[Artikel Saintifik] Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang: Studi Kasus Konflik Rusia-Ukraina
Azis Rajendra, Philipus M. P. Nugroho, Amanda Devi, & Leony Avelince
FPCI Airlangga
Security matters in international relations. Menurut Williams & McDonald (2018), konsep keamanan lazimnya didefinisikan sebagai absennya unsur ketidakamanan, dengan kata lain, pengangkatan sumber ancaman terhadap nilai-nilai yang dilindungi. Studi keamanan mempunyai research program yang meliputi ‘apa, siapa, apa yang termasuk, dan bagaimana keamanan tersebut dapat dicapai’. Ketika Perang Dingin berakhir, studi keamanan mengalami tren perluasan menjadi lebih emansipatoris, utamanya terkait objek keamanan, dari referensi state/national security menjadi human/universal security; dari agenda yang sebelumnya hanya berfokus pada military/hard-power menjadi bersifat inklusif oleh inkorporasi berbagai diskursus, salah satunya adalah keamanan gender (Williams & McDonald, 2018). Dalam perspektif feminis, gender sebagai konstruksi dan struktur sosial, serta nilai (maskulin atau feminin) dan relasi kuasa yang diasosiasikan dengannya diperlakukan sebagai lensa; yakni dengan menjadikan gender sebagai variabel yang utama dalam menjelaskan fenomena keamanan internasional (Sjoberg, 2010; Whitworth, 2018). Feminis berpandangan bahwa hubungan internasional dan isu keamanan tidak bersifat gender-neutral; bahwa peperangan dialami secara berbeda oleh pria dan perempuan, termasuk dalam kasus Perang Rusia-Ukraina (O’brien & Quenivet, 2022).
Menurut Gottschall (2004) kekerasan berbasis gender termasuk pemerkosaan bersifat indiskriminatif (tidak pandang bulu), tetapi terdapat bukti yang kuat bahwa terjadinya konflik/instabilitas meningkatkan kemungkinan bagi perempuan terhadap pengalaman kekerasan berbasis gender. Hal yang sering terjadi adalah ketika pria mengangkat senjata dan pergi berperang, perempuan diobjektifikasi sebagai ‘rampasan perang’, misalnya dalam kasus wartime-rape dalam konflik Yugoslavia dan Rwanda. Pemerkosaan telah terinstitusionalisasi dalam peperangan sebagai senjata sekaligus rekreasi, terjadi secara masif dan sistemik, untuk menyebarkan teror dan mengakibatkan ketundukan bagi kolektif selain individu (Brownmiller, 1995). Dengan latar tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang: (1) bagaimana gender sebagai variabel ditempatkan dan diperlakukan dalam diskursus studi keamanan internasional; dan (2) apakah tindakan/operasi kekerasan yang berbasis gender (utamanya, kasus pemerkosaan) bersifat sistemik dan bernilai strategis atau yang sebaliknya — bersifat kebetulan/pelampiasan dan merepresentasikan kelalaian dalam invasi Rusia ke Ukraina.
Pengkajian terhadap fenomena yang berskala besar dan kompleks seperti kasus pemerkosaan dalam peperangan membutuhkan pendekatan yang lebih bersifat plural (eclectic), dua di antaranya yang paling dominan adalah pendekatan sosiokultural (motif misoginis) dan pendekatan biososial (motif naluri berkaitan berahi). Demikian, menurut Gottschall (2004), sintesis dari dua pendekatan tersebut menunjukan tren-tren bahwa (1) pemerkosaan dalam peperangan ternyata bersifat fungsional selain insidental, karena melibatkan dan ditujukan pada populasi daripada individu; (2) selain fenomena seksual, hal ini menunjukkan manifestasi dari power, strategi, dan kekerasan; dan (3) terdapat kontribusi kedua faktor, walaupun faktor sosiokultural (misoginis/dominasi/humiliasi) cenderung dominan dibandingkan faktor biososial (libido). Selanjutnya, berdasarkan proposisi pressure cooker theory, layaknya ‘panci bertekanan’, kondisi peperangan mengakibatkan meningkatnya insting pria terkait agresivitas seksualnya. Pemerkosaan selama peperangan merupakan satu di antara sekian sarana untuk mendominasi, mempermalukan, bahkan mengontrol individu dan populasi dari musuh; demikian, berdimensi militer strategis dan sentimen misoginis (Brownmiller, 1995).
Perkosaan dan Kekerasan Seksual sebagai Alat Senjata Perang
Senjata dipahami sebagai segala benda yang mampu digunakan untuk menciptakan luka atau kerusakan. Sebagai objek, senjata bisa dikonstruksi tidak memiliki nilai atau bebas nilai-sebatas benda yang tidak berbahaya kecuali digunakan oleh orang yang salah. Konstruksi orang yang “salah” lantas menjadi kurang relevan dalam perang, karena antara sisi yang berlawanan akan saling menyalahkan, atau persepsi pihak bersalah hanya bermanfaat dalam konteks strategis. Faktor psikologis yang melingkupi senjata perang, mendorong peneliti dan praktisi untuk mempertanyakan batasan suatu alat (misalkan pedang atau senapan) sanggup disebut senjata, atau bahkan dalam artikel ini, aksi kekerasan seksual tertentu juga bisa disebut demikian. Disuplai pemahaman ini, sekaligus tujuan penelitian ini, memperjelas konsep perang, senjata perang (weapon of war), serta letak insepsi kekerasan seksual sebagai senjata perang atau dalam masa perang.
Clausewitz (1832 dalam Vasquez & Henehan 2010) menawarkan pemikirannya bahwa perang sebatas melanjutkan politik atau rencana berbasis kekerasan dengan tujuan memaksa musuh mengikuti kepentingan penggalaknya. Alhasil, secara rasional, tindakan tersebut memerlukan alat pendukung selayaknya dukungan publik, tentara yang siap dimobilisasi, hingga strategi pemasti terlaksananya kepentingan. Tidaklah sampai pertengahan abad ke-20 bahwa pendefinisian senjata masih sebatas dipahami sebagai objek, bukan metode atau aksi tertentu. Di sisi lain, metode atau perlakuan kekerasan (conduct of hostilities) merujuk ke cara “senjata,” aksi, atau hal-hal lainnya dipergunakan untuk melemahkan lawan (ICRC t. t.). Pemersenjataan (weaponization) lantas menjadi metode yang ‘mengonstruksi aksi tertentu sebagai senjata’ demi kepentingan perang. Menjadikan pemerkosaan sebagai metode kekerasan dalam perang berdasarkan dampak kerusakannya terhadap jaringan sosial komunitas dirasa secara empiris murah dan sangat efektif mengusir populasi sipil (Thomas & Ralph 1994).
Strategi perang
Strategi merujuk kepada segala upaya aktor untuk mengejawantahkan kepentingannya melalui pemanfaatan teori hingga penggunaan ancaman terkonsolidasi, yang memperhatikan dimensi efektivitas operasional dan war proper — perencanaan, konsolidasi, dan respons serangan balik yang sesuai (Gray 1999; Porter 1996). Melalui definisi tersebut, strategi sanggup dikatakan sebagai istilah payung yang intinya mencakup “cara sukses.” Namun, strategi juga harus secara spesifik ke takaran tertentu. Dalam konteks perang, strategi melibatkan identifikasi musuh atau tujuan sang stratejis, persiapan sumber daya juga pasukan, hingga pedoman yang sanggup diikuti seluruh jajaran pelaksana strategi (Greene 2008).
Objektifikasi dan Embodiment: Kekerasan Seksual sebagai Strategi Perang
Meskipun pemersenjataan aksi kekerasan seksual dalam perang telah diaplikasikan semenjak fenomena tersebut pertama kali muncul, diskursus makna strategisnya baru mencuat setelah kejahatan-kejahatan perang modern diteliti (Gottschall 2004). Terdapat perubahan persepsi yang melingkupi pasca terjadinya tindakan ini. Secara ontologis, perubahan cara pandang ini menandakan adanya pandangan yang berubah pula dari persepsi strategis perang tentang korban perang yang umumnya perempuan. Argumentasi ini dan pembahasan lanjutan artikel ini lantas berkesesuaian dengan konsep embodiment dan objektifikasi.
Baik embodiment maupun objektifikasi berangkat dari persepsi materiil tentang benda. Pada konteks terbahas, “tubuh” merupakan suatu materi sarat interaksi pemikiran dan diskursus, menjadikannya value-heavy. Sekolah materialisme menganggap bahwa sifat materiil segala hal adalah hasil interaksi pemikiran dan tindakan fisik, bahwa bentuk kekerasan terkonstruksi dari metode ini pula (Hyndman 2019). Berangkat dari pemahaman tersebut, interaksi yang masif menjelmakan (embody) suatu pribadi dan dikonstruksi berkesesuaian dengan dialektika tersebut (Chrisler dan Johnston-Robledo 2018). Ketika embodiment merujuk pada fenomena alterasi nilai pribadi tertentu, objektifikasi-utamanya self-objectification lebih berbicara tentang proses dan dampak dari internalisasi nilai eksternal ke pribadi. Menurut Teori Objektifikasi gubahan Fredrickson & Roberts (1997), konsekuensi yang tercipta akibat proses ini meliputi peningkatan rasa malu, kegelisahan, hingga kehilangan keawasan akan tubuh dan pribadi sendiri. Apabila dilakukan secara terstruktur juga masif, akumulasi dampak proses ini berpengaruh ke satu komunitas dan budaya, dan bukan hanya terhadap satu gender.
Kekerasan Seksual dalam Lingkup Strategis Rusia
Guna memahami tindakan kekerasan seksual (utamanya, pemerkosaan) dalam strategi invasi Rusia ke Ukraina, artikel ini menyoroti kapabilitas militer Rusia yang tidak hanya terletak pada kemampuan konvensionalnya semata, melainkan juga kebrutalannya. Dalsjo et al (2022) dalam A Brutal Examination of Russian Military Capability in Light of Ukraine War, bahkan memandang bahwa tuduhan kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Rusia atas pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan merupakan bagian dari rumusan strategis militer Rusia. Berdasarkan pengamatan di dua bulan pertama perang di Ukraina, perlawanan balik Ukraina telah secara signifikan melemahkan kekuatan militer Rusia, dan menghabiskan kemampuan utamanya, tanpa mendorong mobilisasi yang lebih luas dari cadangan militer Rusia yang cukup besar. Asumsi umum yang berkembang kemudian justru melihat prioritas utama angkatan bersenjata Rusia bukanlah untuk dapat berperang dalam skala besar, melainkan untuk memfasilitasi pemaksaan terhadap tetangga yang lebih lemah, melalui “perang yang lebih kecil” (Dalsjo et al, 2022).
Riwayat Historis Kekerasan Seksual Tentara Rusia
Nordås (2022) memaparkan bahwa tentara Rusia memiliki riwayat yang cukup panjang sebagai pelaku kekerasan seksual selama perang atau invasi berlangsung. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 124 dugaan tindakan kekerasan seksual yang terlapor sampai 3 Juni lalu di Ukraina yang sebagian besar korbannya adalah perempuan (UN News, 2022). Berdasarkan hasil penyelidikan OHCHR mengenai konflik terkait kekerasan seksual di Ukraina (14 Maret 2014–31 Januari 2017), kekerasan yang dilakukan meliputi pemukulan, penyetruman di area genital, ancaman pemerkosaan, ketelanjangan paksa dan pemerkosaan. Hotline nasional Ukraina pada kala itu juga menerima cukup banyak pengaduan jenis kekerasan seksual yang beragam, yaitu mulai dari pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang hingga pemaksaan untuk menyaksikan pemerkosaan yang dilakukan terhadap pasangan atau anak. Kasus kekerasan seksual terhadap warga sipil Ukraina muncul pertama kali ke permukaan publik ketika aneksasi Krimea terjadi pada tahun 2014, salah satunya adalah penyiksaan yang dilakukan oleh petugas keamanan Rusia.
Namun, informasi mengenai kekerasan seksual di Krimea cukup sulit untuk diselidiki dikarenakan adanya pengamanan yang sangat ketat oleh kelompok bersenjata yang bertugas di kawasan tersebut. Meskipun kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tentara Rusia baru terungkap pada masa aneksasi Krimea, kasus kekerasan seksual tersebut telah terjadi setidaknya pada masa Perang Chechnya (1999–2009). The Guardian (2002) melaporkan bahwa kekerasan yang terjadi memang tidak hanya kekerasan seksual, namun pada masa ini, penggunaan strategi asusila dari tentara Rusia mulai terlihat dengan ungkapan-ungkapan tentara Rusia yang tidak pantas hingga pemerkosaan yang dilakukan mereka terhadap warga sipil. Human Rights Watch (HRW) kemudian berhasil mendapatkan dua kesaksian dalam kasus yang terjadi di sekitaran tahun 2000, yaitu penangkapan dan pembunuhan seorang perempuan korban kekerasan seksual tentara Rusia (Human Rights Watch, 2000). Kasus kekerasan seksual lainnya juga terjadi di masa Rusia melakukan invasi terhadap Donbas (2014–2022).
Busol (2020) menyatakan bahwa permasalahan mengenai kekerasan seksual yang terjadi di Donbas seharusnya menjadi perhatian pemerintah Ukraina dan kemudian menjadikannya bagian dari pembahasan hukum dan pengimplementasiannya. Kurangnya tindakan pemerintah Ukraina menunjukkan bahwa pengaruh atau kekuatan dari pelaku lebih besar daripada kuasa pemerintah. Kasus kekerasan seksual pun tetap ada hingga perang Rusia-Ukraina yang terjadi saat ini. Ombudsman Hak Asasi Manusia Ukraina menyatakan bahwa pengumpulan laporan kasus kekerasan seksual merupakan tugas yang sangat sulit karena tidak semua penyintas berani untuk terbuka dengan adanya rasa malu dan stigma yang melekat di masyarakat (CNN, 2022). Dengan begitu, peningkatan jumlah kasus kekerasan seksual menjadikan warga sipil Ukraina, terutama perempuan, semakin waspada dan ketakutan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ketakutan perempuan-perempuan di Ukraina untuk merias wajah dikarenakan tidak ingin menarik perhatian tentara Rusia hingga mempersiapkan kontrasepsi darurat terlebih dahulu daripada kotak penolongan pertama ketika adanya jeda di antara jam malam dan pengeboman (Daily Express, 2022; Guardian, 2022).
Berdasarkan rangkaian kasus yang ada pada setiap periode konflik, dapat dibuktikan bahwa pasukan bersenjata Rusia memiliki sejarah yang sangat panjang sebagai pelaku kekerasan seksual. Pasukan Rusia juga memiliki tendensi yang tinggi untuk melakukan kekerasan seksual terhadap warga sipil mengingat banyaknya tentara yang masih di bawah umur. Salah satu dokumenter CNN (2022) melaporkan bahwa terdapat tentara Rusia yang masih berumur 19 tahun telah melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa yang berumur 41 tahun. Tentara-tentara tersebut memanfaatkan kekuatan yang mereka miliki sehingga mengakibatkan tingginya jumlah kasus kekerasan seksual. Meskipun pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual yang telah terjadi, rasa trauma yang diderita oleh masyarakat akan selalu ada dalam diri penyintas.
Argumen tersebut didukung oleh pernyataan koresponden The Guardian yang menyatakan bahwa pemerkosaan dianggap sebagai senjata perang yang paling “murah” yang dapat menyebarkan teror di kalangan masyarakat serta menghancurkan harga diri dan kepercayaan warga sipil terhadap aparat setempat (The Guardian, 2022). Bahkan, saat ini muncul spekulasi bahwa Rusia berupaya untuk melakukan ethnic cleansing dengan memaksa perempuan untuk melahirkan anak-anak tentara mereka. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa tentara-tentara Rusia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuatan mereka dan melakukan kekerasan seksual yang dikategorikan sebagai kejahatan perang karena kekerasan tersebut dilakukan saat perang terjadi.
Prospek Masa Depan: Langkah Konstruktif oleh Komunitas Internasional
Sima Bahous selaku Direktur Eksekutif United Nations (UN) Women yang bertugas untuk memberdayakan kesetaraan gender dan perempuan telah menyerukan eskalasi respon kemanusiaan “sensitif gender”. Ia menyerukan tuduhan tindak kekerasan seksual harus diselidiki secara independen untuk memastikan akuntabilitas serta keadilannya. Hal ini disampaikan Bahous setelah berdialog langsung dengan para perempuan dan anak-anak warga Ukraina yang mengungsi di Republik Moldova. Duta Besar Ukraina untuk PBB, Sergiy Kyslytsya juga menyerukan hal serupa terkait penyelidikan. Komisaris Ombudsman HAM Ukraina, Lyudmyla Denisova mengaku telah mendokumentasikan beberapa kasus pemerkosaan serta kekerasan seksual lain. Tim penyelidik utusan Inggris di Ukraina terus membantu mengumpulkan bukti kejahatan perang, termasuk kekerasan seksual. Jaksa Ukraina dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah memulai menyelidiki potensi kejahatan perang di Ukraina sejak invasi Rusia, 24 Februari lalu. Sementara itu, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Dimitry Polyanskiy membantah tuduhan ini karena menurutnya tak ada bukti meyakinkan yang diajukan perihal kejadian ini. Meski demikian, pihak Ombudsman HAM Ukraina masih belum mengetahui jumlah pasti perempuan yang mengalami pemerkosaan hingga mengalami kehamilan sedari awal konflik. Hal tersebut ditengarai karena banyak dari korban telah meninggal atau bahkan mayat tubuh mereka yang masih berada di wilayah kependudukan Rusia. Upaya yang dapat dilakukan pihak berwenang Ukraina saat ini dalam menginventarisasi kejahatan seksual ialah bekerja sama dengan organisasi hak asasi manusia setempat maupun internasional.
Simpulan
Kekerasan seksual yang berbasis gender (utamanya tindakan pemerkosaan) cenderung bersifat kompleks dan multidimensional. Dalam tulisan ini, secara general dan historis ditemukan bahwa pemerkosaan (wartime rape) cenderung bersifat indiskriminatif, bahwa realitas terjadinya konflik/instabilitas meningkatkan kemungkinan bagi perempuan terhadap pengalaman kekerasan berbasis gender. Secara lebih spesifik, ditemukan bahwa pemerkosaan selain mempunyai dimensi yang bersifat insidental (rekreasional) di satu sisi, ternyata juga mempunyai dimensi yang bersifat strategis (pemersenjataan). Bagi pihak ofensif (dalam kasus ini, oleh militer Rusia terhadap sipil Ukraina), ternyata tindakan kekerasan berbasis gender mempunyai unsur sistemik yang bertujuan untuk menyebarkan teror dan mengakibatkan ketundukan bagi kolektif populasi sipil selain individu. Terlepas dari keterbatasan data yang ada, tulisan ini lantas memberikan kesadaran bahwa kekerasan seksual yang berbasis gender dalam latar konflik telah mengalami institusionalisasi; tidak hanya yang bersifat insidental (pressure cooker theory), tetapi sampai tingkatan tertentu juga mempunyai nilai strategis secara disengaja.
Referensi
Busol, K., 2020. “Conflict-Related Sexual Violence in Ukraine: An Opportunity for Gender-Sensitive Policymaking?” [daring]. Dalam https://www.chathamhouse.org/2020/08/conflict-related-sexual-violence-ukraine-opportunity-gender-sensitive-policymaking [diakses 28 Juni 2022].
Chrisler, J. C., dan Johnston-Robledo, I., 2018. “Woman’s embodied self: Feminist perspectives on identity and image”, American Psychological Association.
CNN, 2022. “Ukraine has accused Russian soldiers of using rape as a tool of war. These two women say justice is hard to come by” [daring]. Dalam https://edition.cnn.com/2022/05/09/europe/ukraine-russian-soldiers-brovary-rape-victims/index.html [diakses 1 Juli 2022].
Daily Express, 2022. “‘Raped in front of parents’ Girls and women avoid make up to escape evil Russian troops” [daring]. Dalam https://www.express.co.uk/news/world/1616767/ukraine-girls-women-raped-sexual-assault-kherson-russia-war-crimes-vladimir-putin-update [diakses 25 Juni 2022].
Gottschall, Jonathan, 2004. “Explaining Wartime Rape”, The Journal of Sex Research, 41 (2): 129–136.
Gray, Colin S., 1999. Modern Strategy. Oxford: Oxford University Press.
Greene, Robert, 2008. The 33 Strategies of War. New York: Penguin Books.
Human Rights Watch, 2000. “More Evidence of Rape by Russian Forces in Chechnya” [daring]. Dalam https://www.hrw.org/news/2000/03/29/more-evidence-rape-russian-forces-chechnya [diakses 26 Juni 2022].
Hyndman, Jennifer, 2019. “Unsettling feminist geopolitics: forging feminist political geographies of violence and displacement”, Gender, Place & Culture, 26 (1): 3–29.
ICRC, 2010. “International Law on the Conduct of Hostilities: Overview” [daring]. Dalam https://www.icrc.org/en/document/conduct-hostilities [diakses 8 Agustus 2022].
Johnson, R., 2022. “Dysfunctional Warfare: The Russian Invasion of Ukraine”, Parameters 52 (2): 5–20.
Mannell, J., 2022. “Sexual Violence in Ukraine: A Devastating War Crime with Far Reaching Consequences”, British Medical Journal, (2022): 377.
Nordås, Ragnhild, Louise Olsson, dan Pavel Baev, 2022. “Why Widespread Sexual Violence Is Likely in Ukraine — PRIO Blogs”, PRIO Blogs [daring]. Dalam https://blogs.prio.org/2022/04/why-widespread-sexual-violence-is-likely-in-ukraine/ [diakses 27 Juni 2022].
O’brien, Melanie & Quenivet, Noelle, 2022. “Sexual and Gender-Based Violance against Women in the Russia-Ukraine Conflict”. [daring]. Dalam https://www.ejiltalk.org/sexual-and-gender-based-violence-against-women-in-the-russia-ukraine-conflict/ [diakses 24 Juni 2022].
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, 2017. Report of the Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights: Conflict-Related Sexual Violence in Ukraine, 14 March 2014 to 31 January 2017 [daring]. Dalam https://www.ohchr.org/sites/default/files/HRBodies/HRC/RegularSessions/Session34/Documents/A_HRC_34_CRP.4_E.docx [diakses 25 Juni 2022].
Porter, Michael E., 1996. “What is Strategy” [daring]. Dalam https://hbr.org/1996/11/what-is-strategy [diakses 8 Agustus 2022].
Robert Dalsjö, Michael Jonsson & Johan Norberg, 2022. “A Brutal Examination: Russian Military Capability in Light of the Ukraine War” in Survival 64 (3): 7–28.
Sjoberg, Laura, 2010. “Introduction”, dalam Sjoberg, Laura (Ed.), 2010. Gender and International Security. Feminist Perspectives. New York: Routledge.
The Guardian, 2022. “Rape as a weapon: huge scale of sexual violence inflicted in Ukraine emerges” [daring]. Dalam https://www.theguardian.com/world/2022/apr/03/all-wars-are-like-this-used-as-a-weapon-of-war-in-ukraine [diakses 27 Juni 2022].
The Guardian, 2022. “Russia’s mass rapes in Ukraine are a war crime. Its military leaders must face prosecution” [daring]. Dalam https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/apr/15/rape-weapon-ukraine-war-crime-sexual-violence [diakses 29 Juni 2022].
The Guardian, 2002. “Torture and rape stalk the streets of Chechnya” [daring]. dalam https://www.theguardian.com/world/2002/oct/27/chechnya.russia2 [diakses 28 Juni 2022].
Thomas, Dorothy Q., dan Regan E. Ralph, 1994. “Rape in War: Challenging the Tradition of Impunity”, SAIS Review, 14 (1): 81–99.
UN News, 2022. “Reports of sexual violence in Ukraine rising fast, Security Council Hears” [daring]. Dalam https://news.un.org/en/story/2022/06/1119832 [diakses 24 Juni 2022].
Whitworth, Sandra, 2018. “Feminism”, dalam Williams, Paul & McDonald, Matt (Eds.), 2018. Security Studies an Introduction. New York: Routledge.