[Artikel Ilmiah] Tenggelamnya Jakarta: Sejarah dan Upaya Penyelamatannya
Himmalia Dewi Alya Rahmah, Philipus Mikhael Priyo Nugroho, Rayhan Amadheya Totokusumo
Divisi Akademik — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Jakarta merupakan kota dengan populasi yang mencapai lebih dari 10 juta penduduk serta merupakan pusat ekonomi, politik, dan budaya Indonesia. Kota tersebut berkontribusi kurang lebih 17% terhadap PDB Indonesia dan merupakan kota dengan ekonomi terbesar di ASEAN (Badan Pusat Statistik, 2016). Oleh karena itu, Jakarta memainkan peran vital bagi Indonesia. Namun demikian, berdasarkan Lin dan Hidayat (2018), Jakarta merupakan salah satu kota yang sedang tenggelam paling cepat dengan penurunan antara 1–15 cm setiap tahunnya. Menurut sebuah penelitian oleh ITB yang meneliti penurunan tanah kota Jakarta antara tahun 1925 hingga 2015, hasilnya menunjukan bahwa sejak tahun 1975, Jakarta mulai menurun (Aqil, 2018). Tingkat penurunan tiap daerah berbeda-beda, sebagai contoh yaitu daerah Marunda dan Cilincing sudah tenggelam 1,4 m, sedangkan Pluit, daerah yang paling parah terdampak, sudah tenggelam sebanyak 4 m. Apabila penurunan ini tidak segera dihentikan, 90% dari Jakarta Utara dapat tenggelam pada tahun 2050 (Aqil, 2018). Apabila hal itu terjadi, hampir 1,8 juta orang dapat kehilangan rumah mereka. Selain itu, dalam dampak jangka pendek, sudah dapat terlihat dampaknya saat ini yaitu banyaknya rumah, kantor, dan masjid yang ditinggalkan karena kenaikan air laut (Puspita, 2019). Permukaan tanah yang sangat rendah juga meningkatkan risiko wilayah Jakarta Utara terkena banjir rob (Dirgantara, 2021).
Secara sederhana, penurunan tanah terjadi ketika lapisan bawah tanah di atas air menurun akibat air terserap ke luar dan tidak terisi kembali sampai gravitasi mengambil alih. Penurunan tanah disebabkan oleh 2 faktor yaitu objektif dan subjektif (Kooy, 2008; Kanumoyoso, 2021). Dalam temuannya, Andreas (dalam Zahra, 2020), menyatakan bahwa sedimen (tanah padat) Jakarta relatif tak stabil serta kontur rawa tanah Jakarta menjadi faktor objektif di balik penurunan tanah yang dialami Jakarta. Pada faktor subjektif, pelanggaran aturan di bidang hidrologis dan infrastruktur menjadi penyebab utama dari percepatan penurunan tanah di Jakarta. Sebagai contoh, Siswanto (2011) dalam tesisnya menyebutkan adanya kebijakan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta mengenai pemajakan penggunaan air tanah di wilayah berjaringan PAM (Perusahaan Air Minum) meskipun permukiman informal adalah suatu ciri khas yang masif ditemukan di ibu kota.
Akar penyebab penurunan lapisan tanah adalah pengambilan air tanah secara terus menerus dikarenakan sulitnya akses masyarakat terhadap air bersih. Kerja sama strategis antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Amerika Serikat di bawah program United States Agency for International Development (USAID) diadakan untuk meningkatkan manajemen sumber daya, energi, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap air bersih. Program peningkatan terhadap akses safe drinking water, safely managed sanitation, and hygiene (WASH) menjadi salah satu prioritas USAID (USAID, 2020). Ketahanan air dan lingkungan hidup kini juga masuk ke dalam lima prioritas pembangunan nasional pada periode kedua Presiden Joko Widodo (Bappenas, 2019).
Fenomena penurunan tanah kian diperparah dengan kenaikan permukaan air laut. Hal serupa juga dialami oleh Jepang di area Tokyo, namun pemerintah Jepang secara komparatif lebih baik dalam menangani permasalahan tersebut. Tanggul yang dibangun pemerintah Jepang secara struktur lebih kuat, sementara tanggul yang dibangun pemerintah Jakarta terlihat kurang efektif karena lebih tipis sehingga terus menerus ditinggikan (Takagi et al., 2017). Saluran air yang tersedia di Jakarta juga sangat terbatas, sehingga banjir sulit surut. Jepang juga memiliki proyek reklamasi dan berhasil menyediakan lahan tambahan bagi masyarakat, usaha serupa juga dilakukan Indonesia melalui megaproyek yang dijalankan oleh National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dalam Proyek Garuda (Esteban et al., 2020). Meskipun demikian, proyek tersebut telah dihentikan oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan terkait dengan masalah hukum serta adanya potensi dampak negatif terhadap lingkungan (BBC Indonesia, 2018).
Masalah banjir dan penurunan tanah bukanlah suatu hal yang baru. Sejak era Kerajaan Tarumanegara (abad ke-5–7M), banjir selalu menjadi masalah rutin, dibuktikan dengan upaya pembangunan Kali Candrabhaga dan Kali Gomati (Heuken, 2016). Namun, keterlibatan faktor manusia dalam berkembangnya kompleksitas hidrologis di Jakarta baru bermula ketika Belanda datang dan melakukan kolonialisme. Kanumoyoso (2021) menyatakan bahwa Belanda telah menyadari kemiripan antara kontur tanah Batavia dan Eropa. Oleh karena itu, berlandaskan “beban pemanusiaan” yang ditimpakan kepada ras Kaukasia, J. P. Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memusatkan perdagangan VOC di Batavia serta memerintahkan arsiteknya untuk memulai kanalisasi (Setiawan, 2021).
Pembangunan kanal sejatinya bertujuan untuk menghalau pemberontakan para warga lokal sekaligus menjaga “kemurnian” penduduk Eropa melalui segregasi (Thornell et al., 2021). Akan tetapi, potensi bahaya sistem kanalisasi diperparah dengan keberadaan Lingkaran Api Pasifik Kepulauan Nusantara. Salah satu bahaya ini tercermin ketika Gunung Salak meletus di tahun 1696, membawa luapan lahar dingin dan material vulkanik ke kanal-kanal Batavia dan menghambat aliran hilirisasinya (op cit.). Oleh karena faktor alam dan bangkrutnya VOC di tahun 1799, sistem kanal tersebut lama-kelamaan tidak terawat dan ditinggalkan penggunaannya. Penduduk Eropa mulai meninggalkan daerah tersebut lalu mendiami wilayah selatan dan memulai cara pemenuhan kebutuhan yang menjadi akar permasalahan saat ini, yakni menggunakan air bawah tanah (op cit.).
Sebagai wilayah yang memegang peranan penting di Indonesia, sudah sepantasnya pemerintah Jakarta dan Indonesia memberi perhatian lebih terhadap permasalahan penurunan tanah. Apabila pemerintah terus mengabaikan permasalahan kesulitan akses terhadap air bersih, penurunan tanah tidak dapat dihentikan. Maka dari itu, bergantung pada bantuan asing untuk menyediakan air bersih saja tidak cukup. Perlu adanya usaha serius dari pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut sebelum bertambah parah dan tidak bisa diselesaikan. Pemerintah Indonesia dapat belajar dan mencontoh negara lain yang sukses mengatasi masalah penurunan tanah.
Referensi:
Aqil, A. M. I., 2018. “Jakarta sinking fast: Experts”, The Jakarta Post, 5 Desember [Daring]. Dalam https://www.thejakartapost.com/news/2018/12/05/jakarta-sinking-fast-experts-subsidence.html [Diakses pada 4 Maret 2021].
Badan Pusat Statistik, 2016. Prioritas Pembangunan Nasional. [Daring] Dalam https://www.bappenas.go.id/files/8213/5027/5942/bab-i-prioritas-pembangunan-nasional.pdf [Diakses pada 3 Maret 2021].
BBC Indonesia, 2018. “Reklamasi 13 Pulau di Teluk Jakarta Dibatalkan Gubernur Anies Baswedan: Yang Harus Anda Ketahui”, BBC Indonesia, 27 September [Daring]. Dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45662194 [Diakses pada 3 Maret 2021].
Dirgantara, A., 2021. “BMKG Ungkap Fenomena Penurunan Tanah Sebabkan Jakarta Mudah Tergenang”, detiknews, 7 Februari [Daring]. Dalam https://news.detik.com/berita/d-5365070/bmkg-ungkap-fenomena-penurunan-tanah-sebabkan-jakarta-mudah-tergenang [Diakses pada 4 Maret 2021].
Esteban et al., 2020. “Adaptation to Sea Level Rise: Learning from Present Examples of Land Subsidence”, Ocean and Coastal Management 189 (104852): 1–10.
Heuken, Adolf. 2016. Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Kooy, Michelle E., 2008. Relations of Power, Networks of Water: Governing Urban Waters, Spaces, and Populations In (Post) Colonial Jakarta. Tesis Doktoral. Vancouver: Faculty of Graduate Studies (Geography) University of British Columbia.
Lin, M. M. dan Hidayat, R. 2018 “Jakarta, the fastest-sinking city in the world”, BBC, 13 Agustus [Daring]. Dalam https://www.bbc.com/news/world-asia-44636934 [Diakses pada 4 Maret 2021).
Puspita, S., 2019. “Permukaan Tanah Turun, Permukiman di Jakarta Utara Terendam Air Laut”, Kompas.com, 23 Desember [Daring]. Dalam https://sains.kompas.com/read/2019/12/23/200500023/-video-permukaan-tanah-turun-permukiman-di-jakarta-utara-terendam-air-laut [Diakses pada 4 Maret 2021].
Setiawan, Andri. 2021. “Bagaimana Belanda Mengurus Banjir di Batavia?” [Daring]. Dalam https://historia.id/urban/articles/bagaimana-belanda-mengurus-banjir-di-batavia-vJyKa/page/1 [Diakses pada 3 Maret 2021].
Siswanto, Bambang, 2011. Evaluasi Kebijakan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi DKI Jakarta. Tesis Magister. Bogor: Fakultas Pascasarjana (Ekonomi & Manajemen). [Daring] Dalam https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/46521 [Diakses pada 4 Maret 2021]
Takagi et al., 2017. “Effectiveness and Limitation of Coastal Dykes in Jakarta: The Need for Prioritizing Actions against Land Subsidence”, Sustainability 9 (619): 1–15.
Thornell, Christina, et al., 2021. Why Jakarta is sinking [YouTube]. Dalam https://www.youtube.com/watch?v=Z9cJQN6lw3w [Diakses pada 2 Maret 2021].
Zahra, Wan U. N., 2020. “Masalah Usang dan Runyam Penurunan Muka Tanah Jakarta”, Tirto.id, 22 Juni [Daring]. Dalam https://tirto.id/masalah-usang-dan-runyam-penurunan-muka-tanah-jakarta-fKwS