokowi dalam Tangani Covid- 19 Menurun” [daring]. Tersedia dalam https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/19/lsi-kepercayaan-publik-terhadap-jokowi-dalam-tangani-covid-19-menurun [Diakses pada 23 Juli 2021].

Mathieu, Edouard, et al., 2021. “A Global Database of COVID-19 Vaccinations”, Nature Human
Behaviour, 5:947–53.

Nugraha, Ricky M., 2021. “Private Vaccination; Health Ministry Address Criticism from Experts” [daring]. Tersedia dalam https://en.tempo.co/read/1437883/private-vaccination-healthministry-address-criticism-from-experts [Diakses pada 24 Juli 2021].

O’Rourke, Kevin, 2021. “The Trouble with Indonesia’s Dual-Track Vaccination Scheme” [daring]. Tersedia dalam https://thediplomat.com/2021/03/the-trouble-with-indonesias-dual-trackvaccination-scheme/ [Diakses pada 23 Juli 2021].

Our World in Data, 2021. “Statistics and Research: Coronavirus (COVID-19) Vaccinations” [daring]. Tersedia dalam https://ourworldindata.org/covid-vaccinations?country=OWID_WRL[Diakses pada 23 Juli 2021].

Pertiwi, Sukmawani B., 2021. “Menjawab masalah struktural di balik penolakan vaksin COVID-19 di seluruh dunia dan Indonesia” [daring]. Tersedia dalam https://theconversation.com/menjawab-masalah-struktural-di-balik-penolakan-vaksincovid-19-di-seluruh-dunia-dan-indonesia-155571 [Diakses pada 23 Juli 2021].

Ramakumar, R., 2021. “Paid Vaccines Are a Sign That the Modi Government Has Relinquished the Duties of a Welfare State” [daring]. tersedia dalam https://qz.com/india/2016353/paidcovid-19-vaccines-go-against-indias-welfare-state-duties/ [Diakses pada 24 Juli 2021].

Ridlo, Ilham A., 2021. “Are Vaccines a Global Public Good?” [daring]. Tersedia dalam https://fkm.unair.ac.id/are-vaccines-a-global-public-good/ [Diakses pada 24 Juli 2021].

Sample, Ian, 2021. “What Covid vaccines does the UK have and which are in the works?” [daring].
Tersedia dalam https://www.theguardian.com/society/2021/apr/26/what-covid-vaccinesdoes-uk-have-valneva [Diakses pada 20 Juli 2021].

Sample, Ian, 2021. “What Covid vaccines does the UK have and which are in the works?” [daring]. Tersedia dalam https://www.theguardian.com/society/2021/apr/26/what-covid-vaccinesdoes-uk-have-valneva [Diakses pada 20 Juli 2021].

Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, 2020. “Peninjauan Pelaksanaan Uji Klinis Tahap III Vaksin Covid 19 11 Agustus 2020 di Gedung Eyckman Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung” [daring]. Tersedia dalam https://kemlu.go.id/portal/id/read/1591/pidato/peninjauan-pelaksanaan-uji-klinis-tahapiii-vaksin-covid-19-11-agustus-2020di-gedung-eyckman-fakultas-kedokteran-universitaspadjadjaran-bandung [Diakses pada 23 Juli 2021].

Taher, Andrian Pratama, 2020. “Presiden Jokowi Putuskan Vaksin COVID-19 Gratis bagi Masyarakat” [daring]. Tersedia dalam https://tirto.id/presiden-jokowi-putuskan-vaksincovid-19-gratis-bagi-masyarakat-f8ew [Diakses pada 30 Juli 2021].

The Hindu, 2021. “Government Caps Prices Of COVID-19 Vaccines at Private Hospitals” [daring]. Tersedia dalam https://www.thehindu.com/news/national/high-cost-of-vaccination-atprivate-hospitals-unacceptable-paul/article34763106.ece [Diakses pada 24 Juli 2021].

Yulia, Shanty, 2021. “Vaksin Covid-19 Untuk Indonesia” [daring]. Tersedia dalam https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/vaksin-covid-19-untukindonesia [Diakses pada 23 Juli 2021].

--

--

FPCI Airlangga
FPCI Airlangga

Written by FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.

No responses yet