[Artikel Ilmiah] Kebijakan Pelonggaran Pajak Kendaraan Pribadi Indonesia
Kurangnya Komitmen Indonesia terhadap Pengurangan Emisi Lebih Lanjut?
Fauzan Raihan Amru, Hafizh Febrian Irsyaad, Maruli Goknitua Hutajulu
Divisi Akademik — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam menurunkan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atau yang lebih di kenal dengan insentif pajak 0% dapat dipahami menjadi salah satu bentuk kebijakan yang menekankan pada revitalisasi laju perekonomian Indonesia dalam era Pandemi Covid-19. Namun, pola praktik kebijakan tersebut turut memiliki efek samping yang berpotensi mempengaruhi keberlanjutan lingkungan dan dinamika perubahan iklim. Justifikasi atas tindakan tersebut dilakukan untuk pemulihan ekonomi dengan pemberian insentif terhadap kendaraan pribadi roda empat dalam klasifikasi mesin di bawah 1.500 cc. Kriteria tersebut dapat dipahami merangkap hampir mayoritas kendaraan mobil umum yang populer dan familiar bagi konsumen di Indonesia dengan volume penjualan pasar yang tinggi (Citradi, 2021). Melalui keputusan tersebut dapat dipahami mampu meningkatkan intensitas kendaraan pribadi yang berujung pada peningkatan jejak karbon atau carbon footprint kendaraan pribadi yang belum sepenuhnya memenuhi target standar emisi Euro 4 bagi kendaraan bermesin diesel.
Usaha dalam mengurangi tingkat emisi dipahami memiliki kontribusi yang tinggi dalam menangani dinamika perubahan iklim. Emisi atau yang lebih spesifik yaitu emisi gas buang merupakan sisa hasil pembakaran bahan bakar oleh sebuah mesin dalam kendaraan seperti mobil atau motor yang biasanya berbentuk karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur oksida (SOx) (Siswantoro, et al., 2012). Dari ketiga gas tersebut, nitrogen oksida dan sulfur oksida sendiri merupakan gas yang secara langsung berkontribusi pada terjadinya efek rumah kaca di bumi. Efek rumah kaca dihasilkan dari peristiwa di mana radiasi matahari yang menembus atmosfer bumi dan dipantulkan kembali menjadi sinar inframerah, tidak bisa keluar akibat gas-gas pencemar sehingga dipantulkan kembali kedalam bumi. Akibat dari ketidakmampuan sinar inframerah tersebut berujung pada peningkatan suhu di bumi (Pratama 2019). Tentu saja hal ini berpengaruh pada keadaan lingkungan bumi lainnya seperti mencairnya es kutub yang menyebabkan naiknya permukaan air laut. Atas dasar kesadaran tersebut, masyarakat internasional melalui Paris Accord atau Perjanjian Paris menyepakati bahwa perlu adanya pembatasan kenaikan suhu secara global di bawah 1,5 derajat celsius yang merupakan tantangan berat yang harus segera diatasi (Pristiandaru 2020).
Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Paris menjadi salah satu bentuk komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada pencegahan perubahan iklim lebih lanjut dalam ranah internasional. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada 22 April 2016 yang dimaterialisasikan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dengan fokus pada penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan sendiri dan 41% bersama dengan dukungan internasional pada tahun 2030 (Efendi, et al., 2018). Standarisasi emisi Euro 4 turut berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun, komitmen tersebut cenderung tertunda melalui rencana standarisasi yang diundur menjadi tahun 2022 yang mengakibatkan kendaraan Indonesia yang masih beredar di Indonesia kuat dengan komponen lokal yang belum sepenuhnya memiliki standar emisi Euro 4 (CNN Indonesia, 2020). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa regulasi standarisasi emisi Euro 4 terhambat karena Pandemi Covid-19 dengan mayoritas stok mobil masih mendominasi pada kelas Euro 2 yang cukup tertinggal. Keterlambatan Indonesia dalam melakukan standarisasi Euro 4 turut menghambat alur investasi Indonesia (Damara, 2020). Penundaan kebijakan standarisasi emisi diesel Euro 4 di tengah masih jauhnya standar emisi kendaraan Indonesia dari standar internasional cenderung menjadi kebijakan yang kurang tepat dengan keputusan pemerintah yang lebih memprioritaskan penjualan kendaraan pribadi beroda empat terlebih dahulu.
Ambivalensi Indonesia, setidaknya bentuk penyesampingan Indonesia, dalam komitmen upaya pengurangan gas rumah kaca dapat direfleksikan melalui PPnBM di sektor otomotif mobil resmi. Dalam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, menyatakan bahwa keputusan ini sepenuhnya merupakan konsiderasi ekonomi dimana berusaha untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat turun akibat pandemi COVID-19 (Kompas, 2021). Hal tersebut patut disayangkan di mana dalam beberapa penelitian ilmiah, efek domino dari penghapusan pajak pada kendaraan berbahan bakar fosil ini cukup signifikan. Dalam position paper yang dikeluarkan oleh European Federation of Transport and Environment (2005) menjelaskan bahwa penghapusan pajak akan menyebabkan meningkatnya kepemilikan kendaraan dan penggunaannya yang mana juga akan berpengaruh pada pengeluaran emisi karbon yang semakin meningkat. Selain itu, penghapusan pajak juga akan mengurangi tingkat daya saing kendaraan transportasi yang lebih ramah lingkungan. Penggunaan bahan bakar minyak yang masih tinggi di Indonesia juga perlu dipertimbangkan kembali apabila Indonesia benar-benar meratifikasi Perjanjian Paris 2015 (Climate Transparency, 2020). Setidaknya jika pertimbangan ekonomi masih menjadi fokus utama, peningkatan di sektor yang lebih ramah lingkungan dapat menjadi trade-off yang memungkinkan.
Referensi:
Citradi, Tirta, 2021. “Pajak Mobil Baru 0%, Siapa yang Paling Diuntungkan?” [daring], tersedia dalam: https://www.cnbcindonesia.com/news/20210216100129-4-223626/pajak-mobil-baru-0-siapa-yang-paling-diuntungkan/1 (diakses pada 5 Maret 2021).
Damara, Dionisio, 2020. “Mengapa Sulit Menerapkan Emisi Standar Euro 4?” [daring], tersedia dalam: https://otomotif.bisnis.com/read/20200629/275/1259003/mengapa-sulit-menerapkan-emisi-standar-euro-4 (diakses pada 5 Maret 2021).
Efendi, Agus, Alia Y. Karunian, dan Ni Luh P.C. Arsani, 2018. “Inkonsistensi Kebijakan Energi Di Indonesia: Kaitannya Terhadap Pemberlakuan Standar Emisi Gas Buang Euro 4”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 5 (1):1–23.
Kompas, 2021. “Airlangga: Insentif PPnBM Mobil dan Rumah Bisa Dongkrak Ekonomi RI 1 Persen” [daring], tersedia dalam: https://money.kompas.com/read/2021/03/02/060700926/airlangga--insentif-ppnbm-mobil-dan-rumah-bisa-dongkrak-ekonomi-ri-1-persen (diakses pada 5 Maret 2021).
Climate Transparency, 2020. “Indonesia”. Climate Transparency Report 2020.
Transportation & Environment, 2005. “Making Car Taxes Work for the Environment”, dalam T&E position paper on the Proposal for a Council Directive on passenger car related taxes’ (COM(2005)261 final): Brussels. https://www.transportenvironment.org/docs/Positionpapers/2005/2005_12_car_taxation.pdf.
Pratama, Riza, 2019. “Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi”, Buletin Utama Teknik, 14 (2): 120–126.
Pristiandaru, D. Lambang, 2020. “WMO Memperkirakan Suhu Bumi Akan Semakin Panas Lima Tahun Mendatang” [daring]. Tersedia dalam: https://www.kompas.com/global/read/2020/07/10/173138670/wmo-memperkirakan-suhu-bumi-akan-semakin-panas-lima-tahun-mendatang (Diakses pada 5 Maret 2021).
Siswantoro, Lagiyono, dan Siswiyanti, 2012 “Analisa Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 4 Tak Berbahan Bakar Campuran Premium Dengan Variasi Penambahan Zat Aditif”, Engineering Jurnal Bidang Teknik, 4 (1):75–84.
CNN Indonesia, 2020. “Penerapan Euro 4 Diesel Diundur ke April 2022 Gara-gara Covid” [daring], tersedia dalam: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201211104200-85-580839/penerapan-euro-4-diesel-diundur-ke-april-2022-gara-gara-covid (diakses pada 5 Maret 2021).