[Artikel Ilmiah]Tsunami Covid-19 di India: Masih Relevankah Diplomasi Kemanusiaan?
Agastya Pandu Wisesa, Ehren Dean, Reine Syifa Insyirah
Divisi Akademik — FPCI Chapter Universitas Airlangga
. . .
Pada 10 Februari awal gelombang kedua, India mengonfirmasi sekitar 11.000 kasus per hari. Kurang dari enam puluh hari, angka itu terus bertambah hingga mencapai 89.800 kasus per hari. Kenaikan jumlah kasus yang eksponensial dalam gelombang kedua ini menyebabkan sistem kesehatan di beberapa kota mengalami kelumpuhan, terutama karena kurangnya fasilitas penunjang seperti tempat tidur rumah sakit, tabung oksigen, ambulans, hingga tenaga medis. Meskipun tingkat kematian India akibat virus ini masih relatif rendah, data yang telah dihimpun Pandey & Nazmi (2021) menunjukkan bahwa gelombang ini terbukti lebih menular dan lebih mematikan di beberapa negara bagian India.
Mirisnya, data statistik yang diperoleh kemungkinan besar kurang terdokumentasi atau bukan merupakan angka yang sebenarnya. Hal ini bermula dari laporan Khan (2001) yang menyatakan bahwa angka resmi kematian karena COVID-19 milik pemerintah pusat dan jumlah kematian di krematorium Lucknow tidak sesuai. Jumlah kematian resmi kumulatif Covid yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam tujuh hari terakhir adalah 124. Namun, menurut catatan krematorium kota, lebih dari 400 orang yang meninggal karena virus telah dikremasi pada periode yang sama. Hal ini tidak hanya menandakan bahwa kematian 276 orang telah hilang dari catatan resmi, namun juga buruknya koordinasi pusat dan daerah serta rendahnya akuntabilitas pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Buntut panjang dari data jumlah kematian yang kurang terdokumentasikan ini adalah keterlambatan ilmuwan India dalam menyadari perubahan virus (mutasi) dan mengirimkan sinyal bahaya pada pemerintah. Alhasil, penguatan protokol kesehatan dan program vaksinasi cepat pun juga mengalami keterlambatan (Pandey & Nazmi, 2021).
Pada 25 Maret lalu, pemerintah mengumumkan bahwa varian “mutan ganda” telah terdeteksi di India. Mutasi yang pertama ialah Mutasi E484Q, mutasi yang ditengarai dapat mengubah protein di dalam virus. Menurut Khan (2021), jika mutasi dapat mengubah bentuk protein secara signifikan, maka antibodi mungkin tidak dapat mengenali dan menetralkan virus secara efektif, bahkan pada mereka yang telah divaksinasi. Mutasi yang kedua adalah Mutasi L452R, varian ini dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat sel inang manusia. Meskipun masih dalam tahap pemeriksaan, Dr. Amir Khan meyakini varian tersebut dapat membantu virus untuk menghindari antibodi penetral yang dihasilkan oleh vaksin (2021). Kedua mutasi ini dapat mendorong peningkatan penularan dan memiliki kemampuan untuk menghindari sistem kekebalan manusia (Focosi & Maggi, 2021). Oleh karena itu banyak ahli India yang sekarang ini meyakini bahwa varian “mutan ganda”-lah yang menyebabkan lonjakan COVID-19 (Mallapaty, 2021).
Oleh karena keterbatasan penelitian dan minimnya tinjauan ilmiah, “mutan ganda” tidak mampu menjadi faktor tunggal dari lonjakan COVID-19 baru-baru ini di India. Faktor lain yang dapat menjelaskan keganasan wabah tersebut adalah kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Pada awal tahun ini, Modi sempat mendeklarasikan kemenangan atas COVID-19, begitu pula dengan Menteri Kesehatan, Dr. Harsh Vardhan yang sempat mengeluarkan pernyataan bahwa India telah mencapai babak terakhir pandemi. Hal tersebut diikuti oleh keputusan Modi untuk mengizinkan pelaksanaan pertemuan besar Partai Bharatiya Janata, festival keagamaan dengan jutaan jamaah, serta kampanye pemilihan umum yang tidak mewajibkan protokol kesehatan. Oleh karena pelonggaran kebijakan kontradiktif pemerintah tersebut, kurva yang semula landai kini menanjak drastis. Mengomentari kebijakan tersebut, New York Times (2021) menyebutkan pembukaan kembali ekonomi dan bisnis-yang melawan saran para ilmuwan dan epidemiolog-merupakan sesuatu yang sangat ironis dan harus dibayar mahal oleh masyarakat India.
Meski rata-rata pertumbuhan kasus lambat laun kian menurun, krisis oksigen masih tetap berlangsung dan berpotensi untuk terus memakan korban jiwa (Hindustan Times, 2021). Sejauh ini, terdapat rincian data terkait 223 kematian di mana otoritas rumah sakit atau pemerintah daerah telah mengonfirmasi kekurangan oksigen sebagai proximate cause-sebab yang paling mungkin-dan 70 kematian lainnya yang mana keluarga pasien menuduh bahwa kekurangan oksigen merupakan penyebabnya, walau pihak berwenang belum menanggapi tuduhan tersebut (The Wire, 2021). Setelah varian virus baru melepaskan gelombang infeksi yang brutal di India, merenggut ribuan nyawa populasinya, serta mengirim jutaan orang ke rumah sakit yang penuh sesak dengan perlengkapan yang buruk, permintaan untuk oksigen konsentrator kian melonjak. Ketika lonjakan COVID-19 menyebabkan rumah sakit kehabisan tangki oksigen dan tempat tidur, mesin portabel menjadi garis pertahanan terakhir bagi mereka yang ingin menghindari kesulitan bernapas walau terpaksa memulihkan diri sendiri di rumah (Gretler & Sanjai, 2021).
Gelombang Covid-19 kedua yang terjadi di India ini menjadi bukti nyata akan dampak ketidakacuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, terlebih lemahnya peran pemerintah India dalam menangani pandemi. Dengan kondisi krisis kesehatan yang tengah terjadi saat ini, masyarakat miskin di India kembali dihantui rasa ketakutan karena kebijakan karantina kesehatan ketat kembali diberlakukan, yang mana berdampak signifikan terhadap perekonomian massa. Adapun dalam merespons lonjakan kasus Covid-19, pemerintah India meminta negara-negara bagian untuk memberlakukan karantina serta protokol kesehatan yang ketat meliputi pengujian sampel Covid-19, penelusuran kasus, dan inokulasi (pemindahan sampel). Perdana Menteri Narendra Modi juga mengimbau masyarakat untuk divaksinasi melalui program bernama “Tika Utsav” yakni program vaksinasi khusus yang dilakukan selama empat hari (Kumar, 2021).
Dalam konteks diplomasi, pemerintah India tengah berupaya untuk meminta bantuan luar negeri berupa suplai oksigen, ventilator, alat pelindung diri, hingga vaksin untuk membantu menyelesaikan krisis di dalam negaranya. India bahkan mengharapkan perolehan sisa dosis vaksin AstraZeneca terbanyak, yakni sejumlah 60 juta dosis dari Amerika Serikat yang kabarnya akan dibagikan secara global (Abidi, 2021). Akan tetapi, upaya-upaya tersebut nampaknya kurang mendatangkan hasil signifikan karena lonjakan angka kasus dan kematian masih terus terjadi. Dengan jumlah kasus baru harian yang terbilang masif ini, kondisi krisis kesehatan India disebut oleh dunia internasional sebagai gelombang tsunami Covid-19. Sebagai salah satu negara penyuplai vaksin virus corona terbesar di dunia, krisis kesehatan yang tengah terjadi di India menjadi suatu peristiwa yang ironis untuk terjadi. Dengan jumlah dosis vaksin yang banyak, India seharusnya bisa menggunakan kesempatan ini untuk dapat melakukan vaksinasi kepada seluruh populasinya, bukan terjatuh ke dalam gelombang kasus yang meninggi kembali (Taneja & Bali, 2021).
Kinerja Modi kemudian menuai banyak kritik dari para akademisi dan masyarakat internasional karena dinilai inefektif dalam mengatasi gelombang kedua Covid-19 di India selama beberapa minggu ini. Modi dianggap tidak mampu memberikan tindakan konkret dalam menahan lonjakan infeksi dengan salah satu tindakan kontraproduktifnya meliputi imbauan bagi pemerintah negara bagian untuk tidak memberlakukan karantina kesehatan (Taneja & Bali, 2021). Ghosh (2020) berpendapat bahwa krisis yang terjadi di India sebagian besar disebabkan oleh respons pemerintah yang buruk. Sejak awal pandemi, India merupakan salah satu negara yang memberlakukan sistem karantina secara ketat. Hal ini disinyalir mengakibatkan resesi ekonomi nasional dengan 80% keluarga miskin di provinsi Patna kehilangan sumber utama pendapatan mereka. Oleh karena itu, ketika gelombang kedua Covid-19 melanda India, negara tersebut dihadapkan pada tiga permasalahan utama: (1) ketidakmampuan dalam mengontrol pandemi; (2) kesulitan ekonomi; serta (3) tragedi-tragedi kematian akibat karantina kesehatan (Ghosh, 2020).
Mengulang dari yang sudah dituliskan di atas, situasi yang terjadi di India saat ini, menjadikan Tiongkok sebagai negara tetangga India, turut menawarkan bantuan luar negeri walau hubungan diplomatik di antara keduanya masih panas akibat sengketa teritorial baru-baru ini. Adanya tawaran bantuan dan dukungan dari Tiongkok ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar apakah sejatinya hubungan di antara keduanya telah dan dapat membaik seterusnya.
Merebaknya kasus Covid-19 di India menyebabkan kekacauan yang tidak hanya berfokus pada bidang kesehatan, tetapi juga pada infrastruktur medisnya. Hal ini terlihat dari bagaimana warga di India berbondong-bondong membeli tabung oksigen di rumah sakit yang kerap kali kekurangan tabung-tabung berharga tersebut pula (CNN, 2021) Tidak hanya itu, kekhawatiran juga muncul lantaran pengobatan alternatif nonmedis muncul dan menjadi ramai digunakan. Pengobatan ini di antaranya meliputi melumuri badan mereka dengan kotoran maupun urin sapi. Aksi tersebut dilakukan lantaran kepercayaan lokal yang menganggap adanya kekebalan yang didapat melalui sapi, meskipun dibantah keras oleh dokter setempat karena ditakutkan memunculkan penyakit tambahan bawaan feses sapi tersebut (Shalihah, 2021). Melalui peristiwa tersebut, India pun beralih ke jalan diplomatis kembali dengan memanfaatkan peranannya dari BRICS-sebuah gabungan negara donor sekaligus penerima bantuan dari negara lain (Prabaningtya, 2020). Diplomasi tersebut tentu bermotif kemanusiaan mengingat yang terjadi di India adalah sebuah kenaasan. Tapi apakah semudah itu negara donor memberikan bantuan kepada India atas nama kemanusiaan?
Tiongkok yang notabene negara rendah kasus Covid-19 juga sekaligus negara yang pertama kali melaporkan kasus Covid-19, hanya melaporkan setidaknya tidak lebih dari 200 kasus (Our World in Data, 2021). Hal ini membuat India tidak berpikir dua kali mengenai meminta bantuan terhadap Tiongkok. Di sisi lain, diplomasi kemanusian yang akan dilakukan ini patutlah dicurigai karena tentu tidak ada satupun negara yang secara normatif ingin membantu negara lain tanpa timbal balik. Tiongkok sendiri memiliki track record yang tidak baik ketika melaksanakan diplomasi kemanusiaan yakni pada tahun 70an sesaat bantuan terhadap negara di Afrika yang memanfaatkan pembangunan proyek jalan dari Tanzania dan juga Zambia yang ternyata adalah sebuah upaya persaingan politik dengan Taiwan untuk dapat diakui secara diplomatik (Prabaningtya, 2020). Melalui bukti tersebut, menjadi sukar bagi warga sipil maupun internasional untuk dapat memisahkan intensi diplomasi berdasarkan kemanusiaan murni dengan pancingan kepentingan internal negara pemberi bantuan.
Prinsip dasar dari pemberian bantuan kepada negara lain melalui diplomasi sebetulnya sangat berbeda dari diplomasi konvensional. Keduanya dibedakan dari segi materi dan periode. Diplomasi kemanusiaan pada umumnya hanya memberikan bantuan berupa alat penunjang atau primer yang disesuaikan dengan kebutuhan negara penerima seperti bantuan pangan, peralatan, obat-obatan, dll. Prinsip lain dari Diplomasi Kemanusiaan adalah hanya memberikan bantuan untuk jangka pendek dan tidak memiliki keterikatan pada jangka panjang. Hal inilah yang membuat diplomasi dengan negara seperti Tiongkok patut untuk diawasi, mengingat kekhawatiran dimana negara pemberi bantuan justru ikut serta dalam penentuan kebijakan internal negara penerima (Prabaningtya, 2020).
Diplomasi dalam balutan kesehatan atau kemanusiaan juga kerap dipandang sebagai soft power tool dimana suatu negara dapat secara senyap melaksanakan kepentingan internal negara melalui pemberian bantuan dengan tidak bertindak koersif, melainkan melalui persetujuan kedua negara. Hal ini menunjukkan realita dari ‘serigala berbulu domba’ yang dibentuk melalui diplomasi politik (Gauttam et al., 2020). Melalui hal ini, negara pemberi bantuan pun akan mudah dalam meningkatkan legitimasi serta citra positifnya. Begitu pula dengan apa yang terjadi bilamana India tidak lebih selektif dalam menerima bantuan dari Tiongkok, dengan kekhawatiran efek samping turbulensi bagi internal politik India.
Lantas, bagaimana cara India bersikap? Secara independen, India bersama-sama dengan Afrika Selatan telah secara resmi membuat surat permohonan kepada pihak WTO (World Trade Organizations) untuk memohon pengecualian pada beberapa peraturan pertukaran dan perdagangan. Tentu saja pertimbangan India dalam meminta ini adalah agar negara seperti mereka dapat secara mudah melakukan transaksi internasional untuk belanja peralatan medis dalam rangka melandaikan lonjakan kasus Covid-19. Kendati demikian, tuntutan yang dilontarkan berupa permintaan peralatan medis seperti alat diagnosis, masker, pakaian pelindung tenaga medis, ventilator, juga vaksin. Merespons hal ini, pihak WTO akan lebih lanjut mendiskusikan terkait keputusan apa yang akan diberikan dalam rangka merespon tuntutan dari India dan Afrika Selatan.
Pada akhirnya, diplomasi yang dilakukan oleh India tentulah berlandaskan kemanusiaan, akan tetapi tidak semua negara memandang demikian. Oleh karenanya, penting sekali bagi India untuk bisa lebih tajam mencium aroma busuk dari negara lain yang akan memberikan bantuan kemanusiaan kepada India. Terlepas dari motivasi politik yang akan diberikan oleh negara donor, penulis berpendapat bahwa India layak mendapatkan bantuan yang bebas dan bersih dari motif politik.
Referensi:
Abidi, A., 2021. “Foreign Aid Arrives in India to Tackle COVID-19 Crisis, Nation Expecting Lion’s Share of Surplus US AstraZeneca Vaccines” [online]. in https://www.abc.net.au/news/2021-04-28/india-covid-19-oxygen-crisis-foreign-aid-astrazeneca-vaccines/100099512
CNN, 2021. “Krisis Oksigen Medis Perparah Badai Covid-19 India” [online]. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210501111936-113-637285/krisis-oksigen-medis-perparah-badai-covid-19-india
Focosi, D. dan Maggi, F., 2021. “Neutralising antibody escape of SARS-CoV-2 spike protein: Risk assessment for antibody-based Covid-19 therapeutics and vaccines”, in Griffiths, Paul (ed.). Reviews in Medical Virology. New Jersey: John Wiley & Sons Ltd.
Gauttam, P., et al., 2020. “COVID-19 and Chinese Global Health Diplomacy: Geopolitical Opportunity for China’s Hegemony?”, Millennial Asia, 11(3), 318–340.
Ghosh, J., 2020. “A Critique of the Indian Government’s Response to the COVID-19 Pandemic”, Journal of Industrial and Business Economics, 47(3), 519–530.
Gretler, C. & Sanjai, P. R., 2021. “Oxygen Shortage in India Sparks Hunt for $1,000 Machines” [online]. in https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-05-12/oxygen-shortage-in-india-sparks-global-hunt-for-1-000-machines
Hindustan Times, 2021. “The right to breathe” [online]. in https://www.hindustantimes.com/editorials/the-right-to-breathe-101620053167593.html
Khan, Amir, 2021. “Why does India have so many COVID cases?” [online]. in https://www.aljazeera.com/features/2021/4/25/why-does-india-have-so-many-covid-cases
Khan, Kamal, 2021. “Covid Deaths In Lucknow Underreported? Cremations vs Government Data” [online]. in https://www.ndtv.com/india-news/uttar-pradesh-coronavirus-covid-deaths-in-lucknow-underreported-cremations-vs-government-data-2413690
Kumar, S., 2021. “As India’s COVID Crisis Worsens, Leaders Play the Blame Game Whila the Poor Suffer Once Again” [online]. in https://theconversation.com/as-indias-covid-crisis-worsens-leaders-play-the-blame-game-while-the-poor-suffer-once-again-158531
Mallapaty, Smriti, 2021. “India’s massive COVID surge puzzles scientists” [online]. in https://www.nature.com/articles/d41586-021-01059-y
Our World in Data, 2021. “Coronavirus Pandemic (Covid-19)-the Data” [online]. in https://ourworldindata.org/coronavirus-data?country=~CHN
Pandey, V. & Nazmi, S., 2021. “Covid-19 in India: Why second coronavirus wave is devastating” [online]. in https://www.bbc.com/news/world-asia-india-56811315
Prabaningtya, R., 2020. “Sinergi Motif Politik dan Motif Normatif dalam Diplomasi Kemanusiaan Tiongkok Pada Masa Pandemi Covid-19”, Lipi Jurnal Penelitian Politik, 17(2).
Shalihah, Nur Fitriatus, 2021. “Warga India Mandi Kotoran dan Kencing Sapi untuk Obati Covid-19” [online]. in https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/11/204500465/warga-india-mandi-kotoran-dan-kencing-sapi-untuk-obati-covid-19?page=all
Taneja, P. & Bali, A. S. 2021. “India’s Staggering COVID Crisis Could Have Been Avoided. But the Government Dropped Its Guard Too Soon” [online]. in https://theconversation.com/indias-staggering-covid-crisis-could-have-been-avoided-but-the-government-dropped-its-guard-too-soon-159538
The Wire, 2021. “With Goa Toll, Hospital Oxygen Shortage Has Taken Lives of at Least 223 COVID Patients in India” [online]. in https://thewire.in/health/oxygen-shortage-deaths-india-covid-19