[Artikel Opini] Menilik Status Indonesia sebagai Rising Power dan Prospeknya
Benedicta Riona Keiko — Universitas Airlangga
benedicta.riona.keiko-2019@fisip.unair.ac.id
Indonesia seringkali dinarasikan sebagai rising power yang menjalankan peran penting dalam percaturan politik dunia. Melalui kebijakan seperti menginisiasi berdirinya ASEAN dan terlibat aktif dalam forum G-20, Indonesia juga banyak dianggap sebagai salah satu kekuatan regional paling penting secara global (Laksmana, 2011). Padahal, untuk dapat dikategorikan sebagai rising power, banyak fitur yang perlu diperhatikan dalam suatu negara. Rising power sendiri adalah negara yang sedang bangkit menuju status great power (Thies dan Nieman, 2017). Sementara itu, peningkatan ukuran kapabilitas material saja tidak bisa dijadikan sebagai patokan suatu negara mengalami rising. Sebab dilihat secara global, hampir setiap negara sejatinya mengalami peningkatan kekuatan ekonomi dan militer dari waktu ke waktu. Lalu, perilaku negara saja juga tidak bisa dijadikan indikator untuk menilai status rising sebuah negara, karena tanpa didukung kapabilitas material yang mumpuni perilaku tersebut tidak akan menghasilkan dampak signifikan.
Miller (2016) misalnya berpendapat bahwa terdapat tiga fitur yang membuat negara dapat disebut sedang menjadi rising power, yaitu (1) mengalami peningkatan kapabilitas militer dan ekonomi, (2) memiliki kepentingan yang mengglobal, dan (3) memiliki kepercayaan untuk bangkit dan kepercayaan terkait cara-cara untuk mencapai kebangkitan tersebut. Bagi Miller (2016), fitur ketiga lebih berperan dalam menentukan apakah suatu negara dapat disebut sedang menjadi rising power atau tidak. Sementara fitur peningkatan kapabilitas material sudah hampir menjadi syarat mutlak kebangkitan negara seperti yang dijelaskan juga oleh Organski (1958), Miller (2016) menekankan bahwa kepentingan yang mengglobal adalah indikator lain yang juga perlu dilihat untuk menentukan status kebangkitan negara. Kepentingan yang mengglobal menurut Miller (2016) dapat dilihat dari orientasi negara yang tidak lagi hanya berfokus pada kepentingan nasional atau regional, tapi juga mulai menunjukkan tanggung jawab dalam sistem internasional, misalnya melalui aliansi dan institusi.
Perbedaan konseptual telah membuat Indonesia menjadi subjek perdebatan sebagai rising power. Laksmana (2011) misalnya, berargumen bahwa untuk memahami profil rising Indonesia, diperlukan analisis yang tidak hanya berfokus pada kapabilitas material, melainkan hal faktor nilai, politik domestik, dan lingkungan strategis. Jika analisis Laksmana (2011) dihubungkan dengan karakteristik rising power milik Miller (2016), Indonesia dapat dikatakan telah memiliki fitur yang mampu disebut rising. Dengan geografis dan populasi yang besar, merupakan modal besar Indonesia untuk meningkatkan kekuatan ekonominya. Sementara itu, prinsip politik bebas-aktif Indonesia telah mendorong Indonesia untuk aktif terlibat dalam berbagai isu global yang artinya Indonesia juga memenuhi karakteristik kedua dan ketiga dari rising power menurut Miller (2016). Namun, Laksmana (2011) menjelaskan bahwa modal besar Indonesia turut menjadi penghambat dalam merealisasikan status rising itu sendiri. Populasi Indonesia yang masif dan heterogen misalnya adalah sumber instabilitas politik dan penyebab sulitnya membentuk kebijakan luar negeri yang koheren dan stabil (Laksmana, 2011).
Sebaliknya, tulisan Warburton (2016) yang mengulas tentang Indonesia di masa presidensi Joko Widodo memberi kesan kuat bukan rising power. Selanjutnya Warburton (2016) mendeskripsikan Indonesia telah berubah menjadi negara yang lebih inward-looking serta lebih berfokus pada pembangunan ekonomi dalam negerinya. Padahal salah satu syarat dasar bagi suatu negara menurut Miller (2016) adalah memiliki kepentingan yang mengglobal. Itulah mengapa Warburton (2016) menyebut bahwa Indonesia sedang mengadopsi strategi baru yang bernama new developmentalism. Presiden Joko Widodo disebut Warburton (2016) memiliki pandangan bahwa tugas utama negara adalah menjadi agen penyedia jasa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Visi tersebut muncul sebagai prioritas pemerintahan Joko Widodo karena di awal masa jabatannya, Joko Widodo memiliki approval rating rendah yang artinya legitimasi pemerintahannya rentan. Mendorong Joko Widodo lebih berfokus pada politik domestiknya daripada mengejar agenda-agenda bersifat reformis atau internasional, yang mana hal ini otomatis menggugurkan indikasi Indonesia sebuah rising power.
Penulis lantas berpendapat bahwa Indonesia sejatinya belum berpotensi untuk menjadi rising power setidaknya untuk saat ini apabila mengacu pada definisi Miller (2016) –setidaknya sampai berakhirnya kepemimpinan presiden Joko Widodo Indonesia masih middle power. Kesimpulan ini diambil dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu kepentingan Indonesia yang belum mengglobal dan absennya grand-strategy sebagai faktor ideasional yang dapat mendorong kebangkitan negara. Meskipun sempat di tahun 2014, Joko Widodo mengeluarkan kebijakan Poros Maritim Dunia yang secara nomenklatur seakan mengindikasikan aspirasi global Indonesia. Akan tetapi masih merefleksikan kepentingan domestik Indonesia, seperti peningkatan konektivitas antarpulau melalui tol laut –berbeda halnya Tiongkok dengan konsepsi peaceful rise-nya atau Jerman di masa lalu dengan konsepsi lebensraum-nya. Dan dalam beberapa kesempatan, Indonesia pernah memperlihatkan perilaku yang merefleksikan kepentingan globalnya, seperti menjadi mediator pada konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung. Namun menurut Dharmaputra (2022), keterlibatan Indonesia dalam konflik tersebut sebenarnya tetap hanya merefleksikan kepentingan domestiknya. Sebagai salah satu negara pengimpor gandum dari Ukraina dalam jumlah besar, Indonesia membutuhkan pasokan yang stabil untuk menjaga produksi makanan berbasis gandum, khususnya untuk mie instan (Dharmaputra, 2022). Sehingga untuk bertransformasi menjadi rising power, perlu melihat trajectory Indonesia yang ditentukan setidaknya dari pemimpin mendatang dan stabilitas politik domestiknya.
Benedicta Riona Keiko adalah mahasiswa akhir Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Referensi:
Dharmaputra, R., 2022. “Kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina lebih tentang keuntungan domestik, bukan kepentingan global” [Daring]. Tersedia di https://theconversation.com/kunjungan-jokowi-ke-rusia-dan-ukraina-lebih-tentang-keuntungan-domestik-bukan-kepentingan-global-186465.
Laksmana, Evan A., 2011. “Indonesia’s Rising Regional and Global Profile: Does Size Really Matter”, Contemporary Southeast Asia, 33(2):157–182.
Miller, M. C., 2016. “The Role of Beliefs in Identifying Rising Powers”, The Chinese Journal of International Politics, 9(2):211–238.
Thies, C. G. & M. D. Nieman, 2017. “Explaining Change in the International System A Role-Theoretic Approach to Emerging Powers”, dalam Rising Powers and Foreign Policy Revisionism: Understanding BRICS Identity and Behavior Through Time. University of Michigan Press.
Warburton, Eve., 2016. “Jokowi and the New Developmentalism”, Bulletin of Indonesian Economics, 52(3):297–320.