[Artikel Opini] Momentum Keketuaan ASEAN 2023 di tengah Kudeta Myanmar: Akankah menjadi Akhir dari Kontestasi “Sentralitas ASEAN”?
Agastya Pandu Wisesa
Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) telah diakui sebagai salah satu organisasi regional paling sukses di dunia. Dalam kurun waktu lima dekade terakhir, catatan sejarah ASEAN dalam menjaga perdamaian dan keamanan regional telah menimbulkan tanggapan yang beragam. Di satu sisi, ASEAN dipandang sebagai kekuatan positif bagi perubahan damai karena kepemimpinannya dalam mengelola hubungan antar negara anggota dan sejumlah negara di kawasan Indo Pasifik yang lebih luas. Keberhasilan ASEAN sebagai institution-builder telah membuatnya memperoleh ‘sentralitas’ dalam arsitektur keamanan regional Asia. Namun di sisi lain, gagasan sentralitas ASEAN telah menuai kritik yang menganggapnya sebagai fatamorgana, sesuatu yang tampak nyata tetapi sebenarnya tidak demikian. Karakteristik ASEAN sebagai norm-entrepreneur yang menunjukkan kurangnya lembaga formal ASEAN, khususnya perjanjian dan mekanisme yang mengikat secara hukum guna memastikan kepatuhan dan penyelesaian sengketa, justru dipandang menghambat kemampuannya untuk mengelola tantangan keamanan dan ekonomi regional (Caballero-Anthony, 2022). Menyongsong momentum keketuaan Indonesia di ASEAN Tahun 2023, penulis bermaksud untuk menyajikan pemahaman yang lebih jelas terkait kepentingan nasional Indonesia terhadap pilar-pilar masyarakat ASEAN, peluang revitalisasi komitmen dan urgensi penyusunan inisiatif baru, dan perkembangan rivalitas politik antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam kaitannya dengan penyelesaian situasi krisis pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Myanmar pada tahun 2021.
Merujuk pada laporan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang situasi terbaru Hak Asasi Manusia di Myanmar (United Nations Commissions on Human Rights, 2022), hingga bulan Oktober, pasukan junta militer Myanmar telah membunuh ribuan orang dan membuat hampir 1 juta orang mengungsi sejak kudeta tersebut. Pada bulan September lalu, sebelas anak dilaporkan tewas dalam serangan helikopter tempur pada sebuah sekolah di wilayah Sagaing. Angka ini diyakini akan terus bertambah mengingat adanya taktik dari tentara militer untuk menembaki warga sipil yang tidak bersenjata guna mempersempit wilayah yang dikendalikan oleh kelompok oposisi bersenjata dan wilayah kamp-kamp atau tempat persembunyian sementara yang dihuni oleh para pengungsi. Dalam strateginya untuk menghukum dan menekan kelompok oposisi, junta militer juga melakukan penangkapan, penahanan, dan penghukuman mati. Pasca eksekusi di bulan Juli 2022, hingga September 2022, terdapat 126 tahanan politik yang masih berada dalam daftar hukuman mati dan 12.376 orang yang ditahan dalam kaitannya dengan kegiatan pro-demokrasi atau penentangan terhadap junta sejak kudeta. Junta juga telah menyita dan memblokir akses ke lebih dari 760 rumah dan bangunan yang berafiliasi dengan anggota National League for Democracy (NLD) dan tokoh oposisi. Tindakan tidak bermoral ini konsisten dengan cengkraman kekerasan junta yang gigih terhadap rakyat Myanmar. Penjualan Ooredoo Myanmar ke Nine Communications pada September 2022 salah satunya, dilaporkan berpotensi menyebabkan seluruh sektor telekomunikasi dapat dikendalikan oleh militer. Individu dan organisasi yang saat ini telah beroperasi dengan sedikit dukungan internasional dan sedikit kesempatan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, di masa depan akan lebih sulit untuk mendokumentasikan kekejaman, memberikan bantuan kemanusiaan dan menanggapi kebutuhan masyarakat yang terlantar dan trauma.
Situasi krisis pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh junta militer di Myanmar menimbulkan ancaman serius terhadap sentralitas ASEAN dalam arsitektur regional Asia. Guna menjaga sentralitasnya, Kamasa (2014) berargumen bahwa ASEAN harus dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi tantangan lingkungan strategis yang cair di kawasan dengan memainkan peran aktif dalam hubungan eksternal, memelihara dan membangun kepercayaan di kawasan, serta menjaga soliditas internal antar anggota di tengah kepentingan nasional yang berbeda. Sayangnya, sejauh ini persepsi publik masih meragukan efektivitas, legitimasi dan efisiensi ASEAN. ASEAN dianggap telah mengabaikan standar etika utama yang harus dijunjung oleh ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar. Ketidakmampuan ASEAN dalam mempromosikan hak asasi manusia global dan norma-norma demokrasi di kawasan, tercermin dari harapan publik terkait perubahan situasi di Myanmar. Terakhir, menanggapi situasi kesenjangan ekonomi yang tidak merata bagi negara-negara anggota ASEAN, publik menilai bahwa ASEAN tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh anggota dan rakyatnya tanpa terkecuali (Ferga, 2022). Terlepas dari skeptisisme yang berkembang, Ramiz & Sari (2022) beranggapan bahwa langkah-langkah yang telah ditempuh oleh ASEAN masih patut untuk diamati secara optimis. Sebagaimana dialog terkait pengimplementasian Five-Point Consensus dengan Myanmar, ASEAN di bawah kepemimpinan keketuaan Kamboja pada tahun ini, telah berupaya untuk mendapatkan akses pemberian bantuan kemanusiaan, serta lebih lanjut menyusun mekanisme mediasi dan memfasilitasi proses perdamaian di Myanmar dengan wacana pembentukan tripartit antara Kamboja, Brunei Darussalam, dan Indonesia, yang berfokus untuk mendorong perpanjangan waktu gencatan senjata di Myanmar hingga akhir 2022.
Pada akhir April 2021, ASEAN mengadakan “pertemuan khusus” langsung tentang Myanmar di Jakarta. Pertemuan puncak tersebut menghasilkan pernyataan ketua yang menggarisbawahi Lima Poin Konsensus: (1) Kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak yang terlibat konflik harus menahan diri sepenuhnya; (2) Konflik diselesaikan melalui dialog konstruktif antara para pihak; (3) ASEAN akan menunjuk seorang utusan khusus untuk membantu proses mediasi; (4) ASEAN akan mengirimkan delegasi ke Myanmar untuk berunding dengan pihak-pihak yang terlibat, dipimpin oleh utusan khusus; dan (5) Myanmar akan menerima bantuan kemanusian melalui ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Centre) dan memanfaatkan ASEAN Strategic Guidance Humanitarian Assistance and Disaster Relief (HA/DR) sebagai mekanisme untuk menerima bantuan internasional (ASEAN Leaders’ Meeting, 2021). Satu tahun kemudian, negara-negara anggota ASEAN kembali menyatakan keprihatinannya dengan perkembangan di Myanmar, menyusul laporan kekerasan yang terus berlanjut dan memburuknya situasi kemanusiaan. Di bawah keketuaan Kamboja pada KTT ASEAN 2022, negara-negara anggota ASEAN menyatakan kekecewaan mereka dengan sedikitnya kemajuan dan kurangnya komitmen dari otoritas Myanmar terhadap implementasi Lima Poin Konsensus dan lebih jauh mendesak pihak berwenang Myanmar untuk mengambil tindakan nyata untuk secara efektif dan sepenuhnya menerapkan Lima Poin Konsensus (ASEAN Summit, 2022).
Di tengah lambatnya proses pengimplementasian Lima Poin Konsensus yang kian melemahkan sentralitas ASEAN, Indraswari (2022) beranggapan bahwa kepemimpinan Indonesia di ASEAN tahun 2023 tetap akan sulit menghasilkan progres yang signifikan meskipun kekuatan eksternal telah memberikan dukungan mereka. Terlepas dari politik luar negeri ‘bebas-aktif’ yang dimiliki oleh Indonesia, pemahaman negara-negara anggota ASEAN terhadap norma non-interference dan mekanisme konsensus yang berlaku di kawasan telah memperlihatkan kecilnya peluang untuk ASEAN bisa menghasilkan sikap yang kompak dan bersatu di belakang tanggapan bersama (Simandjuntak, 2021), serta lebih lanjut peluang revitalisasi komitmen dan penyusunan inisiatif baru di kawasan, contohnya dalam wacana menangguhkan keanggotaan Myanmar dari ASEAN (Connors, 2022). Hingga hari ini, berselang seminggu setelah KTT ASEAN ke-40 dan 41 berakhir dan sehari sebelum pelaksanaan Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN, analis meyakini bahwa belum ada indikasi yang menunjukkan bahwa ASEAN akan mengambil langkah-langkah signifikan untuk menghentikan kekerasan militer di Myanmar. Sebaliknya, negara-negara anggota ASEAN justru terindikasi membantu militer Myanmar untuk tetap berkuasa, setelah bocornya dokumen ASEAN yang mengusulkan untuk ‘menjaga’ status quo di Myanmar dengan mempertahankan partisipasi penuh junta Myanmar dalam semua pertemuan ASEAN, selain KTT dan pertemuan menteri luar negeri (Nawar, 2022).
Meskipun demikian, Indraswari (2022) lebih jauh memandang bahwa signifikansi keketuaan Indonesia di ASEAN dalam menyelesaikan kasus Myanmar akan ditentukan oleh kepentingan nasional Indonesia terhadap pilar-pilar masyarakat ASEAN. Kecenderungan negara-negara anggota ASEAN untuk ‘mempertahankan’ kebijakan non-interference dan primacy of sovereignty (atau territorial sovereignty) masih dapat ‘diubah’ melalui kepemimpinan kuat Indonesia untuk menggalang dukungan terhadap kemanusiaan dan demokrasi (Rising & Cheang, 2022), prinsip-prinsip yang telah ditentang oleh Myanmar. Terlebih, keberadaan prinsip politik bebas-aktif yang masih relevan lantas memungkinkan Indonesia untuk mencapai kepentingan nasional lewat upaya diplomasi tanpa memihak kepada kubu tertentu. Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, politik bebas aktif menjamin keberadaan Indonesia untuk membantu masyarakat sipil Myanmar. Melalui bentuk bantuan pembangunan serta dialog dengan pemerintah Myanmar, kepentingan nasional Indonesia khususnya di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan dapat terjaga (Matthew, 2020). Menilik kembali rekam jejak Indonesia dalam memimpin ASEAN, Sebastian (2014) mengklaim bahwa Indonesia telah menjaga keseimbangan dinamis dengan memasukkan sentralitas ASEAN dalam proyeksi kebijakan luar negerinya. Dalam penyelesaian masalah Kuil Preah Vihear pada tahun 2011, sebagai contoh, Indonesia telah sukses menyoroti sentralitas ASEAN dalam resolusinya sesuai dengan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia; disingkat TAC) dan Piagam ASEAN di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Adanya kepentingan yang berdampingan antara Indonesia dan ASEAN ini, bukan tidak mungkin, akan mendorong ASEAN di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo — yang akan efektif per 1 Januari 2023 — untuk mengeluarkan penangguhan sementara keanggotaan Myanmar di ASEAN sampai militer Myanmar menghentikan kekejaman terhadap masyarakat sipil di negara itu (Purba, 2022).
Lebih lanjut, dilema institusional ASEAN dalam menyelesaikan situasi krisis pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh junta militer di Myanmar, sebagian besar bergantung pada kepemimpinan keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 di tengah pengaruh kekuatan eksternal, AS dan RRT (Indraswari, 2022). Di tengah ketegangan hubungan Tatmadaw (junta militer Myanmar) dengan PBB, AS dan Barat (Ryu, 2021), Caballero-Anthony (2022) memandang bahwa ketergantungan Tatmadaw pada RRT dalam hubungan militer dan ekonomi serta kedekatannya dengan junta militer Thailand telah menggambarkan risiko yang ditimbulkan oleh krisis, yakni melemahkan sentralitas ASEAN secara eksternal. Sementara pemerintah Tiongkok dengan berhati-hati memilih untuk melanjutkan bisnisnya seperti biasa dengan Tatmadaw guna mempertahankan kepentingan ekonomi dan strategisnya di Myanmar, sekutu Myanmar yang lain, yakni Rusia, kian memperdalam kerja sama militer dalam bentuk material, termasuk senjata, sebagai upaya untuk meningkatkan legitimasi internasional di tengah upaya dunia internasional untuk mengisolasi Rusia (ASEAN Parliamentary for Human Rights, 2022). Keberadaan kekuatan hegemonik dengan ambisi geopolitik yang seringkali mendukung negara-negara totaliter ini (Bhattacharya, 2022), tidak hanya berpotensi memperkecil dukungan dari negara-negara luar untuk membantu proses perdamaian yang dipimpin ASEAN (Strangio, 2022a), namun juga berpeluang melemahkan sentralitas ASEAN di bawah kepemimpinan negara manapun atas ketidakmampuannya untuk mengeksekusi perubahan kebijakan yang signifikan (Strangio, 2022b).
Kesimpulan
Sementara kepentingan nasional Indonesia terhadap pilar masyarakat ASEAN diperkirakan selaras dengan proyeksi kebijakan luar negeri Presiden Joko Widodo untuk menggalang dukungan terhadap kemanusiaan dan demokrasi di Myanmar, keberadaan pemahaman negara-negara anggota ASEAN terkait norma non-interference dan mekanisme konsensus yang berlaku secara saklek di kawasan telah menunjukkan dilema institusional yang dihadapi ASEAN untuk secara kompak, bersatu melakukan revitalisasi komitmen dan penyusunan inisiatif baru di kawasan. Di tengah situasi krisis pasca-pengambilalihan kekuasaan oleh junta militer di Myanmar yang sulit dan berpotensi memecah belah, penulis menemukan bahwa momentum keketuaan ASEAN 2023 dalam merespons isu regional akan sangat mempertaruhkan gagasan sentralitas ASEAN. Dengan mendasarkan pada kerangka berpikir realisme institusional (He, 2006), penulis berargumen bahwa sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan kekuasaan di tingkat intramural dan ekstra-regional, Indonesia harus memanfaatkan momentum keketuaan ASEAN di tahun 2023 untuk tidak secara radikal mengabaikan prinsip non-interference, namun mengeksekusi beberapa reformasi taktis dan praktis melalui revitalisasi komitmen dan penyusunan inisiatif baru di kawasan. Dengan meningkatnya tekanan dari eksternal terhadap sentralitas ASEAN, kemampuan material dan kelincahan diplomatik kepemimpinan keketuaan Indonesia untuk menyeimbangkan pengaruh kekuatan eksternal juga akan memperoleh arti yang lebih besar. Pada akhirnya, sebagai arsitektur keamanan regional Asia, bagaimana Indonesia menjalankan kepemimpinannya akan membuktikan sejauh mana relevansi ASEAN dalam menyelesaikan krisis Myanmar.
REFERENSI
ASEAN Leader’s Meeting. (2021). Chairman’s Statement on the ASEAN Leaders’ Meeting. Jakarta: ASEAN Secretariat.
ASEAN Summit. (2022). Chairman’s Statement of the 40TH and 41ST ASEAN Summits. Phnom Penh, Kamboja.
ASEAN Parliamentary for Human Rights. (2022). “Time is not on our side”: The Failed International Response to the Myanmar Coup. APHR.
Bhattacharya, S. (2022). Revisiting the Responsibility to Protect as an International Norm. Journal of International Studies, 18: 249–268.
Caballero-Anthony, M. (2022). The ASEAN Way and The Changing Security Environment: Navigating Challenges to Informality and Centrality. International Politics.
Connors, E. (2022). ASEAN to consider banning Myanmar from all meetings [Daring]. https://www.afr.com/world/asia/asean-to-consider-banning-myanmar-from-meetings-20221102-p5bv49 [Diakses pada 23 November 2022].
Ferga, A. (2022). Skeptics and Proponents Towards ASEAN: A Qualitative Content Analysis on ASEAN Facebook Page. Jurnal Hubungan Luar Negeri, 7(1): 26–39.
He, K. (2006). Does ASEAN Matter, International Relations Theories, Institutional Realism, and ASEAN. Asian Security, 2(3); 189–214.
Indraswari, R. (2022). ASEAN Centrality: Comparative Case Study of Indonesia Leadership. Journal of ASEAN Studies, 10(1): 1–19.
Kamasa, F. (2014). ASEAN Centrality in Asian Regional Architecture. Indonesian Journal of International Studies, 1(1): 63–78.
Matthew, G. (2020. Kepentingan Nasional dan Diplomasi ala Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingnya di Myanmar. Jurnal Hubungan Internasional, 8(1).
Nawar, N. (2022). How far the ASEAN Summit bring changes to Myanmar Crisis? [Daring]. https://moderndiplomacy.eu/2022/11/22/how-far-the-asean-summit-bring-changes-to-myanmar-crisis/ [Diakses pada 23 November 2022].
Purba, K. (2022). A more progressive ASEAN under Jokowi’s Leadership [Daring]. https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/11/11/a-more-progressive-asean-under-jokowis-leadership.html [Diakses pada 25 November 2022].
Ramiz, L. & Sari, M. I. (2022). Menanti Pencapaian Baru ASEAN; Perkembangan dan Solusi atas Krisis Myanmar di Bawah Kepemimpinan Kamboja. THC Insights, №33. The Habibie Center.
Rising, D. & Cheang, S. (2022). Next Asean Chair: Region no proxy for any powers. Business Mirror [Daring]. https://www.pressreader.com.vlib.interchange.at/philippines/businessmirror/20221115/page/21 [Diakses pada 25 November 2022].
Ryu, Y., Minn, B. & Mon, M. M. (2021). The Military Coup in Myanmar: Time to Prioritise ASEAN Centrality and Communal Values. Perspective, №27. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Yusof Ishak Institute.
Sebastian, L. C. (2014). Indonesia’s Dynamic Equilibrium and ASEAN Centrality. Prospects of Multilateral Cooperation in the Asia Pacific: To Overcome the Gap of Security Outlooks. International Symposium on Security Affairs. Tokyo: National Institute of Defense Studies.
Simandjuntak, D. (2021). Shaping the Future of Multilateralism: How Multilateralism Does and Doesn’t Work in ASEAN. Heinrich-Böll-Stiftung Foundation.
Strangio, S. (2022a). Malaysia FM Again Pushes for Talks With Myanmar Opposition [Daring].https://thediplomat.com/2022/08/malaysian-fm-again-pushes-for-talks-with-myanmar-opposition/ [Diakses pada 20 November 2022].
Strangio, S. (2022b). Will ASEAN Finally Change Its Approach Toward Myanmar? [Daring].https://thediplomat.com/2022/11/will-asean-finally-change-its-approach-toward-myanmar/ [Diakses pada 20 November 2022].
United Nations Commission on Human Rights. (2022). Situation of Human Rights in Myanmar. Report by Special Rapporteur Thomas H. Andrews (3 October 2022) UN Doc A/77/494/2022/23.