Analisis Respon Indonesia Terhadap Peta Baru China 2023: Sebuah Risalah Kebijakan

FPCI Airlangga
8 min readFeb 3, 2024

--

  • Executive Summary

Pada Senin 28 Agustus 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China resmi merilis ‘Peta Standar China 2023’. China mempertahankan klaim lama terhadap sembilan garis putus-putus (nine-dash-line) di kawasan Laut China Selatan. Namun, terdapat hal baru di peta ini, yaitu bertambahnya satu garis putus menjadi sepuluh garis putus-putus. Pembaharuan ini menandakan bahwa China telah memperluas klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina dan mencakup beberapa wilayah yang disengketakan termasuk Arunachal Pradesh, Aksai Chin, Pulau Bolshoy Ussuyrisky, Kepulauan Spratly dan Paracel, serta Laut China Selatan (BBC Indonesia 2023). Situasi ini kemudian memunculkan respons dari berbagai negara yang terdampak atas klaim sepihak oleh China melalui peta terbaru ini. Negara-negara ini mengecam tindakan China yang dianggap melakukan pencaplokan wilayah, antara lain: India, Rusia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Beberapa dari negara tersebut bahkan telah melayangkan protes secara resmi kepada Pemerintah China karena tindakan yang dianggap tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen Tahun 2016 soal Laut China Selatan, dan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang mengatur hukum laut sebagai dasar hukum internasional yang mengikat.

Sebagai salah satu negara yang mengawal Konflik Laut China Selatan hingga saat ini, respons Indonesia terhadap Peta Standar China 2023 membuat masyarakat bertanya-tanya. Apalagi sebelumnya Indonesia juga telah berhadapan dengan China mengenai kapal patroli China di Kepulauan Natuna Utara, aksi ini juga memicu kemarahan Indonesia karena dianggap telah melanggar kedaulatan Indonesia. Sebagai pemegang keketuaan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 2023, Indonesia seharusnya dapat ikut mengambil langkah dalam upaya mediasi dan membantu negara-negara terdampak dalam menyelesaikan permasalahan ini. Walaupun Indonesia tidak terdampak secara langsung dengan situasi ini, tetapi Indonesia memainkan peranan yang cukup besar dalam dinamika isu ini. Masyarakat Indonesia juga menekan pemerintah untuk bisa mengambil tindakan tegas bersama negara-negara terdampak untuk memberikan efek jera terhadap China. Namun, terdapat kesulitan yang menghambat ruang gerak Indonesia untuk menindak situasi ini secara lebih lanjut. Salah satunya adalah prinsip non-intervensi yang terkandung dalam ‘ASEAN Way’.

  • Latar Belakang Permasalahan

Mengulas isu ini, terdapat beberapa latar belakang yang menjadi aspek pendorong dari rilisnya Peta Standar China 2023, hal ini diawali dengan pendirian China yang masih mendasarkan posisinya pada sisi historis dalam menentukan batas wilayah, khususnya di area Laut China Selatan (Kompas 2023). Padahal, telah diketahui bahwa terdapat dasar hukum kuat yang mengatur mengenai batas-batas kedaulatan negara di wilayah perairan yakni pada UNCLOS 1982. Hal ini turut menjadi ironi karena China merupakan salah satu negara yang terlibat dalam proses ratifikasi perjanjian tersebut. Di samping itu, sebagai negara yang saat ini memiliki kekuatan adidaya, China dengan percaya dirinya bersikap sewenang-wenang terhadap kedaulatan negara lain. Sebenarnya pembaharuan peta adalah agenda rutin yang dilakukan oleh China dalam periode waktu tertentu, tetapi peta terbaru tahun 2023 menimbulkan kontroversi dan memicu keributan di dunia internasional. Beriringan dengan hal tersebut, dapat diketahui terdapat beberapa kepentingan yang dibawa dalam menggiatkan aksi ini, salah satunya yakni demi menegaskan legitimasi China atas klaimnya terhadap wilayah-wilayah terkait, terlebih pada kawasan yang terlibat persengketaan dengan negara-negara lain. Profesor James Chin sebagai analis politik dari Universitas Tasmania menambahkan bahwa momentum peta baru ini diterbitkan menjelang adanya forum internasional pada bulan September yakni Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan KTT G20. Bertepatan dengan konferensi yang ada, China hendak memperlihatkan agresivitas serta kekonsistenannya dalam mengakui hak milik wilayah yang telah diklaim. Kepentingan lainnya, hal ini dilihat menjadi komponen dari rencana sistematis China dalam rangka melakukan persiapan 100 tahun kedaulatan China pada tahun 2048 untuk meraih visinya sebagai negara hegemon (CNN Indonesia 2023).

Menanggapi klaim eksesif China, timbul tanggapan-tanggapan dari negara yang wilayahnya tercaplok dalam peta, respon pertama datang dari India bahwa klaim China tidak memiliki dasar, juru bicara kementerian luar negeri India, Aridam Bagchi turut menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pihak China justru kian mempersulit penyelesaian masalah perbatasan. Tanggapan berlanjut disampaikan oleh Malaysia yang menolak klaim sepihak tersebut dan menganggap peta tersebut tidak mengikat bagi negara terdampak dan diikuti oleh tanggapan dari Vietnam bahwa pernyataan hak yang dilakukan oleh China telah menyalahi kedaulatan milik Vietnam dan tindakan provokatif tersebut harus dibatalkan karena mengingkari Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai hukum laut (The Associated Press 2023). Adanya berbagai penolakan dan desakan terhadap peta yang dirilis, China justru menanggapi hal ini dengan cukup tenang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin mengatakan bahwa peristiwa ini hanyalah praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China yang sesuai dengan hukum. Ia juga meminta seluruh pihak untuk tetap tenang dan objektif. Meskipun begitu, kebijakan ini menimbulkan kerugian bagi negara-negara terdampak karena berkaitan dengan hak-hak eksploitasi kekayaan alam. Situasi ini juga dianggap mengganggu stabilitas regional dan memicu konflik ke permukaan, apalagi sengketa Laut China Selatan merupakan isu yang hingga saat ini belum terselesaikan. Respon pemerintah Indonesia terhadap aksi China ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat lantaran respons Indonesia dianggap tidak tegas dan terlalu mengambil langkah yang lebih aman. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi hanya menyampaikan posisi Indonesia yang berpegang pada UNCLOS 1982, namun tidak ada rujukan lebih lanjut terhadap sikap China. Hal ini menjadi dilema berkepanjangan bagi Indonesia karena di satu sisi China merupakan salah satu mitra kerja sama terbesar Indonesia. Jika terdapat tindakan yang terlalu agresif, potensi kecacatan kerja sama antara Indonesia dan China akan meningkat. Bentuk respon yang cenderung pasif menggambarkan usaha Indonesia dalam melindungi kepentingan nasionalnya. Apabila dilihat dengan perspektif yang lebih luas kebijakan yang diambil oleh Indonesia dalam menanggapi hal ini tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Namun, publik menekan Indonesia untuk memperjelas posisinya dalam isu ini.

Lebih lanjut, walaupun lontaran tanggapan Indonesia tidak seutuhnya merugikan posisi Indonesia dalam jangka pendek serta cenderung mengambil sikap aman sebagai upaya dalam memelihara kepentingan nasional dan menjaga relasi dengan negara yang terlibat, respon ini tetap perlu menjadi perhatian bagi pemerintah bersama-sama dengan stakeholder relevan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat potensi permasalahan yang timbul ketika isu sengketa wilayah ini berhadapan dengan China, mengingat posisi negara tersebut dalam kontestasi politik internasional sebagai the new emerging global power dengan masifnya kekuatan militer dan ekonomi yang dimilikinya. Alih-alih melakukan konfrontasi secara langsung, beberapa negara-negara terdampak termasuk Indonesia condong menerapkan strategi hedging. East Asia Forum (2023) menjelaskan bahwa hedging merupakan bagian dari taktik dimana suatu negara mengirimkan sinyal atau respon yang menimbulkan ketidakpastian serta ambiguitas mengenai sejauh mana keterwakilan dari kepentingan keamanan bersama dapat tercermin dalam menjaga hubungan positif antara dua kubu berkonflik. Sejalan dengan itu, Kuik (2021) menyatakan pandangannya bahwa tindakan hedging dilaksanakan sebagai bentuk jaminan dalam situasi ketidakpastian dengan tingkat pertaruhan tinggi sehingga negara rasional akan cenderung menghindarkan diri dari keberpihakan dengan negara lain. Apabila ditarik kembali ke belakang, Indonesia telah menerapkan respon hedging ini sejak beberapa waktu silam, salah satunya pada tahun 2016 dimana kala itu klaim China dalam sengketa Laut China Selatan berpotongan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Indonesia di Utara Natuna. Meninjau hal tersebut, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yang sedang menjabat kemudian melontarkan tanggapannya yang sekaligus mengindikasikan pengaplikasian hedging bahwa Indonesia akan tetap melindungi hubungan baik dengan China sembari melindungi kedaulatan. Reaksi yang diberikan atas insiden yang melibatkan kapal ikan China di zona tersebut juga cenderung bersifat aman dan tidak menunjukkan ketegasan Indonesia karena adanya dilema demi tetap menjaga kepentingan negara yang bertalian dengan interaksi ekonomi antara Indonesia dengan China (Abrar dan Syauqi 2017). Interaksi ekonomi yang selama ini terjalin diyakini menjadi faktor sentral dari kebijakan luar negeri yang dijalani oleh Indonesia dalam menyikapi Peta Baru China, hal tersebut mengingat adanya dominasi peran serta Negeri Tirai Bambu pada perekonomian dalam negeri. Hal itu dapat ditilik melalui sisi perdagangan ekspor-impor yang mana China menjadi mitra dagang utama dengan 31.2% impor berasal dan 22% menuju China (Observatory of Economic Complexity 2021).

Kini, dapat diketahui bahwa strategi hedging kembali diaplikasikan oleh Indonesia sebagai upaya dalam menjaga relasi dengan pihak-pihak yang sedang bersengketa dengan tidak menunjukkan respon secara lugas yang menyatakan bahwa China-lah yang bertindak secara keliru dengan melanggar ketentuan yang berlaku. Meskipun Indonesia tidak berselisih secara langsung dan tidak terlibat di wilayah sengketa, tetap perlu diketahui bahwa posisi China kemudian menjadi semakin bersinggungan dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga muncul kehadiran nelayan serta polisi air China di teritori laut Indonesia (Bisnis Indonesia 2023). Maka dari itu, dibutuhkan atensi lebih lanjut dari pemerintah sebagai bentuk respon dalam menangkal potensi timbulnya konflik berkelanjutan lainnya dengan China. Tak hanya pemerintah Indonesia saja, tetapi respon dan kesadaran terhadap isu yang sedang dihadapi juga perlu pemahaman dari stakeholder relevan seperti masyarakat, media massa, serta organisasi internasional sehingga nantinya dapat mendukung posisi serta respon Indonesia di kancah internasional.

  • Opsi-Opsi Kebijakan

Bagaimanapun, terdapat beberapa opsi kebijakan yang dapat dikonsiderasi untuk dilaksanakan pada masa mendatang sehingga tidak timbul kembali suatu ambiguitas serta ketidakpastian dari langkah aksi yang ditempuh oleh Indonesia, berikut merupakan opsi-opsi kebijakan potensial yang dapat ditempuh:

  1. Mengubah kontur respons verbal dari passive-agressive ke respon yang lebih spesifik.

Indonesia tidak dapat secara terus menerus mempertahankan landasan responnya sesuai dengan taktik hedging untuk menjaga hubungan damai walaupun terdapat pihak yang dirugikan karena hal ini tidak sejalan dengan prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang berdasar pada bebas-aktif dan seakan memberi limitasi pada prinsip tersebut. Kedepannya, respon Indonesia perlu dipertegas dan menyatakan secara jelas posisi serta kedudukan Indonesia dalam menyikapi isu global yang kian dinamis sehingga prinsip bebas-aktif dapat dijalankan dengan baik. Terlebih, dalam kasus ini yang terlibat kebanyakan adalah negara anggota ASEAN, mengingat Indonesia mengemban keketuaan tahun ini dan adanya tali persaudaraan bersama dengan asian values yang mengiringi, maka perlu adanya tanggapan lugas dari Indonesia untuk mendukung negara terdampak. Dukungan Indonesia dapat berupa memfasilitasi ruang diskusi di lingkup organisasi regional sehingga mampu memperkuat stabilitas maritim regional dan dapat meningkatkan kekuatan diplomatis secara kolektif.

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat luas serta meningkatkan diplomasi publik Indonesia.

Sebagai bagian dari stakeholder, rekognisi masyarakat terkait dengan isu politik luar negeri Indonesia juga diperlukan sehingga dapat turut mengawal keputusan yang diambil oleh pemerintah berwenang. Dengan prinsip negara Indonesia yang berlandaskan demokrasi, masukan dari rakyat mengenai kebijakan-kebijakan yang perlu diambil harus bisa didengarkan untuk menambah perspektif yang luas bagi pemerintah, oleh karena itu perlu digencarkan lagi sistem diplomasi publik di Indonesia. Apalagi kebijakan-kebijakan ini akan sangat mempengaruhi hajat hidup rakyat Indonesia.

  • Rekomendasi Kebijakan

Hingga saat ini, rekomendasi kebijakan dalam mengubah kontur respons verbal paling mungkin dan relevan untuk dilakukan karena langkah ini akan memberikan peringatan yang jauh lebih spesifik kepada China, namun masih aman untuk dilakukan dan tidak berpotensi memunculkan konflik. Kebijakan ini memang hanya bersifat jangka pendek, tetapi jika dilakukan secara konsisten oleh Indonesia dalam usaha menekan China maka sifatnya akan berubah menjadi jangka panjang. Dengan rekomendasi kebijakan ini juga, Indonesia dapat memperjelas posisinya yang berpihak pada negara terdampak tanpa harus merusak hubungan kerjasama dengan China.

Terkait implementasinya, Indonesia dapat secara langsung menyebut dan menunjuk China secara spesifik untuk menaati hukum internasional terutama Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen Tahun 2016 soal Laut China Selatan dan UNCLOS 1982 yang mengatur hukum laut, serta meminta China secara terang-terangan untuk mengkaji ulang peta terbaru China dan menyesuaikan kembali dengan hukum internasional yang berlaku

  • Referensi Umum/Terpakai

Abrar, Muhammad I., dan Ariandana M. D. S., 2017. “Hedging Sebagai Strategi Indonesia untuk

Menghadapi Klaim Cina di Laut Cina Selatan”, Indonesia Foreign Policy Review, 4 (3):

23–35.

BBC News Indonesia, 2023. “Peta baru China: Mengapa aksi China menuai kontroversi, dan

haruskah Indonesia khawatir?” [online]. In

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66668869

CNBC Indonesia, 2023. “Geger Peta Baru China Caplok Sana-Sini, Ini Kata Xi Jinping”

[online]. In

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230901060233-4-468014/geger-peta-baru-china

-caplok-sana-sini-ini-kata-xi-jinping

CNBC Indonesia, 2023. “Peta Baru China Bikin Marah Tetangga RI, Ini Kata Pakar Hukum” [online]. In https://www.cnbcindonesia.com/news/20230831211154-4-467994/peta-baru-china-bikin-marah-tetangga-ri-ini-kata-pakar-hukum

East Asia Forum, 2023. “Economic security and hedging in Southeast Asia” [daring]. dalam

https://www.eastasiaforum.org/2023/07/12/economic-security-and-hedging-in-southeast-asia/#:~:text=In%20this%20context%2C%20hedging%20means,maintaining%20positive%20relations%20with%20both. [diakses pada 16 Oktober 2023].

--

--

FPCI Airlangga
FPCI Airlangga

Written by FPCI Airlangga

FPCI Chapter Universitas Airlangga is a non-profit and political free organization focusing youth movement on foreign policy and international relation matters.

No responses yet