[Artikel Berita] Gencatan Senjata di Myanmar: Desakan Internasional dan Tekanan Internal terhadap Junta Militer
Himmalia Dewi Alya Rahmah — FPCI Chapter Universitas Airlangga
Setelah melakukan kudeta pada bulan Februari lalu, kini pihak junta militer Myanmar akhirnya menyepakati permintaan ASEAN untuk melakukan gencatan senjata hingga akhir tahun untuk melaksanakan distribusi bantuan kemanusiaan berkaitan dengan pandemi COVID-19. Pada bulan Agustus, ASEAN telah melantik diplomat Brunei Darussalam, Erywan Yusof sebagai utusan khusus untuk menangani situasi di Myanmar melalui berbagai dialog dan negosiasi. Erywan kemudian mengajukan gencatan senjata melalui telekonferensi yang diadakan bersama Menteri Luar Negeri Wunna Maung Lwin. Proposal tersebut lantas diterima dengan syarat bahwa gencatan senjata yang ada bukanlah gencatan senjata politik dan hanya bertujuan untuk kelancaran distribusi bantuan dan menjamin keselamatan para pekerja kemanusiaan (Ananthalakshmi, 2021). Tuntutan gencatan senjata sejatinya sudah dilayangkan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) sejak Juli lalu. Selain banyaknya korban kekerasan akibat kekacauan politik, desakan gencatan senjata darurat ini juga berhubungan dengan ledakan jumlah kasus COVID-19 di Myanmar (Andrews, 2021).
Kendati demikian, situasi ini tak sepenuhnya ditanggapi secara positif oleh warga Myanmar. Pihak oposisi atau ‘pemerintah bayangan’ yang disebut sebagai The National Unity Government (NUG) menyatakan bahwa gencatan senjata ini hanya akan memberi tambahan waktu bagi pihak junta militer untuk memperkuat diri. Pernyataan ini didukung dengan klaim bahwa junta militer adalah pihak yang tidak dapat dipercaya, sehingga keselamatan warga Myanmar masih tetap dalam bahaya (Ford & Dasey, 2021). NUG kemudian mendeklarasikan adanya revolusi publik sebagai bentuk resistensi terhadap kekerasan dan kepemimpinan yang dilakukan oleh junta militer. Presiden NUG, Duwa Lashi, mendorong setiap warga Myanmar untuk melakukan revolusi seperti dengan cara mogok kerja massal serta melakukan disrupsi terhadap program pemerintah. Revolusi ini bertujuan untuk mendapat perhatian internasional, terutama dari Majelis Umum PBB. Pihak NUG juga menyatakan bahwa ASEAN terlalu lemah dalam menanggapi situasi ini, mengingat gencatan senjata baru dilaksanakan setelah tujuh bulan pascakudeta (Regan & Olarn).
Meskipun gencatan senjata mulai dilaksanakan, pada dasarnya kekacauan politik di Myanmar belum sepenuhnya selesai. Nyatanya warga sipil belum merasa sepenuhnya aman. Gencatan senjata ini harus dimaknai sebagai sebuah kemajuan, namun bukan berarti pihak internasional bisa berpuas diri dan menghentikan usahanya hanya sampai titik ini. Oleh karena itu, peran berbagai institusi seperti ASEAN dan PBB diperlukan untuk terus mengawasi serta menjalankan peran yang semestinya.
Referensi:
Ananthalakshmi, A., 2021. “Myanmar Junta Agrees to ASEAN Call for Ceasefire to Distribute Aid-Kyodo”. Reuters [Daring]. Tersedia di https://www.reuters.com/world/asia- pacific/myanmar-junta-agrees-asean-call-ceasefire-distribute-aid-kyodo-2021-09- 06/ [Diakses pada 7 September 2021]
Andrews, T., 2021. “Myanmar: Expert Calls for ‘COVID Ceasefire’, Urges New UN Resolution”. Office of the High Commissioner for Human Rights (UN Human Rights) [Daring]. Tersedia di
https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=27341& LangID=E [Diakses pada 7 September 2021]
Ford, M. & Dasey, J., 2021. “Myanmar’s Shadow Government Declares Resistance War in ‘Public Revolution’ Against Junta”. ABC News [Daring]. Tersedia di https://www.abc.net.au/news/2021-09-07/myanmar-shadow-government-declares- resistance-war-against-junta/100441070 [Diakses pada 7 September 2021]
Regan, H. & Olarn, K. 2021. “Myanmar’s Shadow Government Launcher ‘People’s Defensive War’ Against the Military Junta”. CNN [Daring]. Tersedia di https://edition.cnn.com/2021/09/07/asia/myanmar-nug-peoples-war-intl- hnk/index.html [Diakses pada 7 September 2021]